Eddy Tansil yang merugikan negara sejumlah Rp.1,3 triliun telah meramaikan halaman-halaman media cetak dan layar monitor serta gelombang suara media elektronik. Begitu mudah ia meloloskan diri. Betapa wibawa hukum tercoreng karenanya. Bermacam ragam dugaan orang dan ramalan peramal di mana ia sekarang: masih di dalam negeri, diramalkan masih sekitar Surabaya dan akan ditemukan dalam keadaan mayat, sudah kabur ke luar negeri, entah di Hongkong, Shanghai, Kanton, Singapura, ataupun entah di mana rimbanya.
Lolosnya Eddy Tansil membuka mata kita betapa besar pengaruhnya uang. Ia mampu membobol bank dengan modal dasar surat sakti dari Sudomo dan menyogok petinggi Bapindo yang sudah tinggi penghasilannya. Maka tentu saja jauh lebih mudah baginya untuk lolos dengan menyogok secuil uang kepada aparatur pengawal penjara Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang rendah penghasilannya. Sanksi 20 tahun kurungan tidak membuatnya jera, bahkan menambah semangatnya untuk raib dari penjara dengan bermain-main uang.
Sehubungan dengan relatif rendahnya penghasilan PNS, timbullah sebuah anekdot. Tersebutlah konon si Fulan mempunyai tiga orang anak, semuanya sudah bekerja dan semuanya sudah berkeluarga dan semuanya telah tinggal di rumah tinggalnya masing-masing. Si Fulan walaupun tidak dirumah tatkala salah seorang anaknya datang, dapat mengetahui siapa yang datang. Apabila si Fulan membuka lemari esnya dan tampak buah-buahan seperti appel, anggur, maka ia tahu bahwa yang datang kerumahnya adalah anaknya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing. Apabila yang tampak olehnya dalam lemari es itu buah pisang ataupun ubi maka tahulah dia bahwa yang datang itu adalah anaknya yang berkerja pada perusahaan swasta dalam negeri. Akan tetapi jika ia membuka lemari es lalu ia melihat isi lemari es itu ludes, maka maklumlah ia bahwa yang datang itu adalah anaknya yang PNS.
Belajar dari pengalaman Eddy Tansil mempermain-mainkan hukum, maka untuk yang akan datang perlu dipikirkan bagaimana caranya membuat jera kelas kakap sebangsa Eddy Tansil ini. Pada setiap peringatan Nuzulu lQuran dalam bulan Ramadhan tak henti-hentinya dikumandangkan sebagai tema sentral bahwa Al Quran itu Hudan linNa-s, petunjuk bagi manusia (2:185). Kalau kita mau istiqamah (konsisten, taat asas) maka patutlah disadari bahwa Al Quran telah menunjukkan cara khusus untuk menangani koruptor kelas kakap sebangsa Eddy Tansil. Yaitu mereka dibuat jera dengan sanksi yang keras.
Berfirman Allah dalam Al Quran:
WasSa-riqu wasSa-riqatu Faqtha'uw Aydiyahuma- Jaza-an biMa- Kasaba- Taka-lan mina Llahi waLlahu 'Aziyzun Hakiymun (S. Al Ma-idah, 38). Terhadap pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan pekerjaan keduanya, dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (5:38).
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan adalah dalam kontex pencuri kelas kakap yang sangat merugikan orang banyak. Kepada mereka itu tidaklah dapat diharapkan lagi kesadarannya. Hukuman bagi mereka bukanlah untuk menyadarkan, akan tetapi untuk sebagai balasan atas perbuatannya, sebagai siksaan dari Allah SWT. Yang tampil di sini bukanlah Allah Yang bersifat Maha Pemurah dan Maha Penyayang (AlRahman AlRahiym), melainkan Allah dengan sifatNya Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (al'Aziz alHakim). Terhadap pencuri kelas kakap itu perlu sanksi yang keras: potong tangan.
