4 September 1994

143. Betulkah Dichotomi Fisika Teori dengan Fisika Experimental, Benarkah Teori Einstein Ilmu Sesat?

Saya mengikuti berturut-turut tulisan bersambung sampai habis (3x) pada halaman ini, yang bersebelahan dengan kolom yang saya asuh. Judulnya: Berjalan-jalan Menembus Lorong Waktu. Ada beberapa hal yang menarik minat saya untuk mengomentari: Teori Einstein (Albert Einstein, [1879 - 1955]) ilmu sesat yang sulit disentuh dan dibuktikan secara experimental, teori quantum bersandar pada teori relativitas umum Einstein (diucapkan ainsytain), terlempar ke masa silam jika bergerak melaju diatas kelajuan cahaya, dawai kosmis dengan medan gravitasi yang fantastis besarnya sehingga menyedot apa saja, yang dihubungkan dengan terjadinya lubang hitam, manuver kapal angkasa pada dawai kosmis dengan tujuan menembus lorong waktu dan membesar-besarkan dichotomi fisika teori dengan fisika experimental.

Kita akan mulai dahulu mengomentari dichotomi fisika teori dengan fisika experimental, bersama-sama dengan ilmu sesat Einstein. Kemudian akan mengomentari berturut-turut hal-hal lainnya yang telah dikemukakan di atas dalam seri-seri kolom WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU yang selanjutnya, insya Allah.

Dalam tahun 1687 Sir Isaac Newton (1642 - 1727) memformulasikan sebuah teori yang dikenal dengan Prinsip Relativitas Newton, demikian bunyinya: Gerak benda-benda dalam suatu sistem akan sama keadaannya apakah sistem itu dalam keadaan diam atau dalam keadaan lurus beraturan. Newton menyertai teorinya ini dengan suatu keyakinan tentang adanya sebuah sistem yang diam secara mutlak yang menjadi pusat alam semesta, sebagai titik pusat koordinat mutlak. Dalam S.Yasin 40 Allah berfirman: ....waKullun fiy Falakin Yasbahuwna, ...dan tiap-tiap sesuatu berenang dalam falaknya. Menilik ayat tersebut dengan segera kita akan maklum bahwa usaha untuk mencari sistem yang diam secara mutlak yang ingin dijadikan Newton sebagai titik pusat sistem koordinat mutlak, adalah suatu perbuatan yang sia-sia. Dan memang itu ternyata dalam kurun waktu berikutnya, sehingga orang mengintoduser sebuah kerangka pemahaman baru, yaitu kumpulan sistem koordinat yang hubungannya dinyatakan dalam transformasi Galilei (Galilean domein, inertial frames), yang dapat menggantikan gagasan sistem koordinat mutlak dari Newton itu. Dalam tahun 1870 inertial frames ini diuraikan secara mendetail oleh Newman, dan dia memperkenalkannya dengan sebutan The Body Alpha.

Sejalan dengan perkembangan pemikiran dalam mekanika klasik tentang sistem koordinat ayang berakhir dengan introduksi inertial frames, pada pihak lain di bidang fisika klasik, terjadi pula proses pemikiran mengenai penafsiran cahaya. Tahun 1690 Christian Huygens (1629 - 1695) berteori bahwa cahaya itu adalah gerak gelombang yang menjalar pada hypothetische middenstof, zat perantara hipotetis, yang disebutnya aether. Pembuktian-pembuktian experimental sesudahnya menunjukkan bahwa pendapat Huygens itu benar. Lebih-lebih lagi makin diyakini orang kebenarannya setelah pada akhir abad ke-19 dicocokkan dengan persamaan elektromagnet dari James Clerk Maxwell (1831 - 1879). Persamaan Maxwell itu memenuhi persamaan gelombang. Dalam persamaan itu terdapat knstanta c yang menyatakan hubungan unit elektromagnet dengan elektrostatika dari muatan. Gangguan terhadap medan elektromagnet akan menjalar dengan laju c. Secara ekperimental konstanta c ini dapat dicari. Weber dan Kohlrauch (1856) mendapatkan harga c = 3,1 x 1010 cm/detik. Percobaan dengan alat yang lebih teliti oleh Curtis (1929) mendapatkan c = 2,99790 x 1010 cm/detik dan akhirnya Froome (1952) memperoleh c = 2,99792 x 1010 cm/detik, dan ini adalah laju cahaya di tempat vakum. Nyatalah bahwa riak aether tidak lain dari medan elektromagnet. Demikianlah teori gelombang dari Huygens, yang ditopang oleh persamaan Maxwell, yang diperkuat oleh hasil experimen Weber & Kohlrauch, Curtis dan Froome, menunjukkan keterkaitan (linkage) antara fisika teori dengan fisika experimental, bukan dichotomi di antara keduanya.

