8 Februari 1998

309. Restrukturisasi Sistem Perbankan

Beberapa sahabat "menyindir" saya mengapa tidak pernah menyinggung sedikitpun dalam kolom ini tentang krisis moneter. Orang pada sibuk menyorot substansi yang paling aktual yaitu krisis moneter, lalu mengapa kolom ini seakan-akan tidak perduli, bercerita terus tentang doktrin Freud. Sesungguhnya dua seri tentang doktrin Freud tersebut merupakan materi pembantu untuk membahas penyebab dan pemecahan krisis moneter dari segi pandang Syari'at Islam.

Tersebutlah konon di negeri Antah-berantah se"orang" mambang syah-peri pengusaha angkutan kuda semberani (centaur) merangkap pengembang siluman menyuruh semua penunggang centaurnya menjadi users. Ia berkolusi dengan direktur sebuah bank pemerintah, lalu mengucurlah dana Kesepakatan Pembagian Rezeki (KPR) dan dana Kongkalikong (KK). Aturannya dana KK itu akan ditebus dari KPR. Namun namanya saja pengembang siluman, dana KK tidak dipakai untuk menjalankan pengembangan. Dana KK dan KPR bersama-sama raib seperti siluman. Maka terjadilah kredit macet. Konon kabarnya pengusaha itu buron dan mantan direktur bank yang sudah pensiun itu diusut. Sayangnya di negeri Antah-berantah tidak mempunyai sistem peradilan ala Judge Bao, sehingga banyak bank yang sakit parah. Ujung-ujungnya ialah krisis moneter karena bank yang sakit parah itu bersinergi dengan tibanya waktu utang para sekongkolmerat yang harus dibayar, yaitu dana yang mereka pinjam seenak perutnya ke negeri kayangan (atas angin). [Dalam bahasa asalnya, yaitu bahasa Al Quran kata dana dan utang (daynun) berasal dari akar kata yang sama yaitu dal, alif, nun -daana-yaduwnu-daynun-].

Potret negeri Antah-berantah itu tidak lain adalah wajah Indonesia jika dilihat di dalam cermin. Bank-bank sakit parah karena kredit macet. Terjadinya kredit macet karena ulah petinggi bank yang melakukan kolusi dengan pengusaha. Kolusi dan korupsi hanya dapat berlangsung jika bertemu ruas dengan buku, internal dan external, niat dan kesempatan.

Kita akan bahas dahulu dari segi internal. Dari segi niat kolusi dan korupsi akan dibahas menurut ilmu nafsani (ilmu kedirian, ilmu jiwa, psikologi). Seperti telah dijelaskan dalam Seri 308 bahwa walaupun Freud secara substansial telah berjasa memperinci Nafsu Ammarah dalam doktrin Id-nya, namun dari segi stratifikasi Freud membuat kesalahan yang fatal, karena memandang libido itu di atas segala-galanya, bahkan agama yang bersumberkan wahyu dipandang sebagai perkembangan libido. Padahal libido yang berkarakteristik seksual itu hanyalah sekadar iradah mempertahankan jenis, melanjutkan keturunan, yaitu bagian dari naluri mempertahankan diri yang disadari (bukan dalam alam bawah sadar) dalam kawasan Nafsu Ammarah.

