Einstein kemudian memekarkan teorinya untuk keadaan gerak oleh pengaruh medan gravitasi. Itulah sebabnya teori yang dimekarkan ini disebut dengan Teori Relativitas Umum.
Pengalaman menunjukkan bahwa percepatan semua benda selalu sama dalam sebuah medan gravitasi tertentu. Misalnya semua jenis benda yang jatuh ke permukaan bumi akan mengalami percepatan yang sama besar, yaitu g. Karena itu perbandingan antara massa inertial dengan massa gravitasional akan sama untuk semua benda. Dan dengan pemilihan unit yang cocok, massa inertial akan sama dengan massa gravitasional. Alhasil dapatlah terungkap sebuah TaqdiruLlah, yaitu hukum kesetaraan antara massa inertial dengan massa gravitasional.
Hukum kesetaraan antara massa inertial dengan massa gravitasional di atas itu yang mengantar Einstein ke pangkal tolak dari Teori Relativitas Umum yang diperkenalkannya dalam tahun 1916. Pangkal tolak ini dikenal sebagai lift Einstein. Misalkan ada kotak lift yang bebas dari pengaruh medan gravitasi. Dalam lift itu terdapat dua orang pakar fisika dengan peralatan laboratoriumnya. Karena bebas dari pengaruh medan gravitasi, kedua pakar fisika dan peralatan laboratoriumnya itu melayang-layang dalam lift. Lalu tiba-tiba dalam lift itu semua isinya bergerak sejajar dalam arah yang sama ke "lantai" lift. Kedua pakar itu mempelajari gerak benda-benda dalam lift dengan instrumennya. Dan hasilnya ialah kedua pakar itu sepakat bahwa benda-benda itu bergerak ke arah "lantai" dengan percepatan a.
Mereka sepakat dalam hal hasil observasi, tetapi mereka berbeda dalam penafsiran. Yang satu mengatakan mereka sudah berada dalam daerah medan gravitasi yang besarnya a. Yang dia ukur tadi adalah massa gravitasional. Tetapi pakar yang satu lagi mengatakan bahwa sesungguhnya mereka tidak berada dalam medan gravitasi, melainkan lift mereka didorong ke atas dengan percepatan a. Benda-benda dalam lift sesungguhnya tidak bergerak, yaitu tunduk pada hukum inertia. Apa yang dia ukur adalah massa inertial. Tak seorang juapun di antara keduanya yang berhak mengatakan bahwa penafsirannyalah yang benar, oleh karena keduanya terkungkung dalam lift, tidak tahu situasi di luar lift.
Melalui lubang kecil pada dinding lift tampak sebuah benda lain datang bergerak berpapasan dengan lift. Keduanya mempelajari gerak benda itu dan sekali lagi mereka sepakat tetang hasil obseravasi mereka: Benda tersebut yang diluar lift bergerak dengan lintasan parabola. Akan tetapi penafsiran mereka itu berbeda lagi. Pakar yang satu mengatakan bahwa benda itu geraknya menurut lintasan parabola karena ditarik medan gravitasi ke bawah. Tetapi pakar yang lain mengatakan gerak benda di luar lift itu sesungguhnya bergerak menurut lintasan garis lurus, cuma kelihatannya saja sebagai parabola, karena lift mereka dengan seluruh isinya bergerak ke atas dengan percepatan a. Jika yang bergerak melintas itu adalah cahaya, maka kedua pakar itu akan sepakat pula tentang hasil observasinya. Namun berbeda pula penafsirannya. Pakar yang satu mengatakan bahwa cahaya itu geraknya menurut lintasan parabola karena ditarik medan gravitasi ke bawah, sedangkan pakar yang lain mengatakan gerak benda di luar lift itu sesungguhnya bergerak menurut lintasan garis lurus, cuma kelihatannya saja sebagai parabola, karena lift mereka dengan seluruh isinya bergerak ke atas dengan percepatan a. Penafsiran pakar yang pertama bahwa gravitasi "menarik" cahaya sangatlah asing atau "luar biasa" dalam mekanika klasik.
