Ada sebuah ujar-ujar yang mempergunakan makan sebagai kriteria umum dalam hal apa yang termasuk dalam pengertian: sangat miskin, miskin, memadai, kaya dan sangat kaya. Kata ujar-ujar itu orang sangat miskin adalah orang ketika bangun pagi mempermasalahkan apa yang akan dimakan hari itu. Orang miskin, kata ujar-ujar itu, adalah orang yang mempermasalahkan apa yang akan dimakan besok. Adapun orang yang memadai tidak lagi mempermasalahkan apa yang akan dimakan, melainkan dengan siapa ia makan. Yaitu sebelum makan ia terlebih dahulu memilah-milah siapa yang akan diundang makan bersama ke rumahnya. Sedangkan orang kaya, menurut ujar-ujar itu, adalah orang yang mempermasalahkan di mana ia akan makan. Apakah dengan anak isteri di rumah kalau sempat, ataukah di restoran yang mana dengan relasi bisnis, ataukah di tempat peristirahatan dengan "gula-gula"-nya. Terakhir, menurut ujar-ujar itu, orang yang sangat kaya adalah orang yang memprogramkan siapa yang akan dia makan. Apakah relasi bisinisnya yang akan ia caplok, ataukah bank yang akan dia bobol dengan perangkat halus, atau gadis manis mana yang akan menjadi mangsanya, ataukah dengan kekayaannya itu mencoba meloncat kodok untuk mendapatkan popularitas dengan metode rekayasa pengurus tandingan.
Makan sebagai kriteria umum untuk golongan kaya dan sangat kaya itu mempunyai konotasi yang negatif. Kriteria itu diberi predikat umum, yang berarti bahwa itu pada umumnya. Tentu ada golongan khusus di antara orang kaya dan sangat kaya itu yang tidak demikian. Katakanlah yang dikenai kriteria itu adalah "main stream" sedangkan yang khusus itu dari golongan "pencilan".
Ujar-ujar perihal makan dijadikan kriteria itu, tidaklah jauh menyimpang dari realitas, kalau belum boleh dikatakan sesuai benar dengan realitas. Manusia terdiri atas komponen ruhaniyah yang immaterial dan komponen biologis yang dapat diindera. Secara biologis manusia itu digerakkan oleh iradah (naluri) mempertahankan dan meningkatkan kehidupan materialnya. Itulah yang disebut dengan Nafsun Ammarah dalam Al Quran. Pada binatang, nalurinya hanya sebatas mempertahankan hidup. Beruk pemetik kelapa misalnya kalau sudah diberi makan secukupnya, puaslah ia. Akan tetapi buruh pemanjat kelapa senantiasa ingin mendapatkan upah yang lebih tinggi. Konon kabarnya orang yang berpesta pora di kalangan petinggi kerajaan Romawi disediakan oleh tuan rumah bulu halus sejenis burung. Orang yang sudah kenyang menggelitik kerongkongannya dengan bulu burung itu sehingga ia muntah. Setelah itu ia dapat makan sepuasnya kembali, lalu menggelitik kerongkongan lagi, sehingga terjadilah proses makan dengan tidak puas-puasnya. Nanti berhenti kalau tidak sanggup menggelitik kerongkongan lagi, karena sudah menjadi tunasakring, artinya teler berat.
Pada waktu RasuluLlah SAW diisra'kan oleh Allah SWT, beliau menunggang buraq. Allah Maha Kuasa, tanpa menunggang buraqpun RasuluLlah dapat isra' dengan Kuasa Allah. RasuluLlah menunggang buraq dituntun oleh Jibril AS. Dari konfigurasi ini dapat kita menyimak suatu makna, bagaimana wahyu, akal dan naluri disinkronkan dalam satu sistem. Akal sebagai energi ruhaniyah mengendalikan naluri biologis yang bersifat hewani dan sementara itu akal dituntun oleh wahyu.
Berfirman Allah dalam Al Quran:
Syahru Ramadha-na Lladziy Unzila Fiyhi lQuran Hudan linNa-si waBayyinatin minalHuday walFurqa-ni (S. Al Baqarah, 185), bulan Ramadhan yaitu di dalamnya diturunkan Al Quran, petunjuk bagi manusia, penjelasan mengenai petunjuk itu dan pemisah (yang tegas mana yang baik, mana yang buruk) (2:185).
