Perang Badar terjadi pada hari Jumat 27 Ramadhan tahun kedua Hijrah [Barsihannor: "Spiritualisme Ramadhan", Harian Fajar, Rubrik Opini, edisi 18 Agustus 2011].
Tanggapan:
Untuk menghemat rungan, maka dalam Seri 989 ini semua ayat dan hadits dituliskan artinya saja:
-- Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatu l-Qadr (S. Al-Qadr, 97:1)
-- Jika kamu beriman kepada apa yang kuturunkan kepada hamba Kami pada hari al-Furqaan, hari bertemunya dua pasukan (S. Al-Anfaal, 8:41).
Jadi Nuzulul Quran pada Lailatu l-Qadr dan pada waktu bertemunya dua pasukan yaitu Perang Badar.
Selanjutnya:
-- Carilah olehmu Lailatu l-Qadr pada sepuluh malam ganjil terakhir dalam bulan Ramadhan (HR Bukhari dan Muslim).
Untuk menghemat rungan, maka dalam Seri 989 ini semua ayat dan hadits dituliskan artinya saja:
-- Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatu l-Qadr (S. Al-Qadr, 97:1)
-- Jika kamu beriman kepada apa yang kuturunkan kepada hamba Kami pada hari al-Furqaan, hari bertemunya dua pasukan (S. Al-Anfaal, 8:41).
Jadi Nuzulul Quran pada Lailatu l-Qadr dan pada waktu bertemunya dua pasukan yaitu Perang Badar.
Selanjutnya:
-- Carilah olehmu Lailatu l-Qadr pada sepuluh malam ganjil terakhir dalam bulan Ramadhan (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi tulisan Barsihannor bahwa Perang Badar pada 27 Ramadhan benar adanya, karena 27 itu terletak pada sepuluh malam ganjil terakhir dalam bulan Ramadhan, di mana kita disuruh cari Lailatu l-Qadr, bukan sebagaimana umumnya di Indonesia ini dikatakan bahwa Nuzulul Quran itu pada 17 Ramadhan.
***
Hisab Imkanur Rukyah (perhitungan kuantitatif hilal bisa dirukyah)
-- Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua (36:39).
NU telah memperkenankan penggunaan alat untuk rukyah dan mengadopsi kriteria hisab imkanur rukyah untuk menolak kesaksian rukyah. Sejak 1994, PBNU telah membuat pedoman bahwa kesaksian hilal bisa ditolak bila semua ahli hisab sepakat menyatakan hilal tidak mungkin dirukyah. Prinsip penolakan itu telah dilakukan dalam sidang itsbat penentuan Idul Fitri 1418/1998 yang menolak kesaksian di Cakung dan Bawean. Saat itu hilal masih di bawah kriteria hisab imkanur rukyah.
Keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah 1932 menegaskan bahwa datangnya
awal bulan bukan hanya dengan rukyah, tetapi juga dengan hisab. Hisab bisa
berdiri sendiri sebagai sumber pengetahuan datangnya Ramadhan dan bulan-bulan qamariyah lainnya. Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang ijtihadnya. Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan falakiyah tentang posisi hilal.
awal bulan bukan hanya dengan rukyah, tetapi juga dengan hisab. Hisab bisa
berdiri sendiri sebagai sumber pengetahuan datangnya Ramadhan dan bulan-bulan qamariyah lainnya. Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang ijtihadnya. Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan falakiyah tentang posisi hilal.
Namun, hisab membutuhkan kriteria mengenai hilal. Tidak ada satu pun dalil dalam hadits atau Al-Quran yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria untuk hisab. Yang ada hanya isyarat berbentuk tandan yang tua dalam ayat (36:39). Oleh sebab itu dipakai pendekatan falakiyah, yaitu kriteria: "Wujudul hilal adalah keadaan bulan beberapa saat setelah ijtimak sebelum maghrib, bila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan".