Pemahaman Ego yang hanya sekadar sebagai mediator antara dorongan Id yang tidak mengenal moralitas dengan realitas yang ada di dunia luar dari individu, tidaklah berlaku secara umum. Ini hanya berlaku bagi individu yang kecerdasan nalurinya mencapai titik nol, rendah serendahnya, Asfala Sa-filiyna (S. At Tiyn, 95:5). Dalam doktrin Freud tidak dikenal standar moral yang tetap bagi masyarakat, yang dalam bahasa Al Quran disebut Al Furqan (S. Al Baqarah, 2:185). Bagi individu yang kecerdasan nalurinya pada titik nol, jika ia berada dalam lingkungan masyarakat yang kolus dan korup, maka Ego itu berhenti menjadi mediator. Mengapa? Oleh karena tidak ada lagi konflik antara Id yang tidak mengenal moralitas itu dengan realitas dunia sekelilingnya yang kolus dan korup. Lahirlah masyarakat kolus dan korup yang mempunyai doktrin gila: Bila datang zaman gila, yang tidak ikut menjadi gila dikatakan ia yang gila. Pada waktu itu baik gila ataupun tidak gila, semuanya lalu ikut gila. Akhirnya jika semuanya sudah jadi gila, terbentuklah masyarakat gila. Maka orang-orangpun berhentilah gila, karena tidak ada orang gila yang mau menyebut dirinya gila. (Doktrin ini bertolak belakang dengan filosofi Ronggowarsito, walaupun gayanya meniru gaya Ronggowarsito). Sering kita mendengar cemoohan yang keluar dari mulut penganut doktrin gila ini: akh sok moralis. Demikianlah penyakit kolusi dan korupsi itu mewabah menjadi penyakit masyarakat tidak terkecuali dalam dunia perbankan.

Selanjutnya akan dibahas dari segi external. Terbukanya kesempatan untuk kolusi dan korupsi ialah karena sistem pinjaman berbunga. Dalam potret negeri Antah-berantah di dalam cermin di atas itu jelas menunjukkan bagaimana mudahnya terjalin kolusi antara pengusaha dengan direktur bank penyebab kredit macet sehingga bank menjadi sakit. Demikian pula pinjaman konglomerat ke negeri atas angin yang tiba waktunya harus dikembalikan bersama bunganya dalam dollar, yang menyebabkan harga dollar membubung terus, jelas terlihat dalam cermin itu. Para konglomerat itu sudah dikejar bunga, oleh karena mereka itu meminjam dana jangka pendek untuk proyek jangka panjang.

Sebenarnya krisis moneter ini adalah peringatan dari Allah SWT supaya kita sadar bahwa sesungguhnya pinjaman berbunga itu identik dengan riba.

-- Wa Ahalla Lla-hu lBay'a wa Harrama rRiba- (S. Al Baqarah, 2:275). Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.

Apa-apa yang diharamkan Allah niscaya membawa mala-petaka, tidak terkecuali riba. Pinjaman berbunga menjadi biang kerok terbukanya kesempatan luas jalinan kolusi antara peminjam dengan petinggi bank. Bunga bank identik dengan riba bukan masalah khilafiyah lagi. Selama masih mempergunakan sistem pinjaman berbunga kesempatan kolusi terbuka lebar. Ujung-ujungnya secara periodik akan timbul krisis moneter, apa pula jika dikacau oleh katalisator sorosisme.

Dalam hal krisis moneter ini, perlu sekali reorientasi berpikir. Perlu sekali restrukturisasi sistem perbankan. Bukan lagi sistem pinjaman berbunga, melainkan sistem bagi hasil, baik antara penabung dengan bank, maupun antara bank dengan pengusaha. Bank harus aktif bahkan ikut menjadi pengelola dari perusahaan yang didanai oleh bank. Sistem bagi hasil ini mencegah terjadinya jalinan kolusi, walaupun niat berkolusi mungkin saja terbetik dipicu oleh Nafsu Ammarah.

Alhasil langkah strategis yang harus ditempuh ialah restrukturisasi sistem perbankan dari sistem pinjaman berbunga menjadi sistem bagi hasil yang harus bersifat menyeluruh, baik bank pemerintah, maupun swasta, ataupun bank-bank asing yang beroperasi di Indonesia. Langkah strategis ini harus dipertegas
melalui undang-undang. Termasuk dalam undang-undang itu larangan bagi pengusaha meminjam pada bank-bank di atas angin yang memakai sistem pinjaman berbunga. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 8 Februari 1998