Newton sebagai peletak dasar ilmu mekanika melihat alam ini secara mekanis. Gravitasi merupakan gaya, sehingga dalam mekanika klasik diajarkan cahaya tidak dapat ditarik oleh gravitasi. Namun Einstein berdasar atas fenomena kesetaraan massa inersial dengan massa gravitasional dengan ilustrasi "lift Einstein" mempunyai pandangan yang lain sama sekali. Einstein tidak melihat alam ini secara mekanis, melainkan secara matematis, yaitu gambaran: kontinuum ruang-waktu (space-time continuum) berdimensi empat. Bentuk ruang-waktu ditentukan oleh materi. Di sekitar materi geometri ruang-waktu ini lengkung. Gravitasi adalah manifestasi lengkungnya geometri ruang-waktu. Disekitar materi terbentuk "alur" yang disebut dengan "geodesic line". Semua benda termasuk cahaya bergerak mengikuti alur geodesic line tersebut. Inilah gambaran baru gravitasi, menurut Einstein.
Dengan gambaran baru tentang gravitasi itu, Einstein memanfaatkan peralatan dan fasilitas yang telah tersedia, yaitu kalkulus tensor, geometri Minkowsky dan geometri Riemann untuk dapat menghasilkan hukum baru tentang gravitasi. Dengan kalkulus tensor, Einstein mendapatkan Persamaan Medan Einstein (Field Equation of Einstein). Dari persamaan medannya itu Einstein menghisab sudut penyimpangan cahaya bintang-bintang akibat gravitasi matahari, besarnya 1.75". Ini harus dibuktikan dengan observasi atau ru'yah.
Hisab Einstein tentang penyimpangan cahaya 1.75" ini diuji-coba dengan ru'yah Eddington cs tatkala gerhana matahari penuh pada tanggal 29 Mei 1919 di Sobral (Brazilia) dan di pulau Principe (Afrika Barat). Mengapa ru'yah itu dilaksanakan ketika gerhana penuh, ialah karena pada saat itu instrumen yang meru'yah cahaya bintang-bintang tidak silau oleh terangnya matahari, karena langit gelap di siang hari. Hasil ru'yah menunjukkan bahwa teori Einstein tentang pengaruh medan gravitasi terhadap cahaya terbukti benar. Walaupun secara kuantitatif terdapat sedikit penyimpangan antara hisab Enstein dengan ru'yah Eddingto cs, namun penyimpangan itu tidaklah signifikan.
Catatan:
Terlepas dari tujuan ujicoba hisab Einstein, pada gerhana matahari penuh itu terikutlah pula difoto pinggir matahari yang disebut corona. Pada bagian paling luar corona itu nampak zat yang disedot oleh matahari dari ruang sekelilingnya. Artinya ruang antar bintang itu tidak hampa, melainkan diisi oleh dukhan: Tsumma Staway Ila- sSma-i waHiya Dukhanun (S. Fushshilat, 41:11 ), artinya: Kemudian (Allah) menyempurnakan (urusanNya) ke langit yang dia itu dukhan. Dalam ayat tersebut as Sama-u dalam bentuk mufrad (singular) sehingga yang dimaksud bukanlah benda-benda langit, melainkan ruang antar bintang yang berisi dukhan, yaitu zat antar bintang, zat interstellair. Demikianlah sisi lain dari hasil observasi gerhana matahari penuh tersebut, yaitu dukhan sudah dapat difoto. Dan karena ruang antar bintang itu tidak hampa, maka pada hakekatnya benda-benda langit itu berenang. Itulah makna berenang, Yasbahuwna, dalam S. Yasin 40, yang telah dikutip dalam Seri 309. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 22 Februari 1998
22 Februari 1998
[+/-] |
311. Teori Relativitas Umum (1916) |
15 Februari 1998
[+/-] |
310. Teori Relativitas Khusus (1905) |
Ada dua alasan mengapa teori ini dibahas. Pertama, Albert Einstein (1879 - 1955) membuat penafsiran yang sama sekali baru, yang menandai berakhirnya kejayaan fisika klasik. Einstein (diucapkan: ainsytain) mengubah secara revolusioner cara memandang atau menafsirkan hasil observasi Albert Abraham Michelson (1852 - 1931). Alasan yang kedua, ialah mencoba memperkenalkan kepada para pembaca yang kebetulan kurang begitu senang pada persamaan-persamaan dan rumus-rumus, karena tidak mempunyai latar belakang penguasaan matematika, utamanya kalkulus tensor.
