26 Mei 1996

227. Potonglah Tangannya!

Eddy Tansil yang merugikan negara sejumlah Rp.1,3 triliun telah meramaikan halaman-halaman media cetak dan layar monitor serta gelombang suara media elektronik. Begitu mudah ia meloloskan diri. Betapa wibawa hukum tercoreng karenanya. Bermacam ragam dugaan orang dan ramalan peramal di mana ia sekarang: masih di dalam negeri, diramalkan masih sekitar Surabaya dan akan ditemukan dalam keadaan mayat, sudah kabur ke luar negeri, entah di Hongkong, Shanghai, Kanton, Singapura, ataupun entah di mana rimbanya.

Lolosnya Eddy Tansil membuka mata kita betapa besar pengaruhnya uang. Ia mampu membobol bank dengan modal dasar surat sakti dari Sudomo dan menyogok petinggi Bapindo yang sudah tinggi penghasilannya. Maka tentu saja jauh lebih mudah baginya untuk lolos dengan menyogok secuil uang kepada aparatur pengawal penjara Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang rendah penghasilannya. Sanksi 20 tahun kurungan tidak membuatnya jera, bahkan menambah semangatnya untuk raib dari penjara dengan bermain-main uang.

Sehubungan dengan relatif rendahnya penghasilan PNS, timbullah sebuah anekdot. Tersebutlah konon si Fulan mempunyai tiga orang anak, semuanya sudah bekerja dan semuanya sudah berkeluarga dan semuanya telah tinggal di rumah tinggalnya masing-masing. Si Fulan walaupun tidak dirumah tatkala salah seorang anaknya datang, dapat mengetahui siapa yang datang. Apabila si Fulan membuka lemari esnya dan tampak buah-buahan seperti appel, anggur, maka ia tahu bahwa yang datang kerumahnya adalah anaknya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing. Apabila yang tampak olehnya dalam lemari es itu buah pisang ataupun ubi maka tahulah dia bahwa yang datang itu adalah anaknya yang berkerja pada perusahaan swasta dalam negeri. Akan tetapi jika ia membuka lemari es lalu ia melihat isi lemari es itu ludes, maka maklumlah ia bahwa yang datang itu adalah anaknya yang PNS.

Belajar dari pengalaman Eddy Tansil mempermain-mainkan hukum, maka untuk yang akan datang perlu dipikirkan bagaimana caranya membuat jera kelas kakap sebangsa Eddy Tansil ini. Pada setiap peringatan Nuzulu lQuran dalam bulan Ramadhan tak henti-hentinya dikumandangkan sebagai tema sentral bahwa Al Quran itu Hudan linNa-s, petunjuk bagi manusia (2:185). Kalau kita mau istiqamah (konsisten, taat asas) maka patutlah disadari bahwa Al Quran telah menunjukkan cara khusus untuk menangani koruptor kelas kakap sebangsa Eddy Tansil. Yaitu mereka dibuat jera dengan sanksi yang keras.

Berfirman Allah dalam Al Quran:
WasSa-riqu wasSa-riqatu Faqtha'uw Aydiyahuma- Jaza-an biMa- Kasaba- Taka-lan mina Llahi waLlahu 'Aziyzun Hakiymun (S. Al Ma-idah, 38). Terhadap pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan pekerjaan keduanya, dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (5:38).

Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan adalah dalam kontex pencuri kelas kakap yang sangat merugikan orang banyak. Kepada mereka itu tidaklah dapat diharapkan lagi kesadarannya. Hukuman bagi mereka bukanlah untuk menyadarkan, akan tetapi untuk sebagai balasan atas perbuatannya, sebagai siksaan dari Allah SWT. Yang tampil di sini bukanlah Allah Yang bersifat Maha Pemurah dan Maha Penyayang (AlRahman AlRahiym), melainkan Allah dengan sifatNya Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (al'Aziz alHakim). Terhadap pencuri kelas kakap itu perlu sanksi yang keras: potong tangan.

Dalam Negara Pancasila ini ayat di atas itu dapat saja dijadikan hukum positif. Ada prosedurnya untuk itu. Menurut UUD-1945, undang-undang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam DPR lebih dari cukup suara untuk menggolkan sanksi potong tangan itu untuk dimasukkan dalam Undang-Undang Anti Korupsi. Bukankah jumlah ummat Islam dalam dewan itu lebih dari cukup? Bukankah semuanya telah menerima Al Quran itu sebagai petunjuk? Bukankah Al Quran sebagai petunjuk manusia itu merupakan tema sentral dalam peringatan Nuzulu lQuran yang diselenggarakan setiap bulan Ramadhan di mana-mana?

Di samping sanksi yang keras untuk membuat orang takut melahap uang negara, maka sanksi potong tangan itu memudahkan terpidana untuk diidentifikasi oleh khalayak jika ia meloloskan diri dari penjara. Andaikata Eddy Tansil telah dipotong tangannya, tentu seluruh rakyat Indonesia dengan serentak dan serempak dapat memberikan bantuannya. Andaikata pula Eddy Tansil telah dibuntungkan tangannya, tak akan timbul semangatnya untuk berusaha lolos, karena tentu ia berpikir tangan yang terpotong mudah dilihat oleh siapa saja. Alhasil sanksi potong tangan bukanlah dalam makna metaforis, melainkan betul-betul harus difahami secara textual! WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 26 Mei 1996