Dalam Negara Pancasila ini ayat di atas itu dapat saja dijadikan hukum positif. Ada prosedurnya untuk itu. Menurut UUD-1945, undang-undang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam DPR lebih dari cukup suara untuk menggolkan sanksi potong tangan itu untuk dimasukkan dalam Undang-Undang Anti Korupsi. Bukankah jumlah ummat Islam dalam dewan itu lebih dari cukup? Bukankah semuanya telah menerima Al Quran itu sebagai petunjuk? Bukankah Al Quran sebagai petunjuk manusia itu merupakan tema sentral dalam peringatan Nuzulu lQuran yang diselenggarakan setiap bulan Ramadhan di mana-mana?
Di samping sanksi yang keras untuk membuat orang takut melahap uang negara, maka sanksi potong tangan itu memudahkan terpidana untuk diidentifikasi oleh khalayak jika ia meloloskan diri dari penjara. Andaikata Eddy Tansil telah dipotong tangannya, tentu seluruh rakyat Indonesia dengan serentak dan serempak dapat memberikan bantuannya. Andaikata pula Eddy Tansil telah dibuntungkan tangannya, tak akan timbul semangatnya untuk berusaha lolos, karena tentu ia berpikir tangan yang terpotong mudah dilihat oleh siapa saja. Alhasil sanksi potong tangan bukanlah dalam makna metaforis, melainkan betul-betul harus difahami secara textual! WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 26 Mei 1996
26 Mei 1996
[+/-] |
227. Potonglah Tangannya! |
12 Mei 1996
[+/-] |
226. Taqiyah |
Yang rajin mengikuti film-film tentu sudah pernah mendengar ikrar: the truth, the whole truth, and nothing but the truth. Yang belum pernah mendengarkan ikrar tersebut tentu membutuhkan penjelasan. Bahwa ikrar tersebut harus disikapi oleh saksi yang memberikan kesaksiannya di dalam sidang pengadilan di Amerika Serikat. Yang benar, seluruhnya benar, tidak ada selain yang benar. Keterangan yang benar artinya kesaksiannya itu tidak dusta, sesuai dengan fakta. Seluruhnya benar artinya kesaksian itu tanpa reserve, tidak ada informasi yang tidak disampaikan. Tidak ada selain yang benar artinya informasi itu tidak ditambah-tambah materinya, tidak mencampur-adukkan yang benar dengan yang tidak sesuai dengan fakta.
Taqiyah (dari akar kata Waw-Qaf-Ya = terpelihara, terjhindar) adalah suatu sikap dalam kebijakan penyampaian informasi dengan reserve (not the whole truth), dengan tujuan pertimbangan keselamatan bagi yang menyampaikan informasi, ataupun untuk kemaslahatan komunitas utamanya mencegah timbulnya kepanikan dalam masyarakat. Istilah taqiyah diambil dari ayat:
-- LA YTKhDz ALMaWMNWN ALKFRYN AWLYAa MN DWN ALMaWMNYN WMN YF’AL DzLK FLYS MN ALLH FY SyYa ALA AN TTQWA MNHM TQT WYhDzR KM ALLH NFSH WALY ALLH ALMShYR (S. AL’AMRAN, 3:28), dibaca:
--. la- yttakhizil mu’minu-nal ka-firi-na awliya-a min du-nil mu’mini-na wa man yaf’al dza-lika fa laisa minaLla-hi fi- syaiin illa- antattaqu- minhum tuqa-tan wa yuhadzdziru kumuLla-hu nafsahu- wa ilaLla-hil mashi-r (tanda – dipanjangkan membacanya), artinya:
-- Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[#] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka (illa- antattaqu- minhum tuqa-tan). dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).