Ayat (2:185) itu berkaitan dengan perintah puasa agar orang beriman dapat meningkatkan dirinya menjadi taqwa (2:183). Ayat yang berhubungan dengan peningkatan diri secara ruhaniyah ini (2:183) telah dibahas dalam Seri 212 yang baru lalu. Dalam Seri yang baru lalu itu dibahas hubungan iman, digambarkan sebagai anak panah yang menancap pada dinding kotak sebelah kiri, dengan proses puasa, digambarkan dengan kotak, dengan taqwa yang digambarkan sebagai anak panah keluar dengan pangkal panah pada sisi kotak yang sebelah kanan.Ayat (2:185) menjelaskan tentang kotak proses yaitu berpuasa. Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia, Hudan linNa-si, yaitu manusia yang terdiri atas komponen ruhaniyah dan jasmaniyah yang bersifat biologis. Dengan berpuasa terjadilah proses latihan pengendalian dalam diri nanusia, yaitu energi ruhaniyah yang memancar sebagai akal budi mengendalikan kekang mengendarai
naluri hewaniyah. Inilah konfigurasi RasuluLlah sebagai manusia menunggang buraq dituntun oleh Jibril AS pembawa wahyu, wahyu menuntun kemanusiaan yang selanjutnya kemanusiaan mengendalikan naluri hewaniyah mempertahankan dan meningkatkan kehidupan biologis dalam wujud: makan, minum dan sex untuk melanjutkan keturunan.
Al Quran memberikan pula penjelasan mengenai petunjuk itu, waBayyinatin minalHuday, memberikan penjelasan tentang tolok ukur supaya kita dapat mengevaluasi diri kita mengenai hasil perjuangan mengendalikan naluri hewaniyah ini. Allah berfirman pada ayat terkhir dari "paket puasa Ramadhan":
Wa La- Ta'kuluw Amwa-lakum Baynakum bilBa-thili wa Tudluw biHa ilay lHukka-mi liTa'kuluw Fariyqan minAmwa-li nNa-si bilItsmi wa Antum Ta'lamuwna (S. Al Baqarah, 188) . Dan janganlah kamu makan harta-harta di antara kamu dengan jalan batil, dan jangan pula mencari keuntungan dengan jalan membawa ke hadapan hakim agar kamu dapat melahap sebagian harta-harta orang lain dengan menempuh dosa, padahal sesungguhnya (dalam hati kecilmu) kamu mengetahuinya (2:188). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 28 Januari 1996
28 Januari 1996
[+/-] |
213. Makan dan Makan Harta |
21 Januari 1996
[+/-] |
212. Menebus Dosa dan Memahami Puasa Dengan Pendekatan Input Proses Output |
AlhamduliLlah kita dipanjangkan umur oleh Allah SWT, sehingga Insya-Allah besok kita sempat pula tiba pada tonggak sejarah perjalanan hidup kita yaitu bulan Ramadhan. Umur kita bertambah dari tahun ke tahun dan setiap tahun kita melintasi tonggak sejarah yang berwujud sebulan penuh merenungkan diri dengan Ihtisaban, introspeksi diri, seperti sabda RasuluLlahi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: Man Sha-ma Ramadha-na Iymanan waHtisa-ban Ghufiralah Ma- Taqaddama min Dzanbihi. Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan introspeksi diampuni dosanya yang lalu.
Setelah meliwati bulan Ramadhan dengan kesungguhan berpuasa dan introspeksi diri, Allah SWT menjanjikan pengampunan dosa, sehingga setelah melampaui tonggak sejarah itu, mereka yang berhasil ibarat lahir kembali, suci dari dosa. Dengan kesungguhan introspeksi diri menurut RasuluLlah, orang dapat terbebas dari dosa, menebus dirinya sendiri. Menurut ajaran Islam, membebaskan diri dari dosa haruslah oleh diri sendiri, tidak membutuhkan seorang penebus. Seseorang tidak ditimpa dosa yang dibuat oleh orang lain. Kakek dan Nenek kita Adam dan Hawa yang melanggar perintah Allah SWT dengan makan buah larangan, tidaklah menurunkan dosa kepada anak cucunya. Tidak ada konsep dosa warisan (erf zonde) menurut ajaran Islam.
Laha- Ma- Kasabat wa 'Alayh- Ma- Ktasabat (S. AlBaqarah, 286), baginya (pahala kebajikan) yang diusahakannya, dan atasnya (dosa kejahatan) yang diperbuatnya (2:286).
