5 Mei 1996

225. Hewan Sembelihan Untuk Kurban Apakah Sakral?

Mulai bulan April 1996 Mimbar Agama Islam di TVRI tidak lagi dipusatkan di pusat. Pertanyaan seperti judul di atas itu merupakan salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh pembawa acara (pewawancara) dalam Mimbar Agama Islam TVRI Studio Ujung Pandang kepada saya sebagai salah seorang di antara dua orang pengisi acara (yang diwawancarai). Adapun pengisi acara yang seorang lagi adalah Ahmad Ali. Mimbar Agama Islam yang disiarkan pada tanggal 25 April 1996, malam Jum'at pukul 19.35 hingga 19.58 seperti yang telah ditayangkan, bergaya tanya-jawab, wawancara pembawa acara dijawab oleh kedua orang pengisi acara silih berganti.

Karena keterbatasan waktu, pertanyaan itu saya jawab secara terbatas pula. Saya pikir jawaban pertanyaan itu lebih bermanfaat kiranya, jika diutarakan dalam bentuk tertulis di dalam kolom ini, oleh karena dapat diuraikan secukupnya. Di samping itu ada pula kegunaan lain dari bentuk tertulis tersebut, yakni dapat dibaca sekali dua kali, sehingga lebih komunikatif, terhindar dari persepsi yang berbeda dengan maksud sebenarnya, alias salah faham. Bahkan dalam hal memberikan instruksi dalam kehidupan berorganisasi dikenal ungkapan HPL, hindari pesan lisan.

Saya dapat memahami latar belakang pemikiran pembawa acara tersebut. Karena seperti diketahui di tanah air kita (dan juga di negeri-negeri Islam lainnya) dalam upacara yang bersifat kebudayaan, khususnya yang bernuansa nativisme, terjadi sinkretisme, yaitu hewan kurban dalam upacara 'IydulQurban dikaitkan bahkan dicampur-adukkan dengan pensucian benda-benda pusaka yang dianggap sakral.

Pepatah mengatakan: Bahasa menunjukkan bangsa. Kalau pepatah ini dijabarkan akan bermakna: bahasa menunjukkan pola pikir dan budaya bangsa. Dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman kurban disebut sacrifice (Inggeris), slachtoffer (Belanda), Opfer (Jerman). Sacrifice bernuansa sakral, slachten berarti menyembelih, offer dan Opfer berarti persembahan. Jadi kurban menurut pemahaman dan rasa bahasa Indo-Jerman berarti sesajen berupa hewan sembelihan yang sakral. Inilah pola pikir dan budaya bangsa-bangsa Indo-Jerman yang asli yang berhubungan dengan kurban.

Bagaimana sesungguhnya pengertian kurban secara etimologis? Pertanyaan ini juga disodorkan kepada saya oleh pembawa acara TVRI dalam Mimbar Agama Islam tersebut. Dari akar kata yang dibentuk oleh tiga huruf: Qaf, Ra, Ba diturunkanlah antara lain kata kerja (fi'il) QarraBa dan kata benda (ism) Qurba-n. Qarraba artinya mendekatkan diri, Taqarrub ilay Llahi, mendekatkan diri kepada Allah. Qarraba Qurba-nan (S. Al Ma-idah, 27), artinya mendekatkan diri (kepada Allah) dengan kurban (5:27). Dari segi rasa bahasa kurban terkait makna dengan mendekatkan diri, jadi terjauh dari rasa-bahasa Indo-Jerman yang bermakna sesajen berupa hewan sembelihan yang sakral.

Akar kata yang dibentuk oleh huruf Qaf, Ra, dan Ba ini telah diserap pula ke dalam bahasa Indonesia dalam arti dekat, yaitu kata majemuk: sahabat-karib dan kaum-kerabat. Sahabat-karib berarti sahabat dekat dalam konteks ikatan batin, dan kaum-kerabat berarti keluarga dekat dalam konteks ikatan darah. Dalam bnetuk isim tafdhil (superlatif) aqrab diserap menjadi akrab, pergaulan yang akrab, artinya pergaulan yang sangat dekat (intim).

Bahwa hewan sembelihan untuk upacara kurban ini tidaklah sakral dipertegas oleh Firman Allah:
Faidza- Wajabat Junuwbuha- faKuluw Minha- wa Th'imuw lQa-ni'a walMu'tarra (S. Al Hajj, 36). Apabila telah terkapar binatang sembelihan itu (karena disembelih), maka makanlah sebahagian daripadanya dan beri makanlah (sebahagian yang lain) kepada orang-orang miskin yang meminta dan tidak meminta (22:36).

Dari Firman Allah tersebut jelas bahwa hewan sembelihan untuk upacara kurban itu tidaklah sakral, karena binatang senbelihan itu dikatakan terkapar setelah disembelih, artinya tidaklah disembelih di atas altar (meja persembahan yang disakralkan), Selanjutnya dalam ayat tersebut binatang sembelihan itu disuruh makan, dan ini suatu penegasan lagi bahwa hewan kurban itu tidak sakral. Sebagiannya dimakan oleh yang berkurban dan sebagian pula diberikan kepada fakir miskin untuk dimakan. Dalam hal ini ungkapan Qarraba Qurba-nan (5:27) dapat pula bermakna mendekati fakir miskin dengan kurban. Itu menunjukkan bahwa walaupun upacara menyembelih hewan kurban itu adalah upacara yang ritual, namun dalam dimensi lain mempunyai pula efek sosiologis.

Bahwa binatang sembelihan untuk upacara kurban itu tidak sakral dan bukan persembahan (sesajen), dipertegas pula oleh Firman Allah dalam ayat berikutnya.
Lan Yana-laLlaha Luhuwmuha wa la- Dima-uha Walakin ana-luh Ttaqway Minkum (S. Al Hajj, 37). Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak pula darah-darahnya, melainkan yang sampai kepadaNya adalah ketaqwaan kamu (22:37).

Dalam Firman Allah di atas itu ungkapan Qarraba Qurba-nan (5:27) bermakna Taqarrub ilay Llah, mendekatkan diri kepada Allah dengan semangat taqwa. Daging kurban tidak sampai kepada Allah, daging kurban tidak berfungsi sebagai sesajen (Opfer). Darah kurban tidak sampai kepada Allah, darah tidak berfungsi apa-apa, tidak berfungsi untuk mensucikan (sacrifice), tidak sakral. Dalam upacara yang berdimensi kebudayaan terutama yang bernuansa nativisme darah berfungsi mensucikan benda-benda pusaka.

Kesimpulannya kedua jenis upacara itu tidak boleh disinkronkan, karena dengan demikian berarti menambah-nambah upacara ritual 'IydulQurban. Sedangkan menambah-nambah upacara ritual itulah yang disebut bid'ah. Kullu Bid'atin Dhala-lah, wa Kullu Dhala-latin fiy nNa-r, semua bid'ah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka, demikian sabda RasuluLlah SAW. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 5 Mei 1996