6 Oktober 1996

244. Pengembangan Teknologi yang Sarat Bermuatan Nilai, Apakah Ada Batasnya?

Untaian kata pengembangan teknologi mengandung muatan nilai, oleh karena mestilah dijawab pertanyaan untuk apa dan ke arah mana pengembangan itu? Bahkan pengertian teknologi itu sendiri tidak luput dari muatan nilai. Teknologi adalah suatu proses pengolahan barang atau komoditi. Bagaimana mengolahnya? Jawaban pertanyaan bagaimana ini bermuatan nilai, yaitu secara tradisional yang padat karya, atau secara lebih maju (advanced) yang seimbang antara padat karya dengan padat modal, atau secara canggih (sophisticated) yang padat modal.

Diolah untuk apa? Jawaban pertanyaan untuk apa ini juga bermuatan nilai, yang dalam hal ini nilai kegunaan dan nilai ekonomis. Komoditi itu diolah untuk mendapatkan nilai tambah. Jadi teknologi adalah proses pengolahan komoditi untuk memperoleh nilai tambah. Contohnya: Logam diolah secara tradisional menjadi kompor minyak tanah. Hasil pengolahan berupa kompor munyak tanah ini mempunyai nilai tambah ketimbang logam yang belum diolah. Dengan teknologi yang lebih maju logam itu dapat diolah menjadi kompor gas. Kompor gas nilai tambahnya lebih tinggi dari kompor minyak tanah. Logam itu dapat diolah dengan teknologi canggih menjadi pesawat terbang. Nilai tambah pesawat terbang jauh lebih tinggi dari kompor gas. Makin canggih teknologi dikembangkan, makin tinggi pula nilai tambah yang diperoleh, sehingga ada kecenderungan untuk mengembangkan terus kecanggihan teknologi dalam suatu negara, oleh karena hal itu akan meningkatkan Gross National Product dari negara yang bersangkatan.

Maka timbul pertanyaan: Apakah pengembangan teknologi ada batasnya? Dan kalau ada apakah yang membatasinya?

***

Perintah membaca: Iqra biSmi Rabbika (S. Al 'Alaq, 1), bacalah atas nama Maha Pengaturmu (96:1), bermakna perintah untuk mengkaji Al Quran (ayat-ayat Qawliyah) dan alam syahadah (ayat-ayat Kawniyah), haruslah didahului dengan Basmalah. Dengan sistem pendidikan kita sekarang yang menempatkan kedua jenis ayat itu dalam posisi dua kutub yang terpisah, membawa akibat apabila orang Islam membaca Al Quran didahului dengan Basmalah, akan tetapi kalau membaca alam syahadah tidaklah didahului dengan Basmalah. Adalah suatu kenyataan, pada umumnya guru dan murid, dosen dan mahasiswa tidaklah mengingat nama Allah SWT tatkala mengajar dan belajar di kelas pada lembaga pendidikan umum sewaktu mengkaji alam semesta. Ini adalah suatu kenyataan yang pahit dari segi pendidikan yang harus kita akui, yaitu kurangnya kesadaran akan nilai akhlaq dalam mengkaji ayat Kawniyah.

Manusia dalam statusnya sebagai khalifah Allah SWT di atas bumi ini akan berurusan dengan ayat-ayat Kawniyah yang dapat distratifikasikan sebagai: alam sekitar (surronding), sumber-daya alam (natural resources) dan lingkungan hidup (biosphere).

Alam sekitar adalah ayat Kawniyah yang belum dijamah manusia, kecuali untuk sumber informasi bagi ilmu pengetahuan. Tetapi itu tidak berarti bebas nilai, oleh karena sudah menyentuh keinginan manusia, yaitu dipilih sebagai sumber informasi untuk ilmu pengetahuan. Jadi sejak semula ilmu pengetahuan itu tidaklah bebas nilai. Awan di udara adalah alam sekitar, sumber informasi, dipelajari dalam ilmu fisika bagaimana terjadinya hujan. Tidak bebas nilai oleh karena dipilih untuk dikaji, yang menghasilkan teknologi menabur awan guna kepentingan manusia.

Sumber-daya alam adalah ayat Kawniyah yang sudah sarat dengan nilai, dengan keinginan manusia untuk memanfaatkannya. Awan yang bergumpal-gumpal di udara yang ditabur dengan es kering atau iodida perak adalah sumber-daya alam. Hasil menabur awan itu adalah hujan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan air manusia.

Lingkungan hidup adalah ayat Kawniyah yang mempunyai ciri yang disebut hidup, sehingga sangat sarat bermuatan nilai. Pengertian hidup di sini jangan dikacaukan dengan makna hidup yang hakiki. Sangat sederhana pengertiannya, yaitu makhluk Allah yang dapat makan (termasuk minum dan bernafas), mengeluarkan kotoran, bertumbuh dan berkembang biak. Maka termasuklah di dalamnya tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia.

Makin canggih teknologi dalam proses pengolahan akan membutuhkan energi yang lebih banyak. Kebutuhan energi secara global makin meningkat. Sumber energi berupa bahan bakar fosil dan panas bumi ditambah dengan energi matahari, angin, arus laut, ombak, energi pasang-surut sudah mulai tidak memadai lagi untuk melayani pertumbuhan industri. Bahkan persediaan minyak bumi sudah semakin menipis, sehingga digalakkan sekarang pemakaian batu-bara. Maka orang menoleh kepada bahan bakar nuklir, yakni sumber energi yang terkandung dalam mikro-kosmos, ke dalam inti atom, yang secara populer dikenal dengan ungkapan tenaga nuklir.

Memenuhi kebutuhan energi oleh dunia industri dengan mempergunakan bahan bakar nuklir baru diterima orang dengan sikap enggan, tidak sepenuh hati. Trauma kebocoran di PLTN Chernobyl beberapa tahun lalu di Uni Sovyet sehingga terjadi pencemaran radiasi pada daerah yang luas sekelilingnya, masih dirasakan orang ibarat monyet di punggung. Dalam waktu-waktu yang akan datang jika PLTN ini makin mengglobal, maka globa kita ini makin terbebani oleh sampah nuklir, dan pengembangan teknologi tertumbuk pada krisis energi.

Maka pertanyaan apakah pengembangan teknologi ada batasnya, dan kalau ada apakah yang membatasinya, terjawablah sudah. Ada tiga batasnya. Pertama, dibatasi oleh kondisi sosiologis yaitu teknologi canggih yang padat modal menghemat tenaga manusia sehingga meningkatkan jumlah pengangguran. Kedua, dibatasi oleh kemampuan dari globa untuk memikul beban pencemaran utamanya sampah nuklir. Ketiga, dibatasi oleh krisis energi.

Alhasil mengkaji ayat Kawniyah umumnya, mengembangkan teknologi khususnya, tidaklah berbeda dengan mengkaji ayat Qawliyah, haruslah berangkat dari Basmalah: Iqra biSmi Rabbika, supaya timbul kesadaran akan nilai akhlaq berupa amanah Allah SWT kepada manusia sebagai kahlifahNya, yaitu dalam memanfaatkan sumber-daya alam, selalu ingat akan persyaratan tidak boleh sekali-kali melupakan tanggung jawabnya untuk memelihara lingkungan hidup. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 6 Oktober 1996