***
Selanjutnya tulisan ini mencoba untuk memberikan pemahaman tentang puasa kepada orang-orang yang bergelimang dalam bidang-bidang ilmu-ilmu exakta. Dalam Teknik Mengatur dikenal sebuah diagram (gambar) aliran input, proses, output seperti berikut:Banyak sekali yang dapat dijelaskan dengan diagram di atas itu. Gambar itu menunjukkan aliran mulai dari panah masuk (input, masukan), selanjutnya kotak proses, kemudian panah keluar (output, luaran). Kalau gabah yang menjadi input, diproses oleh mesin penggiling padi, maka yang menjadi output adalah beras. Gabah itu diberi nilai tambah oleh mesin penggiling padi. Dengan teknologi penggiling padi, gabah diberi nilai tambah menjadi beras. Teknologi alu dan lesung juga dapat memberikan nilai tambah pada gabah untuk menjadi beras. Mesin penggiling padi lebih tinggi mutunya ketimbang kombinasi alu dengan lesung. Itu berarti makin canggih proses makin tinggi pula nilai tambah yang dihasilkan.
Contoh itu dapat digeneralisasikan, sehingga kita dapat memberikan pemahaman tentang teknologi yang lebih jelas. Teknologi adalah suatu proses yang memberikan nilai tambah pada suatu komoditi. Makin canggih teknologi, makin tinggi pula nilai tambah yang dihasilkannya. Itulah sebabnya dalam menghadapi pembangunan orang selalu mengingatkan akan pentingnya sumberdaya manusia yang memiliki ilmu dan teknologi.
Itu dari segi lahiriyah (substantial). Sumberdaya manusia itu bukan hanya dilihat dari segi lahiriyah, akan tetapi yang lebih penting adalah dari segi ruhaniyah. Berfirman Allah SWT dalam Al Quran:
Ya-ayyuha- Lladziyna Kutiba 'Alaykumu shShiya-mu Kama- Kutiba 'alay Lladziyna min Qablikum La'allakum Tattaquwna (S. AlBaqarah, 183). Hai orang-orang yang beriman telah ditetapkan atasmu berpuasa seperti telah ditetapkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa (2:183).
Ada tiga kata yang kita garis bawahi, iman, puasa dan taqwa. Iman adalah input, puasa adalah proses dan taqwa adalah output, seperti diperlihatkan dalam diagram berikut:Iman diberi nilai tambah menjadi taqwa dengan melalui proses puasa. Artinya bertaqwa lebih tinggi nilai ruhaniahnya ketimbang beriman. Menurut Al Quran, iman adalah salah satu komponen dari taqwa:
Alif, lam, mim. Dzalika lKita-bu La- Rayba Fiyhi Hudan lilMuttaqiyna. Alladziyna Yu'minuwa bilGhaybi waYuqiymuwna shShala-ta wa Mimma- Razaqna-hun Qunfiquwna (S. AlBaqarah, 1-3). Alif, lam, mim. Inilah Al Kitab tidak ada keraguan di dalamnya petunjuk bagi orang-orang taqwa. Yaitu yang beriman kepada yang Ghaib, mendirikan shalat dan dari sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafaqahkan (2:1-3).
Menurut ayat di atas itu jelaslah bahwa iman, shalat dan zakat merupakan komponen-komponen yang membentuk taqwa. Artinya taqwa mempunyai nilai ruhaniyah yang lebih tinggi ketimbang iman. Atau dengan perkataan lain, nilai ruhaniyah iman dapat ditingkatkan ke nilai ruhaniyah yang lebih tinggi, yaitu taqwa. Hal ini lebih diperjelas dengan gambar anak panah iman (input) kotak puasa (proses) dan anak panah taqwa (output).
Walhasil, dalam ungkapan kalimat yang sering kita dengar: meningkatkan iman dan taqwa, kata penghubung dan harus diganti dengan untuk menjadi, sehingga ungkapan kalimat itu seharusnya menjadi: meningkatkan iman untuk menjadi taqwa. Kalaupun ingin dihubungkan kata meningkatkan dengan kata taqwa, maka dikatakanlah: Meningkatkan taqwa menjadi sebenar-benarnya taqwa, sesuai dengan ayat:
Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Ittaquw Llaha Haqqa Tuqa-tihi (S. Ali 'Imra-n, 102). Hai orang-orang beriman taqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa (3:102).