---------------------------
[#] Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
---------------------------
Ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan peristiwa taqiyah, yaitu setelah kedua orang tuanya dipaksa kafir, keduanya menolak sehingga dipenggal, maka Ammar bin Yasir mengaku kafir di hadapan musuh-musuh Islam, yaitu dalam ayat:
-- MN KFR BALLH MN B’AD AYMNH ALA MN AKRH WQLBH MThMaN BALAYMN (ALNhL, 16:106), dibaca:
-- man kafara biLla-hi mim ba’di i-ma-nihi- illa- man akriha wa qalbuhu- muthmainnun bili-ma-n, artinya:
-- Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
Jelaslah bahawa taqiyah bukan menyembunyikan ilmu yang rahasia.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sikap taqiyah yaitu menyempaikan informasi dengan reserve itu menurut ajaran Islam harus dibingkai dengan asas QulilHaqqa Walaw Ka-na Murran, katakanlah kebenaran itu walaupun pahit. Maksudnya sikap taqiyah dalam menyampaikan informasi itu tidak boleh bertentangan dengan aqidah, syari'at dan akhlaq.
Tersebut dalam sebuah riwayat, ada seorang berlari kencang lalu di depan Nabi Muhammad SAW. Tidak lama kemudian datanglah seorang dengan pedang terhunus di tangannya. Orang itu bertanya kepada RasuluLlah SAW: "Hai Muhammad, kemana larinya orang yang saya kejar itu?" Maka RasuluLlah maju sedikit ke arah orang itu sambil menjawab: "Selama saya berdiri di tempat ini, saya tidak melihat orang yang kau maksud itu."
RasuluLlah menyampaikan informasi yang benar (the truth, tidak dusta), tidak menambah-nambah informasi (nothing but the truth), oleh karena beliau telah menggeser tempatnya berdiri, sehingga memang beliau tidak pernah melihat orang yang lari itu sejak dalam posisi beliau yang baru itu. Beliau menghindarkan jawaban langsung dari pertanyaan orang yang berpedang itu. Beliau memberikan informasi dengan reserve (not the whole truth). Beliau tidak menunjukkan ke mana larinya orang yang dikejar itu, demi keselamatan orang yang dikejar tersebut.
Penanggung-jawab keamanan biasanya memberikan press release yang bersifat taqiyah (not the whole truth) untuk menjaga jangan sampai timbul rasa panik dalam masyarakat. Demikian pula dalam pemberitaan media massa tulis maupun elektronik, ada kebijakan pemberitaan untuk maksud yang sama. Kebijakan pemberitaan yang taqiyah ini biasanya berhasil menenangkan khalayak apabila peristiwa yang diberitakan itu hanya termasuk bentrokan yang tidak meluas dan tidak serius dalam arti tidak ada korban yang meninggal.
Namun apabila peristiwa yang diberitakan itu termasuk jenis bentrokan yang meluas serta ada yang meninggal, katakanlah misalnya peristiwa tragedi Makassar yang baru lalu, maka kebijakan taqiyah dalam pemberitaan resmi ataupun komentar secara pribadi dari para petinggi yang bersifat taqiyah, tidaklah boleh terlalu kaku, bertahan pada apa yang telah diinformasikan semula. Apabila ada informasi yang dikemukakan oleh yang nyata-nyata mengalami sendiri akan peristiwa itu dibantah secara resmi oleh penanggung-jawab keamanan, maka akibatnya adalah informasi resmi yang mulanya bersifat taqiyah, akan dinilai oleh pihak yang dibantah sebagai something wrong besides the truth (bukan lagi nothing but the truth). Kalau ini sampai terjadi (dan memang ini ada kalanya terjadi), maka keterangan resmi akan turun wibawanya. Akan timbullah polemik tidak langsung antara keterangan versi resmi dengan keterangan versi tidak resmi. Dalam kasus tragedi Makassar terjadilah informasi versi penanggung-jawab keamanan dan para petinggi disatu pihak dengan versi mahasiswa pada pihak yang lain, seperti yang kita baca dalam koran-koran dan lembaran-lembaran selebaran. Apabila informasi versi yang resmi turun wibawanya, membuahkan akibat khalayak akan lebih mempercayai lembaran-lembaran selebaran ataupun informasi yang bersambung dari mulut ke mulut, bahkan dalam era globalisasi informasi ini khalayak akan lebih tertarik pada pemberitaan melalui media massa elektronik dari luar negeri.
