Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November, Kepala Negara telah mengangkat tiga gelar Pahlawan Nasional kepada H. Muhammad Saleh Tuanku Tambusai dari Ranah Minang, Nuku Tuan Barakat dari Tidore dan Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka dari Makassar.
Setelah Bonjol jatuh, Peto Syarif Tuanku Imam Bonjol mundur di sekitar Bonjol dikecoh oleh Belanda untuk berunding di bukit Palupuh. Ternyata dalam perundingan itu Tuanku Imam Bonjol ditangkap Belanda. Itu terjadi pada 25 November 1837, seperti yang dilakukan oleh Belanda terhadap Pangeran Diponegoro 7 tahun sebelumnya di Magelang. Meskipun Tuanku Imam sebagai pimpinan tertinggi Paderi telah ditangkap, namun Tuanku Tambusai masih tetap melawan dan bertahan di benteng Dalu-Dalu. Untuk menjatuhkan Dalu-Dalu Belanda membutuhkan waktu persiapan 14 bulan lamanya, setelah Bonjol jatuh. Belanda mengepung Dalu-Dalu selama 10 hari. Setelah pertempuran berlangsung dengan sengit, Tuanku Tambusai dengan pengikut-pengikutnya meloloskan diri melalui pintu rahasia benteng, langsung melompat ke dalam sungai. Tuanku Tambusai tidak ketahuan ke mana perginya. Ke manapun Belanda mencarinya tidak dijumpai. Bermacam cerita mengenai Tuanku Tambusai. Konon dalam sebuah sampan yang hanyut dijumpai cincin stempel, sebuah Al Quran dan beberapa kitab yang dibawa Tuanku Tambusai dari Makkah. Dan konon kabarnya Tuanku Tambusai meloloskan diri ke Malaya (sekarang Malaysia). Dan konon kabarnya pula kuburannya dewasa ini dijumpai di negeri jiran itu.
Tentang Tuanta Salamaka telah pernah kita jumpai dalam kolom ini. Yaitu dalam Seri 106 dengan judul: "Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka vs Karaeng Pattingalloang tentang Lima Perkara", tertanggal 5 Desember 1993. Sedangkan mengenai Nuku Sultan Barakat telah pernah pula kita jumpai dalam Seri 120 dengan judul: "Nuku vs Wieling, Membuktikan Diri Bersih, vs Praduga Tak Bersalah", tertanggal 20 Maret 1994.
Kita kutip sedikit dari Seri 106: Syaikh Yusuf adalah tokoh berkaliber internasional, dengan predikat ulama dalam kwalitas sufi, ilmuwan penulis puluhan buku, pejuang yang gigih di mana saja ia berada: di Gowa, di Banten, di Ceylon (Srilangka sekarang) dan di Tanjung Pengharapan, negaranya orang Boer (petani emigran Belanda, sekarang Negara Afrika Selatan). Karaeng Pattingalloang adalah Perdana Menteri kerajaan kembar Gowa-Tallo', negarawan, politikus, ilmuwan, yang publikasi karya ilmiyahnya belumlah ditemukan hingga dewasa ini.
Syahdan, inilah dialog di antara keduanya dalam Hikayat Tuanta Salamaka menurut versi Gowa, sebagaimana dituturkan oleh Allahu Yarham Haji Ahmad Makkarausu' Amansyah Daeng Ngilau'. Materi dialog itu ada lima perkara: anynyombaya saukang, appakala'biri' sukkuka gaukang, a'madaka ri bate salapanga, angnginunga ballo' ri ta'bala' tubarania, dan pa'botoranga ri pasap-pasaraka.
Maka menjawablah Karaeng Pattingalloang:
"Pertama, susatongi nipamari anynyombaya saukang, susahlah menghentikan rakyat menyembah saukang, sebab melalui saukang itulah wibawa raja ditegakkan, yang kedua, sukarlah juga menghentikan penghormatan gaukang, karena di situlah letaknya kemuliaan sang raja, anjoreng minjo kala'biranna sombaya, yang ketiga, tidaklah gampang Bate Salapang menghentikan bermadat, karena jika demikian takkuleami nagappa nanawa-nawa kabajikanna pa'rasanganga, tidak akan timbul gagasan-gagasan baru mengenai konsep pembangunan, yang keempat, kalau pasukan kerajaan dihentikan minum tuak, lalu kedatangan musuh, inaimo lanisuro a'jjallo', siapalah yang akan dikerahkan membabat musuh, yang kelima, juga tidak mungkin menutup perjudian di pasar-pasar, karena tenamo nantama baratuwa, tidak ada lagi pajak judi yang masuk dalam perbendaharaan kerajaan, antekammamo lanibajiki pa'rasanganga, lalu bagaimana mungkin menggalakkan pembangunan?"