Di samping itu ada pula kriteria kedua yang terkandung dalam "liru'yatihi", yaitu "mata tidak silau lagi oleh sinar matahari", sehingga hilal itu mampu dideteksi oleh mata dengan pertolongan instrumen. Bintang-bintang pada siang hari tidak bisa kita lihat karena mata kita silau oleh sinar matahari. Jadi walaupun hilal sudah ada di atas ufuk, namun tidak akan bisa dilihat kalau terlalu dekat ke matahari, walaupun matahari telah tenggelam. (jarak hilal dengan matahari pada ufuk tidak tetap, karena matahari bergeser bolak balik utara - selatan pada bola langit)
Wujudul hilal yang memenuhi kedua kriteria itu yakni hisab imkanur rukyah secara kuantitatif, tinggi hilal 2 derajat, umur hilal sejak ijtimak 8 jam dan sudut bulan-matahari 6,8 derajat. Muhammadiyah belum menerima kriteria yang kedua. Andaikata Muhammadiyah telah menerima kriteria kedua itu, maka Hisab Imkanur Rukyah adalah titik temu antara rukyah (NU) dengan hisab (Muhammadiyah).
Muhammadiyah insya-Allah akan lebaran pada hari Selasa 30 Agustus 2011, karena telah memenuhi kriteria pertama, yaitu "telah terjadi ijtimak sebelum maghrib dan matahari terbenam lebih dahulu dari bulan" pada 29 Ramadhan. Yaitu ijtimak antara pukul 10.04.03 WIB sampai pukul 10.05.16 WIB dengan tinggi hilal 1 derajat 57' 45,08", sedikit sekali di bawah 2 derajat. Karena terpaut sedikit sekali saja, maka kemungkinan hilal bisa dirukyah??? Marilah kita tunggu hasil rukyah nanti besok hari Senin tatkala matahari terbenam.
***
Ada pula yang perlu diperhatikan seperti ditulis dalam Seri 988 ybl, mengenai dialog Ibnu Abbas vs Kuraib:
Kuraib bertanya: "Tidakkah suduh cukup dengan rukyah hilalnya Mu'awiyah (yakni di Syam)?" Ibnu Abbas menjawab: "Tidak." Andai sampai di sini saja percakapan itu, maka hadits ini mauquf Ibnu Abbas. Namun pada bagian akhirnya Ibnu Abbas melanjutkan: "Demikianlah kami diperintahkan oleh Rasulullah SAW." Dengan demikian, maka hadits ini marfu', sanadnya sampai kepada RasuluLlah SAW.
Kuraib bertanya: "Tidakkah suduh cukup dengan rukyah hilalnya Mu'awiyah (yakni di Syam)?" Ibnu Abbas menjawab: "Tidak." Andai sampai di sini saja percakapan itu, maka hadits ini mauquf Ibnu Abbas. Namun pada bagian akhirnya Ibnu Abbas melanjutkan: "Demikianlah kami diperintahkan oleh Rasulullah SAW." Dengan demikian, maka hadits ini marfu', sanadnya sampai kepada RasuluLlah SAW.
Hadits ini menunjukkan wujudul hilal tidak berdasar atas wilayatul hukmi, melainkan tergantung mathlaq. Karena Indonesia ini memanjang dari barat ke timur, maka waktu wujudul hilal di sebelah barat akan berbeda dengan di sebelah timur dari garis batas wujudul hilal [GBWH] (garis lengkung tempat kedudukan titik-titik di mana tinggi hilal nol derajat), jika GBWH itu memotong Indonesia. GBWH selalu bergerak dari bulan (syahr, month) ke bulan berikutnya. Hal ini perlu diperhatikan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Kesimpulan, apabila GBWH memotong Indonesia maka 1 Ramadhan dan 1 Syawwwal akan tetap terjadi perbedaan di antara wilayah yang sebelah barat dengan sebelah timur GBWH, berhubung prinsip wilayatul hukmi bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas seperti dipaparkan di atas itu. Lalu bagaimana dengan yang tinggal pada GBWH? Itu mutasyabihat, cukupkan 30 hari, fakmiluw 'iddata tsalaatsiyn. Bagi kita di Indonesia pertanyaan itu sekarang ini tidak perlu, karena GBWH sekarang ini tidak memotong Indonesia, yaitu berada di sebelah timur Indonesia, sehingga wilayatul hukmi dapat diterapkan.
WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 28 Agustus 2011