Orang-orang beriman meningkatkan dirinya menjadi taqwa dan orang-orang bertaqwa meningkatkan dirinya menjadi sebenar-benarnya taqwa. Ungkapan sebenar-benarnya taqwa adalah penyataan kualitatif yang tidak bertepi, sebatas kemampuan manusiawi. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 21 Januari 1996
14 Januari 1996
[+/-] |
211. Kriteria Sebuah Tolok Ukur |
Dalam Perang Dunia kedua kapal-kapal dagang dipakai pula untuk keperluan logistik. Kapal-kapal itu mengangkut perbekalan dalam konvoi. Pada kapal-kapal itu dipasang perlengkapan sistem pertahanan udara. Selang beberapa waktu formasi konvoi dengan senjata pada masing-masing kapal-kapal dagang itu dievaluasi, apakah efektif atau tidak. Untuk evaluasi perlu tolok ukur. Kriteria yang dipakai untuk tolok ukur itu ialah persentase yang mampu dirontokkan di antara kapal terbang musuh yang berani mendekati konvoi. Hasil observasi menunjukkan bahwa ternyata sangat sedikit pesawat musuh yang dapat dirontokkan. Alhasil formasi konvoi dengan sistem pertahanan udaranya dinilai tidak efektif.
Akan tetapi kemudian penilaian berubah. Setelah diteliti dengan jeli, ternyata kriteria yang dipakai untuk tolok ukur itu tidak benar. Dalam menentukan kriteria terlebih dahulu perlu dirumuskan tujuan sistem itu dengan cermat. Apakah benar bahwa tujuan konvoi pengangkut keperluan logistik itu adalah untuk merontokkan pesawat? Sama sekali tidak! Tujuan konvoi itu ialah untuk mengangkut logistik dengan selamat. Kriteria untuk tolok ukur itupun berubahlah menjadi persentase kapal-kapal pengangkut yang rusak atau tenggelam oleh pesawat terbang musuh. Dari data yang diperoleh tak sebuah juapun dari kapal-kapal pengangkut itu yang rusak apatah pula tenggelam oleh pesawat terbang musuh. Dengan kriteria yang telah diubah tersebut, maka sistem pengangkut itu dinilai efektif.
Dalam contoh di atas itu ternyata sangat perlu merumuskan dengan baik terlebih dahulu tujuan sesuatu barulah menentukan kriteria. Instalasi senjata dalam sistem pertahanan udara kapal-kapal dagang itu bukan untuk merontokkan pesawat musuh, melainkan untuk mengusirnya supaya tidak mendekat. Yang penting konvoi selamat tidak perduli apakah ada pesawat musuh yang dirontokkan atau tidak. Kurangnya persentase yang dirontokkan di antara pesawat musuh yang berani mendekati konvoi adalah akibat efektifnya sistem pertahanan udara konvoi itu dalam menghalau pergi pesawat terbang musuh. Merontokkan pesawat musuh bukanlah pekerjaan konvoi kapal-kapal logistik, melainkan tugas satuan tempur.
Betapa sulit untuk membuat kriteria tolok ukur, sedang itu baru mengenai hal-hal lahiriyah (tangible). Maka betapa pula sulitnya dalam membuat kriteria tolok ukur untuk hal-hal yang tersembunyi di dalam batin manusia. Dalam laut dapat diduga dalam hati siapa tahu, hanya Allah yang tahu. Akan tetapi itu tidaklah berarti bahwa kita tidak dapat sama sekali menemukan kriteria tolok ukur untuk menilai yang ada di dalam batin manusia. Yaitu di dalam batin yang terdalam di dalam diri kita yang disebut iman.
***
Kita sekarang sementara berada dalam bulan Sya'ban, bulan yang dapit oleh Rajab (sebelumnya) dengan Ramadhan (sesudahnya). Kedua bulan pengapit bulan Sya'ban itu masing-masing mengandung peristiwa penting. Dalam bulan Rajab terjadi peristiwa Isra-Mi'raj RasuluLlah SAW. Dalam bulan Ramadhan kita melaksanakan puasa wajib sebulan penuh. Adakah kaitan di antara kedua bulan pengapit Sya'ban itu?
Biasa kita dengar ucapan-ucapan, utamanya sambutan-sambutan dalam upacara peringatan Isra-Mi'raj, bahwa peristiwa Isra-Mi'raj itu sangat penting untuk lebih memantapkan iman kita. Apakah betul tujuannya demikian itu? Allah berfirman:
Subhana Lladziy Asray bi'Abdihi Laylan mina lMasjidi lHara-mi ilay lMasjidi lAqshha- Alladziy Barakna- Hawlahu liNuriyahu min Ayatina- Innahu Huwa sSamiy'u lBashiyru (S. Bany Isra-iyl, 1)
Mahasuci Yang mengisra'kan hamabaNya suatu malam dari Al Masjid Al Haram ke Al Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekelilingnya untuk memperlihatkan sebagian dari ayat-ayat Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat (17:1).