Setelah dialog selesai, Tuanta Salamaka mengeluarkan pernyataan: "Punna tenamo takammana lakupilari butta Gowa, kalau keputusan kerajaan sudah demikian itu, akan kutinggalkan Butta Gowa. Tamangeai nyawaku anciniki sallang sare-sarenna Butta Gowa. Tak sampai hati saya menyaksikan kelak keruntuhan Butta Gowa." Menurut berita insya Allah Syaikh Yusuf akan diperingati tahun 1994 di Negara Afrika Selatan, yang mendapat dukungan kuat dari Nelson Mandela. Kolom ini ditulis untuk ikut sekelumit menyambut tahun kegiatan memperingati Syaikh Yusuf di rantau jauh itu.
Dari seri 120 tentang Nuku:
Perselisihan antara Nuku dengan Wieling perihal asas tersangka harus membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi perang yang tidak dimaklumkan pada tahun 1805. Nuku adalah Sultan Tidore yang membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni Belanda (de drie Oostersche Provintien van Gouvernementen): Ternate, Ambon dan Banda. Nama lengkapnya Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram. Ia membebaskan (1780-1797) dan mempertahankan (1797-1805) wilayah kerajaannya dengan jalan peperangan yang sengit diselingi dengan diplomasi yang handal dan dengan siasat mengadu domba ketiga gubernur itu selama 25 tahun. Beberapa tahun menjelang akhir hayatnya (14 November 1805), yaitu sejak Gubernur Ternate menjalankan mekanisme pemerintahan Inggeris (1799), terjadi gencetan senjata antara Kerajaaan Tidore dengan Gubernur Ternate, yang menjalankan mekanisme pemerintahan Inggeris itu. Setelah Pemerintah Inggeris menyerahkan kembali kekuasaan kepada Pemerintah Belanda (1 Maret 1803), Ternate dimasukkan ke dalam wilayah Gubernur Ambon. Di Ternate hanya ditempatkan Wakil Gubernur Ambon, yaitu Carel Lodewijk Wieling.
Syahdan, 2 orang penghuni istana Tidore, yaitu dayang-dayang puteri Boki Fathimah yang bernama Sulasi dan Barunarasa mencuri emas, intan-berlian puteri itu dan melarikan diri ke Ternate. Nuku bersurat kepada Wieling pada 28 Muharram 1220 (18 April 1885) supaya kedua tersangka itu diextradisikan ke Tidore. Wieling menolak permintaan extradisi itu oleh karena menurut penyelidikannya, kedua orang itu sebenarnya adalah penduduk Ternate, bukan penduduk Tidore, jadi tidak tergolong di bawah wewenang pengadilan kerajaan Tidore (en dus in geen opsigte tot de Jurisdictie van het Tidorsche Rijk behooren; ejaan Belanda lama, sekarang opzicht dan behoren). Nuku dapat memahami penolakan itu, tidak seperti Amerika dan Inggeris yang tidak mau memahami Muammar Qaddafi yang menolak extradisi 2 orang tersangka warga Libia. Bukan hanya sekadar tidak mau mengerti bahkan melalui PBB memboikot Libia. Yang Nuku tidak mau mengerti ialah bahwa hasil pengadilan Belanda di Ternate menyatakan kedua tersangka tidak bersalah karena penuntut tidak dapat membuktikan kesalahan mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah apabila tidak dapat dibuktikan kesalahannya, yakni asas praduga tak bersalah. Kejaksaan bukan saja bertugas memberantas kejahatan, tetapi juga melindungi siapa yang tidak bersalah (om zoo wel de ontschuld te beschermen als het quaad te beteugelen; ejaan lama, sekarang zo dan kwaad). Sedangkan dalam Kerajaan Tidore sejak Kolano Kaicil Cire raja Tidore yang mula-pertama masuk Islam (1450), berlaku hukum acara sesuai yang diletakkan asasnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA: Anna- Laka Hadza, dari mana milikmu ini, tersangka harus membuktikan kebersihan dirinya. WalLahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 12 November 1995