27 Oktober 1996

247. Ekstasi Tidak Berbahaya Bagi Ketertiban Masyarakat, Katanya

Terkait dengan Seri 246 hari Ahad yang baru lalu, saya mendapat dorongan dari beberapa handai-tolan, baik melalui telepon maupun secara tatap langsung, untuk menulis tentang pendapat Padeng Gervanius SH dan Herman SH, yang keduanya Penasihat Hukum terdakwa CW. Fasalnya dalam Seri 246 itu saya telah mengutip pendapat PH itu, yang diangkat dari bagian risalah pembelaan keduanya, yang telah dimuat dalam Harian Fajar, edisi 18 Oktober 1996, halaman 9. Saya kutip ulang: keterangan ahli dan hasil penelitian Labkrim Polri dapat diketahui secara jelas dan pasti bahwa ekstasi tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, karena pemakai ekstasi justru merasa damai dengan dunia sekitarnya.

Sebermula saya merasa tidak perlu menulis tentang itu, oleh karena yang elok menjawab pendapat kedua PH itu sebaiknya dari petugas Labkrim Polri yang dijadikan rujukan oleh mereka itu. Namun setelah pikir punya pikir akhirnya saya putuskan untuk menulisnya, oleh karena ekstasi ini merusak generasi muda, salah satu subsistem yang penting dalam sistem sosial. Rusaknya subsistem ini akan mengancam kelanjutan eksistensi suatu bangsa.

Sangatlah naif untuk berpendapat bahwa penangguk ekstasi tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, karena pemakai ekstasi justru merasa damai dengan dunia sekitarnya. Memang dengan melihat sepintas lalu secara dangkal ada perbedaan antara orang teler karena ekstasi dengan orang teler karena miras. Orang teler karena ekstasi (kalau itu memang benar) akan merasa damai dengan dunia sekitarnya. Sedangkan sebaliknya orang yang teler karena miras dapat menjadi bringas sehingga mengganggu ataupun membahayakan orang sekitarnya.

Saya katakan naif oleh karena pandangan kedua PH itu ruang lingkupnya sangatlah sempit, yakni hanya melihat pada keadaan sesaat tatkala penangguk ekstasi itu dalam keadaan teler. Kalau logika berpikir itu kita ikuti, maka ganja, candu (opium), hasysyisy, heroin, morphin ataupun obat bius (narkotika) lainnya juga tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, oleh karena pengisap ganja, pengisap candu, pengisap hasysyisy, penyedot (dengan hidung) bubuk heroin, pejarum suntik morphin, kalau mereka sedang menikmati keadaan fly, mereka tidak mengganggu dunia sekitarnya.

Saya katakan naif karena rentang waktu orang hidup bukan tatkala teler karena ekstasi, miras dan obat bius saja. Masih ada rentang waktu yang lebih panjang dalam skenario kehidupan manusia. Yaitu rentang waktu yang lebih panjang sebelum minum dan sesudah berhenti teler. Bahkan ada rentang waktu yang jauh lebih panjang lagi, yaitu kelanjutan kehidupan suatu bangsa.

Dari mana mendapatkan uang untuk minuman setan yang harganya mahal itu? Coba meneliti kehidupan remaja kita utamanya di kota-kota. Sudah mulai timbul feodalisme dalam bentuk yang baru. Terbentuk kelompok remaja yang dikepalai oleh anak orang kaya. War lord ini menggaji body guard dan mendanai sahabat-sahabatnya yang kurang berpunya untuk pergi bersenang-senang menikmati masa remaja berasyik-maksyuk: sex, narkotika, miras, ekstasi dengan air mineral, dan berkelahi bila perlu.

Apa yang terjadi jika war lord itu mengganti body guard dan mengambil sahabat-sahabat baru? Mantan-mantan body guard dan mantan-mantan sahabat itu akan ketagihan karena sudah biasa meneguk ekstasi dengan harga semurah-murahnya (baca: tidak
membayar sepeserpun). Upaya-upaya apa yang ditempuh oleh mantan-mantan body guard dan mantan-mantan sahabat itu untuk mendapatkan uang guna memenuhi hasrat ketagihannya itu? Gampang untuk dijawab, yaitu mereka menjadi preman, membentuk kelompok baru dengan program kerja: mencuri, memeras, merampok! Alhasil mereka mengganggu bahkan membahayakan orang sekitarnya, walaupun mereka itu tatkala sementara teler merasa damai dengan dunia sekitarnya (yang digaris-bawahi itu saya kutip ulang dari risalah pembelaan kedua PH yang telah dikutip di atas itu).

Berfirman Allah SWT dalam Al Quran:

Innama- Yuriydu sySyaytha-nu an Yuwqi'a Baynakumu l'Ada-wata walBa'dha-a fiy lKhamri walMaysiri wayashuddakum 'an Dzikri Llahi wa'ani shShalawti faHal Antum Muntahuwna (S. Al Ma-idah, 91). Sesungguhnya setan berkehendak menjerumuskan kamu ke dalam jurang permusuhan dan kebencian di antara kamu dalam miras dan judi untuk menghalangi kamu mengingat Allah dan shalat, maukah kamu menghentikan perbuatan itu! (5:91).

Dalam Al Quran miras dan judi selalu dirangkaikan (2:219, 5:90, 5:91). Miras dan judi ada persamaannya, yaitu orang yang terjerumus, nalurinya selalu menagih dirinya untuk bermiras dan berjudi. Miras dan judi menyebabkan manusia menjadi ketagihan. Dalam hal zakat fithri semua makanan pokok (beras, jagung, sagu) dapat diqiyaskan pada gandum. Maka dalam hal minuman atau makanan apa saja yang menjebabkan orang ketagihan dapat diqiaskan pada al Khamru (miras). Permainan apa saja yang menyebabkan orang ketagihan dapat diqiaskan pada al Maysiru (judi).

Binatang mempunyai naluri mempertahankan kehidupan biologis dan melanjutkan keturunan (makan, minum, sex). Manusia di samping mempunyai naluri yang sama dengan binatang, juga masih mempunyai naluri untuk tidak pernah merasa puas. Pada binatang apabila kebutuhan biologisnya telah terpenuhi, puaslah ia. Singa betapapun buasnya jika telah kenyang, tidak akan menerkam. Akan tetapi manusia karena tidak ada rasa puasnya, walaupun sudah kenyang masih mau menerkam, sehingga manusia cenderung untuk jatuh lebih rendah derajatnya dari binatang.

Allah SWT memberikan ruh pada manusia yang tidak diberikanNya pada binatang. Karena manusia cenderung untuk tercampak derajatnya, maka perlu sekali ruh manusia senantiasa mampu mengendalikan nalurinya. Upaya setan (anak buah iblis) untuk menjerumuskan manusia ialah mengganggu jalur kendali dari ruh ke naluri manusia. Jika jalur kendali telah terganggu maka setan selanjutnya merangsang naluri manusia untuk menjadi ketagihan al Khamru (narkotika, miras, ekstasi) dan al Maysiru (judi dan permainan lain yang menimbulkan ketagihan), sebagai sasaran antara, dan selanjutnya menjerumuskan manusia ke dalam jurang permusuhan dan kebencian, sebagai sasaran lanjutan, yang akhirnya menghalangi manusia mengingat Allah dan shalat, sebagai sasaran akhir. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 27 Oktober 1996