Keberhasilan mengidentifikasikan riak aether dengan medan elektromagnet, membangkitkan minat orang kembali untuk mengingat gagasan sistem koordinat mutlak dari Newton. Bukankah aether inilah yang dicari-cari oleh Newton, yang dihipothesekan oleh Huygens sebagai zat yang walaupun beriak, namun diam di tempat secara mutlak. Maka tahun 1881 Albert Abraham Michelson (1852 - 1931) mengadakan experimen, yang diulanginya kembali tahun 1887 bersama-sama dengan Morley, sehingga percobaannya itu dinamakan experimen Michelson - Morley. Tujuan experimen dengan alat yang disebut interferometer ingin mengetahui berapa kecepatan bumi terhadap aether. Jika seorang berenang melintasi kolam tegak lurus pulang-balik, kemudian berenang pula dengan kelajuan yang sama menyusur pinggir kolam pulang balik dalam jarak yang sama, maka tentu saja waktu yang dibutuhkan oleh kedua lintasan itu akan sama pula. Lain halnya jika bukan di kolam melainkan pada sungai yang ada arusnya. Lintasan menyeberang sungai pulang-balik akan berbeda waktu yang dibutuhkan dengan lintasan menyusur pinggir sungai ke hulu kemudian ke hilir dalam jarak yang sama.

Dalam experimen Michelson-Morly itu, orang berenang adalah cahaya, air sungai yang mengalir adalah bumi yang bergerak dan daratan yang diam adalah aether. Hasil percobaan itu diluar dugaan: Waktu yang dibutuhkan cahaya untuk kedua macam lintasan yang tegak lurus itu adalah sama besarnya, jadi ibarat kolam yang tenang airnya, bukan air sungai yang mengalir. Artinya bumi sama sekali tidak bergerak terhadap aether, ibarat air kolam yang tidak bergerak terhadap pelataran kolam renang. Para pakar fisika terperanjat, kecewa bahkan ada yang kebingungan ingin kembali ke faham lama, geosentris, bumi sebagai pusat alam. Menjelang akhir abad ke-19 ilmu fisika menemui jalan buntu (impasse).

Selama seperempat abad dunia ilmu fisika gelap. Tahun 1905 muncullah Einstein di panggung ilmu fisika. Menurut Einstein penyebab kebuntuan itu adalah postulat menurut pandangan lama, yang seperti berikut:

  • Interval waktu (jarak waktu) di antara dua peristiwa tidak tergantung dari sistem yang diobservasi.
  • Interval ruang (jarak) di antara dua titik tidak tergantung dari sistem yang diobservasi.
Menurut Einstein pandangan itu harus diubah menjadi:
  • Kecepatan cahaya invarian, tidak terpengaruh oleh gerak sistem yang diobservasi.
  • Jarak waktu dan jarak ruang relatif, tergantung pada keadaan gerak sistem yang diobservasi.
Dengan berlandaskan pada postulat yang baru itu, maka percobaan Michelson-Morley itu sudah seharusnya demikian, karena kecepatan cahaya itu tidak terpengaruh oleh keadaan gerak bumi, ataupun gerak benda langit yang manapun juga. Kedua postulat itulah yang melandasi Teori Relativitas Khusus (1905). Dikatakan khusus, karena baru menyangkut sistem khusus yakni dalam inertial frames. Teori Relativitas Khusus itu membuahkan: Kesetaraan antara massa dengan energi dengan rumus yang terkenal E = mc2.