Jelas sekali dalam ayat itu bahwa tujuan Allah mengisra'kan RasuluLlah SAW adalah untuk memperlihatkan sebagian dari ayat-ayat Allah, yang bukan hanya sekadar tanda-tanda akan tetapi lebih dari itu. Yakni ayat Kawniyah yang nyata dan yang ghaib. Diperlihatkan Allah kepada siapa? Yaitu kepada RasuluLlah SAW, bukan kepada kita. RasuluLlah yang menyaksikannya dengan mata kepala dan mata batin. Tujuan Isra-Mi'raj adalah untuk memantapkan batin RasuluLlah, bukan untuk memantapkan iman kita. Kita tidak melihat apa yang telah disaksikan oleh RasuluLlah SAW.
Ayat Qawliyah di atas itu dimulai dengan Subhana. Itu menunjukkan bahwa dalam hal ini kita berurusan dengan sesuatu di luar batas kemampuan akal. Untuk dapat mengetahui sesuatu kita harus mempergunakan akal. Akan tetapi akal itu berakar pada indera. Dengan demikian kerja akal itu tidak lain merupakan perpanjangan (extension) indera. Indera dan akal sifatnya biologis dan nisbi. Maka indera dan akal hanya mampu menggarap alam syahadah (physical world) secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil garapan akalpun bersifat nisbi. Maka kebenaran Isra-Mi'raj bukanlah urusan akal, melainkan urusan yang lebih tinggi dari akal yaitu iman. Itulah makna kalimah Subhana pada permulaan ayat Qawliyah (17:1) yang dituliskan di atas itu.
Alhasil peristiwa Isra-Mi'raj bukanlah untuk memantapkan iman, melainkan sebaliknya untuk menguji keimanan kita. Menerima kebenaran Isra-Mi'raj sepenuhnya dengan iman, itulah kriteria tolok ukur untuk menilai iman di dalam lubuk hati nurani kita. Yang menilainya adalah diri kita sendiri.Menilai keimanan diri sendiri itu sangat perlu dalam menghadapi bulan Ramadhan yang akan kita hadapi bulan depan.
Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Kutiba 'Alaykumu shShiya-mu (S. Al Baqarah, 183). Hai orang-orang beriman telah ditetapkan atasmu berpuasa (2:183).
Perintah Allah SWT kepada hambaNya untuk berpuasa hanya ditujukan kepada orang-orang beriman, maka di sinilah letak kaitannya antara kedua bulan pengapit Sya'ban. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 14 Januari 1996
7 Januari 1996
[+/-] |
210. Jujur, Adil, dan Ihsan |
Ada sebuah anekdot. Tersebutlah konon seorang Badui (bukan yang dari negeri Arab, melainkan yang dari Jawa Barat) dalam perjalanannya berjalan kaki kemalaman di sebuah dusun. Ia menumpang bermalam pada sebuah rumah di dusun itu. Yang empunya rumah menyodorkan bantal ke kepala tamunya itu. Orang Badui itu memindahkan bantal tersebut dari kepala ke kakinya. Ibarat kata pepatah, orang mengantuk disorongkan bantal, maka dengan segera orang Badui itu terlelap. Yang empunya rumah terheran-heran melihat orang Badui yang tidur lelap itu dengan kedua kakinya yang berbantal. Pagi-pagi keesokan harinya pada waktu menyuguhkan sarapan pagi ala kadarnya, yang empunya rumah bertanya kepada tamunya itu.
- Sobat, apakah memang demikian adat kebiasaan di kampung tempat asalmu, kedua kaki yang berbantal, bukan kepala?
- Sebenarnya adat kebiasaan di kampung asal saya sama juga dengan adat kebiasaan orang di sini, kepala yang berbantal. Akan tetapi demi keadilan, karena kaki yang penat berjalan kaki sejauh itu, maka kakilah yang harus menikmati bantal. Kaki telah lebih banyak melaksanakan kewajibannya, sehingga kaki lebih berhak ketimbang kepala diberi berbantal, jawab orang Badui itu.
- Oh, ya, itulah keadilan ditinjau dari segi keseimbangan antara hak dengan kewajiban, bergumam yang empunya rumah sambil manggut-manggut. Kata-katanya itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri ketimbang kepada tamunya itu.