Dalam tahun 1687 Sir Isaac Newton (1642 - 1727) memformulasikan sebuah teori yang dikenal dengan Prinsip Relativitas Newton, yang demikian bunyinya: Gerak benda-benda dalam suatu sistem akan sama keadaannya, apakah sistem itu dalam keadaan diam, ataupun dalam keadaan bergerak lurus beraturan. Newton menyertai teorinya ini dengan keyakinan tentang adanya sebuah sistem yang diam secara mutlak, jauh di dalam pusat alam yang menjadi titik pusat alam semesta. Mengapa Newton harus yakin dan menganggap perlu benar tentang adanya pusat alam semesta yang diam secara mutlak itu, ialah untuk dijadikan koordinat mutlak yang menjadi landasan bagi setiap benda yang bergerak.
Sejalan dengan perkembangan pemikiran tentang masalah sistem koordinat mutlak dalam mekanika klasik itu, pada pihak lain di bidang fisika klasik terjadi pula proses pemikiran mengenai penafsiran cahaya. Dalam tahun 1690 Christian Huygens (1629 - 1695) mengemukakan sebuah teori bahwa cahaya itu suatu sistem gelombang. Gelombang itu pada hakekatnya adalah getaran yang menjalar. Jadi harus ada zat yang bergetar, padahal ruang semesta itu vakum. Lahirlah hipotesa Aether, zat halus yang mengisi penuh alam semesta yang menjadi medium tempat gelombang cahaya itu dapat menjalar.
Kemudian timbullah pemikiran untuk menjadikan Aether itu sistem koordinat mutlak yang dicari-cari Newton itu. Dalam tahun 1881 Albert Abraham Michelson (1852 - 1931) melakukan percobaan dengan alat interferemeter. Ia ingin mengetahui berapa kecepatan bumi terhadap sistem koordinat mutlak Aether itu. Percobaan itu diulangi lagi bersama-sama dengan Morley dalam tahun 1887, sehigga percobaan itu lebih dikenal dengan percobaan Michelson-Morley. Hasil percobaan Michelson-Morley menunjukkan bahwa kecepatan bumi terhadap Aether adalah nol, Jadi bumi sama sekali tidak bergerak terhadap Aether yang diam secara mutlak itu. Para pakar terperanjat, kecewa, bahkan ada yang demikian bingungnya sehingga ingin memutar kembali jarum jam ke tiga abad yang silam, kembali ke faham geosentris, bumi sebagai pusat alam. Ilmu fisika menjelang akhir abad ke 19 menemui jalan buntu.
Walaupun Einstein tidak pernah (atau mungkin sudah pernah?) membaca S. Yasin 40 Kullun fiy Falakin Yasbahuwna, tiap-tiap sesuatu berenang dalam jalurnya, Einstein bertolak dari pandangan tidak ada sistem koordinat yang diam secara mutlak. Semua benda bergerak relatif antara satu dengan yang lain. Kemudian Einstein menunjuk kepada fenomena alam yang didapatkan oleh FitzGerald. Apabila kita memegang sebuah batang apa saja di bumi ini dan batang itu letaknya melintang terhadap gerak bumi, lalu tiba-tiba kita mengubah letak batang tersebut membujur jadi searah dengan gerak bumi, maka batang itu akan mengalami perpendekan. Gejala ini disebut kontraksi FitzGerald. Atas dasar penemuan Fitzgerald, Hendrik Anton Lorentz (1853 - 1928) dengan dibantu oleh Larmor, dalam tahun 1900 membuat kalkulasi matematis yang disebut dengan transformasi Lorentz.
Eintein membuat penafsiran atas hasil percobaan interferemeter Michelson-Morley sebagai berikut:
- Kecepatan cahaya invarian, tidak terpengaruh oleh gerak pengamat dan benda yang diamati,
- Interval waktu dan interval ruang relatif tergantung dari keadaan gerak pengamat dan benda yang diamati. (Invarian maksudnya laju cahaya itu tetap terhadap sistem apa saja. Jadi kecepatan cahaya terhadap bumi, atau terhadap bulan, atau terhadap matahari tetap 299 792 km/detik).
Einstein memperkembang pernyataan (2) di atas, yang disimpulkan dari hasil transformasi Lorentz, bahwa massa bendapun sama keadaanya dengan waktu dan ruang yaitu relatif tergantung pada keadaan gerak benda. Hasil akhir Teori Relativitas Khusus menunjukkan adanya hubungan antara energi dan massa. Tenaga kinetis tidak lagi dinyatakan dalam pernyataan yang umum dikenal dalam mekanika klasik, E = ½ mv2, melainkan dalam bentuk deret:
E = mc2 + ½ m v2 + (3/8) m(v4/c2) + .......