Rumus kesetaraan Einstein itu baru dapat dibuktikan secara experimental setelah Otto Hahn (1879 - ?) bersama-sama dengan Lise Meitner (1878 - ?) dalam tahun 1939 berhasil memecahkan inti atom dalam laboratorium Institut Kaiser Wihelm di Berlin. Dengan diungkapkannya proses transformasi nuklir hasil gempuran partikel-partikel alpha, proton, deuteron dan sinar gamma, expressi E = mc2 telah terbukti secara experimental dengan kadar ketelitian yang tinggi.

Einstein memekarkan teorinya 11 tahun kemudian, bukan lagi dalam kawasan inertial frames, melainkan ditingkatkannya ke dalam kawasan medan gravitasi, sehingga ia memberikan nama: The General Theory of Relativity. Karena Einstein tidak percaya akan adanya sistem yang diam secara mutlak (walaupun ia barangkali tidak pernah membaca: kullun fiy Falakin Yasbahuwna?), maka ia tidak terpaku pada pihak Newton yang melihat appel jatuh. Ia meninjau kedua belah pihak, yaitu kini tiba gilirannya untuk mendengarkan pula bagaimana appel yang menganggap dirinya diam, sedangkan Newton yang "jatuh" pada appel. Inilah yang dikenal dengan lift Einstein.

Dalam mekanika klasik dikenal sebuah hukum: inertial mass sama besar dengan gravitational mass, yaitu hasil experimen Galilei. Ini ditingkatkan Einstein bahwa inertial mass bukan hanya sekadar sama besar gravitational mass, melainkan lebih dari itu: inertial mass setara dengan gravitational mass. Walhasil Einstein mengubah pandangan fisika klasik yang menganggap alam semesta ini secara mekanis menjadi sebuah bentuk persamaan matematis ruang-waktu (space-time continum), dengan kalkulus tensor. Benda-benda langit bergerak bukanlah karena ditarik gravitasi. Gravitasi menurut Einstein adalah alur (falak) geodesic yang dilalui benda-benda langit yang semuanya senaniasa bergerak. Bahkan cahayapun menjalar melalui alur geodesic itu.

Dengan kalkulus tensor Einstein mendapatkan expressi penyimpangan lintasan cahaya oleh medan gravitasi matahari seperti berikut:
d = sudut penyimpangan lintasan cahaya,
k = konstanta universal = 6,66 x 10-8 dyne cm2 g2
m = massa benda yang medan gravitasinya membelokkan lintasan cahaya tersebut
R = jarak lintasan cahaya dari titik pusat sistem koordinat

Rumus di atas itu telah diuji secara experimental pada waktu gerhana matahari penuh di Sobral (Brazilia) dan pulau Principe (Afrika) pada 29 Mei 1919 oleh Royal Society dan Royal Astronomical Socity. Yang terlibat dalam expedisi ilmiyah itu adalah para pakar Eddington, Cottngham, Crommelin dan Davidson. Untuk matahari, rumus di atas itu menghasilkan sudut penyimpangan 1,75", dan ini sesuai dengan pengujian experimental tersebut, dalam arti ada penyimpangan yang tidak signifikan.

Demikianlah romantika sejarah perkembangan ilmu fisika, romantika keterkaitan (linkage) fisika teori dengan experimental, serta pengujian experimental secara kuantitatif dari Teori Relativitas Einstein baik yang special maupun yang general. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 4 September 1994