Isu hak asasi manusia (HAM) sedang merebak sekarang ini. Dilihat dari segi kriteria keseimbangan antara kewajiban dengan hak, maka gerakan organisasi internasional perihal HAM ini tidaklah adil. Hanya getol dalam hal melancarkan hak asasi, tidak pernah kedengaran organisasi HAM ini bergerak dalam hal kewajiban asasi manusia (KAM).
Sesungguhnya ada organisasi yang bergerak dalam bidang kewajiban asasi manusia ini, akan tetapi tidaklah secara demonstratif mempergunakan ungkapan kewajiban asasi ini. Organisasi yang dimaksud itu adalah organisasi yang bergerak dalam lapangan da'wah. Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah yang dapat membentuk organisasi yang bergerak dalam hal KAM dan sekaligus HAM. Firman Allah:
Wa Ma- Khalaqtu lJinna walInsa Illa- liYa'buduwni (S. AdzDza-riyat, 56), tidaklah Aku jadikan jinn dan manusia, melainkan mereka mengabdi kepadaKu (51:56).
Mengabdi kepada Allah SWT, itulah kewajiban asasi dan sekaligus hak asasi manusia. Maka tidaklah mungkin organisasi internasional yang bergerak dalam HAM ini akan berlaku adil dengan bergerak pula di bidang KAM, oleh karena pendiri ataupun orang-orang yang aktif dalam organisasi internasional itu adalah mereka penganut humanisme yang tidak mau tahu, bahkan ada yang tidak percaya kepada Allah SWT.
Kriteria keseimbangan antara kewajiban dengan hak bukanlah satu-satunya kriteria untuk berbuat adil. Buruh mengeluarkan keringat lebih banyak, artinya bekerja lebih keras dari mandur, akan tetapi gaji mandur lebih tinggi dari buruh. Sepintas lalu ini kelihatannya tidak adil. Kriteria yang dipakai di sini dalam hal menempatkan sesuatu pada tempatnya, adalah tanggung jawab. Tanggung jawab mandur lebih besar dari buruh, itulah sebabnya gajinya lebih tinggi.
Seorang bapak yang memandang warna kuning yang paling indah, membelikan semua anaknya pakaian baru berwarna kuning menjelang lebaran. Bapak itu menyangka sudah berlaku adil pada anak-anaknya, tidak memilih kasih salah seorang di antaranya, karena ia telah memberikan warna yang paling indah kepada semuanya. Akan tetapi sebenarnya sang bapak tidak berlaku adil, karena ada beberapa orang anaknya yang tidak senang pada warna kuning, sehingga mereka merasa tidak diperlakukan dengan adil. Dalam hal ini kriteria untuk berlaku adil adalah selera.
Seorang ibu memberikan uang saku yang sama banyak kepada anak-anaknya. Sang ibu sudah menyangka berlaku adil, tidak memilih kasih salah seorang di antaranya, semua mendapat bagian yang sama banyak. Akan tetapi sebenarnya sang ibu tidak berlaku adil oleh karena anaknya itu ada yang mahasiswa, ada yang masih di sekolah menengah bahkan masih ada yang di taman kanak-kanak. Dalam hal ini kriteria yang harus dipergunakan oleh sang ibu adalah kebutuhan.
Tidaklah yang menempuh ujian itu harus lulus semuanya. Yang luluspun tidak semuanya akan mendapatkan nilai yang sama. Kriteria keadilan dalam hal ini adalah kesanggupan.
Karena bermacam-macamnya kriteria dalam hal berbuat adil, maka untuk menentukan kriteria yang tepat haruslah jujur. Orang yang tidak jujur tidak mungkin dapat berbuat adil.
Khutbah kedua dalam khutbah Jum'at biasanya ditutup dengan S. An Nahl, 90: InnaLlaha Ya'muru bil'Adli walIhsa-ni, sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan (16:90).
Apa pula yang disebut ihsan? Yaitu mereka yang dengan ikhlas memberikan kepada orang lain hak yang berlebihan atau memilih kewajibannya lebih besar dari haknya. Contohnya, bapak-bapak dengan ikhlas memberikan hak kepada ibu-ibu adanya Hari Ibu dengan tidak menuntut adanya Hari Bapak. Seorang suami yang dengan ikhlas mengganti popok bayinya. Bukankah mengganti popok itu kewajiban sang isteri? Sang suami menambah kewajibannya mengganti popok, karena bayinya menangis-nangis, pada hal sang isteri sedang berkadahajat di WC. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 7 Januari 1996