AlhamduliLlah, dengan pendekatan budaya yaitu dengan penanda-tanganan Piagam Kerukunan atas prakarsa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Konmas HAM), maka polemik tidak langsung antara versi resmi dengan versi mahasiswa mereda. Konmas HAM menyerukan kepada semua pihak untuk menghormati Piagam Kerukunan yang telah disepakati bersama; agar semua pihak dapat menahan diri dalam memberikan pernyataan. Suatu seruan yang menyejukkan.
Kesimpulannya, kebijakan taqiyah dalam keterangan resmi patut diperhitungkan dengan cermat dalam iklim keterbukaan, terlebih-lebih lagi dalam era globalisasi informasi dewasa ini, agar supaya keterangan resmi dapat berwibawa di mata khalayak. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 12 Mei 1996
5 Mei 1996
[+/-] |
225. Hewan Sembelihan Untuk Kurban Apakah Sakral? |
Mulai bulan April 1996 Mimbar Agama Islam di TVRI tidak lagi dipusatkan di pusat. Pertanyaan seperti judul di atas itu merupakan salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh pembawa acara (pewawancara) dalam Mimbar Agama Islam TVRI Studio Ujung Pandang kepada saya sebagai salah seorang di antara dua orang pengisi acara (yang diwawancarai). Adapun pengisi acara yang seorang lagi adalah Ahmad Ali. Mimbar Agama Islam yang disiarkan pada tanggal 25 April 1996, malam Jum'at pukul 19.35 hingga 19.58 seperti yang telah ditayangkan, bergaya tanya-jawab, wawancara pembawa acara dijawab oleh kedua orang pengisi acara silih berganti.
Karena keterbatasan waktu, pertanyaan itu saya jawab secara terbatas pula. Saya pikir jawaban pertanyaan itu lebih bermanfaat kiranya, jika diutarakan dalam bentuk tertulis di dalam kolom ini, oleh karena dapat diuraikan secukupnya. Di samping itu ada pula kegunaan lain dari bentuk tertulis tersebut, yakni dapat dibaca sekali dua kali, sehingga lebih komunikatif, terhindar dari persepsi yang berbeda dengan maksud sebenarnya, alias salah faham. Bahkan dalam hal memberikan instruksi dalam kehidupan berorganisasi dikenal ungkapan HPL, hindari pesan lisan.
Saya dapat memahami latar belakang pemikiran pembawa acara tersebut. Karena seperti diketahui di tanah air kita (dan juga di negeri-negeri Islam lainnya) dalam upacara yang bersifat kebudayaan, khususnya yang bernuansa nativisme, terjadi sinkretisme, yaitu hewan kurban dalam upacara 'IydulQurban dikaitkan bahkan dicampur-adukkan dengan pensucian benda-benda pusaka yang dianggap sakral.
Pepatah mengatakan: Bahasa menunjukkan bangsa. Kalau pepatah ini dijabarkan akan bermakna: bahasa menunjukkan pola pikir dan budaya bangsa. Dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman kurban disebut sacrifice (Inggeris), slachtoffer (Belanda), Opfer (Jerman). Sacrifice bernuansa sakral, slachten berarti menyembelih, offer dan Opfer berarti persembahan. Jadi kurban menurut pemahaman dan rasa bahasa Indo-Jerman berarti sesajen berupa hewan sembelihan yang sakral. Inilah pola pikir dan budaya bangsa-bangsa Indo-Jerman yang asli yang berhubungan dengan kurban.