Jika v sangat kecil dibandingkan dengan c, maka suku yang ketiga dan seterusnya dapat diabaikan, dan yang tinggal adalah suku pertama dan kedua. Suku yang kedua kita telah kenal betul dalam mekanika klasik seperti yang telah dituliskan rumusnya di atas, E = ½ mv2, sedangkan suku yang pertama baru kita kenal. Pernyataan mc2 tidak tergantung dari kecepatan benda, sebab itu disebut energi diam (rest energy). Dengan memperhatikan transformasi Lorentz, akan diperoleh hasil, jika energi kinetis suatu sistem berkurang, energi diamnya akan bertambah, dan dengan demikian beberapa dari massa diam dari sistem itu harus bertambah. Kesimpulannya ialah terdapat kesetaraan antara energi dengan massa:
E = mc2
Inilah hasil akhir yang penting dari Teori Relativitas Khusus. Pernyataan kesetaraan antara energi dan massa di atas itu baru dapat dibuktikan kebenarannya setelah Otto Hahn (1879 - ? ) bersama-sama dengan Lise Meitner (1878 - ? ) dalam tahun 1939 berhasil memecahkan inti atom dalam laboratorium Institut Kaisar Wilhelm di Berlin. Dengan diungkapkannya proses transformasi nuklir hasil gempuran unsur-unsur oleh partikel-partikel alpha, proton, deuteron dan sinar gamma, pernyataan kesetaraan antara energi dengan massa dari Einstein itu telah terbukti secara ujicoba dengan kadar ketelitian yang tinggi. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 15 Februari 1998
8 Februari 1998
[+/-] |
309. Restrukturisasi Sistem Perbankan |
Beberapa sahabat "menyindir" saya mengapa tidak pernah menyinggung sedikitpun dalam kolom ini tentang krisis moneter. Orang pada sibuk menyorot substansi yang paling aktual yaitu krisis moneter, lalu mengapa kolom ini seakan-akan tidak perduli, bercerita terus tentang doktrin Freud. Sesungguhnya dua seri tentang doktrin Freud tersebut merupakan materi pembantu untuk membahas penyebab dan pemecahan krisis moneter dari segi pandang Syari'at Islam.
Tersebutlah konon di negeri Antah-berantah se"orang" mambang syah-peri pengusaha angkutan kuda semberani (centaur) merangkap pengembang siluman menyuruh semua penunggang centaurnya menjadi users. Ia berkolusi dengan direktur sebuah bank pemerintah, lalu mengucurlah dana Kesepakatan Pembagian Rezeki (KPR) dan dana Kongkalikong (KK). Aturannya dana KK itu akan ditebus dari KPR. Namun namanya saja pengembang siluman, dana KK tidak dipakai untuk menjalankan pengembangan. Dana KK dan KPR bersama-sama raib seperti siluman. Maka terjadilah kredit macet. Konon kabarnya pengusaha itu buron dan mantan direktur bank yang sudah pensiun itu diusut. Sayangnya di negeri Antah-berantah tidak mempunyai sistem peradilan ala Judge Bao, sehingga banyak bank yang sakit parah. Ujung-ujungnya ialah krisis moneter karena bank yang sakit parah itu bersinergi dengan tibanya waktu utang para sekongkolmerat yang harus dibayar, yaitu dana yang mereka pinjam seenak perutnya ke negeri kayangan (atas angin). [Dalam bahasa asalnya, yaitu bahasa Al Quran kata dana dan utang (daynun) berasal dari akar kata yang sama yaitu dal, alif, nun -daana-yaduwnu-daynun-].
Potret negeri Antah-berantah itu tidak lain adalah wajah Indonesia jika dilihat di dalam cermin. Bank-bank sakit parah karena kredit macet. Terjadinya kredit macet karena ulah petinggi bank yang melakukan kolusi dengan pengusaha. Kolusi dan korupsi hanya dapat berlangsung jika bertemu ruas dengan buku, internal dan external, niat dan kesempatan.