Bagaimana sesungguhnya pengertian kurban secara etimologis? Pertanyaan ini juga disodorkan kepada saya oleh pembawa acara TVRI dalam Mimbar Agama Islam tersebut. Dari akar kata yang dibentuk oleh tiga huruf: Qaf, Ra, Ba diturunkanlah antara lain kata kerja (fi'il) QarraBa dan kata benda (ism) Qurba-n. Qarraba artinya mendekatkan diri, Taqarrub ilay Llahi, mendekatkan diri kepada Allah. Qarraba Qurba-nan (S. Al Ma-idah, 27), artinya mendekatkan diri (kepada Allah) dengan kurban (5:27). Dari segi rasa bahasa kurban terkait makna dengan mendekatkan diri, jadi terjauh dari rasa-bahasa Indo-Jerman yang bermakna sesajen berupa hewan sembelihan yang sakral.
Akar kata yang dibentuk oleh huruf Qaf, Ra, dan Ba ini telah diserap pula ke dalam bahasa Indonesia dalam arti dekat, yaitu kata majemuk: sahabat-karib dan kaum-kerabat. Sahabat-karib berarti sahabat dekat dalam konteks ikatan batin, dan kaum-kerabat berarti keluarga dekat dalam konteks ikatan darah. Dalam bnetuk isim tafdhil (superlatif) aqrab diserap menjadi akrab, pergaulan yang akrab, artinya pergaulan yang sangat dekat (intim).
Bahwa hewan sembelihan untuk upacara kurban ini tidaklah sakral dipertegas oleh Firman Allah:
Faidza- Wajabat Junuwbuha- faKuluw Minha- wa Th'imuw lQa-ni'a walMu'tarra (S. Al Hajj, 36). Apabila telah terkapar binatang sembelihan itu (karena disembelih), maka makanlah sebahagian daripadanya dan beri makanlah (sebahagian yang lain) kepada orang-orang miskin yang meminta dan tidak meminta (22:36).
Dari Firman Allah tersebut jelas bahwa hewan sembelihan untuk upacara kurban itu tidaklah sakral, karena binatang senbelihan itu dikatakan terkapar setelah disembelih, artinya tidaklah disembelih di atas altar (meja persembahan yang disakralkan), Selanjutnya dalam ayat tersebut binatang sembelihan itu disuruh makan, dan ini suatu penegasan lagi bahwa hewan kurban itu tidak sakral. Sebagiannya dimakan oleh yang berkurban dan sebagian pula diberikan kepada fakir miskin untuk dimakan. Dalam hal ini ungkapan Qarraba Qurba-nan (5:27) dapat pula bermakna mendekati fakir miskin dengan kurban. Itu menunjukkan bahwa walaupun upacara menyembelih hewan kurban itu adalah upacara yang ritual, namun dalam dimensi lain mempunyai pula efek sosiologis.
Bahwa binatang sembelihan untuk upacara kurban itu tidak sakral dan bukan persembahan (sesajen), dipertegas pula oleh Firman Allah dalam ayat berikutnya.
Lan Yana-laLlaha Luhuwmuha wa la- Dima-uha Walakin ana-luh Ttaqway Minkum (S. Al Hajj, 37). Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak pula darah-darahnya, melainkan yang sampai kepadaNya adalah ketaqwaan kamu (22:37).
Dalam Firman Allah di atas itu ungkapan Qarraba Qurba-nan (5:27) bermakna Taqarrub ilay Llah, mendekatkan diri kepada Allah dengan semangat taqwa. Daging kurban tidak sampai kepada Allah, daging kurban tidak berfungsi sebagai sesajen (Opfer). Darah kurban tidak sampai kepada Allah, darah tidak berfungsi apa-apa, tidak berfungsi untuk mensucikan (sacrifice), tidak sakral. Dalam upacara yang berdimensi kebudayaan terutama yang bernuansa nativisme darah berfungsi mensucikan benda-benda pusaka.
Kesimpulannya kedua jenis upacara itu tidak boleh disinkronkan, karena dengan demikian berarti menambah-nambah upacara ritual 'IydulQurban. Sedangkan menambah-nambah upacara ritual itulah yang disebut bid'ah. Kullu Bid'atin Dhala-lah, wa Kullu Dhala-latin fiy nNa-r, semua bid'ah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka, demikian sabda RasuluLlah SAW. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 5 Mei 1996