Kita akan bahas dahulu dari segi internal. Dari segi niat kolusi dan korupsi akan dibahas menurut ilmu nafsani (ilmu kedirian, ilmu jiwa, psikologi). Seperti telah dijelaskan dalam Seri 308 bahwa walaupun Freud secara substansial telah berjasa memperinci Nafsu Ammarah dalam doktrin Id-nya, namun dari segi stratifikasi Freud membuat kesalahan yang fatal, karena memandang libido itu di atas segala-galanya, bahkan agama yang bersumberkan wahyu dipandang sebagai perkembangan libido. Padahal libido yang berkarakteristik seksual itu hanyalah sekadar iradah mempertahankan jenis, melanjutkan keturunan, yaitu bagian dari naluri mempertahankan diri yang disadari (bukan dalam alam bawah sadar) dalam kawasan Nafsu Ammarah.
Pemahaman Ego yang hanya sekadar sebagai mediator antara dorongan Id yang tidak mengenal moralitas dengan realitas yang ada di dunia luar dari individu, tidaklah berlaku secara umum. Ini hanya berlaku bagi individu yang kecerdasan nalurinya mencapai titik nol, rendah serendahnya, Asfala Sa-filiyna (S. At Tiyn, 95:5). Dalam doktrin Freud tidak dikenal standar moral yang tetap bagi masyarakat, yang dalam bahasa Al Quran disebut Al Furqan (S. Al Baqarah, 2:185). Bagi individu yang kecerdasan nalurinya pada titik nol, jika ia berada dalam lingkungan masyarakat yang kolus dan korup, maka Ego itu berhenti menjadi mediator. Mengapa? Oleh karena tidak ada lagi konflik antara Id yang tidak mengenal moralitas itu dengan realitas dunia sekelilingnya yang kolus dan korup. Lahirlah masyarakat kolus dan korup yang mempunyai doktrin gila: Bila datang zaman gila, yang tidak ikut menjadi gila dikatakan ia yang gila. Pada waktu itu baik gila ataupun tidak gila, semuanya lalu ikut gila. Akhirnya jika semuanya sudah jadi gila, terbentuklah masyarakat gila. Maka orang-orangpun berhentilah gila, karena tidak ada orang gila yang mau menyebut dirinya gila. (Doktrin ini bertolak belakang dengan filosofi Ronggowarsito, walaupun gayanya meniru gaya Ronggowarsito). Sering kita mendengar cemoohan yang keluar dari mulut penganut doktrin gila ini: akh sok moralis. Demikianlah penyakit kolusi dan korupsi itu mewabah menjadi penyakit masyarakat tidak terkecuali dalam dunia perbankan.
Selanjutnya akan dibahas dari segi external. Terbukanya kesempatan untuk kolusi dan korupsi ialah karena sistem pinjaman berbunga. Dalam potret negeri Antah-berantah di dalam cermin di atas itu jelas menunjukkan bagaimana mudahnya terjalin kolusi antara pengusaha dengan direktur bank penyebab kredit macet sehingga bank menjadi sakit. Demikian pula pinjaman konglomerat ke negeri atas angin yang tiba waktunya harus dikembalikan bersama bunganya dalam dollar, yang menyebabkan harga dollar membubung terus, jelas terlihat dalam cermin itu. Para konglomerat itu sudah dikejar bunga, oleh karena mereka itu meminjam dana jangka pendek untuk proyek jangka panjang.
Sebenarnya krisis moneter ini adalah peringatan dari Allah SWT supaya kita sadar bahwa sesungguhnya pinjaman berbunga itu identik dengan riba.
-- Wa Ahalla Lla-hu lBay'a wa Harrama rRiba- (S. Al Baqarah, 2:275). Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Apa-apa yang diharamkan Allah niscaya membawa mala-petaka, tidak terkecuali riba. Pinjaman berbunga menjadi biang kerok terbukanya kesempatan luas jalinan kolusi antara peminjam dengan petinggi bank. Bunga bank identik dengan riba bukan masalah khilafiyah lagi. Selama masih mempergunakan sistem pinjaman berbunga kesempatan kolusi terbuka lebar. Ujung-ujungnya secara periodik akan timbul krisis moneter, apa pula jika dikacau oleh katalisator sorosisme.
Dalam hal krisis moneter ini, perlu sekali reorientasi berpikir. Perlu sekali restrukturisasi sistem perbankan. Bukan lagi sistem pinjaman berbunga, melainkan sistem bagi hasil, baik antara penabung dengan bank, maupun antara bank dengan pengusaha. Bank harus aktif bahkan ikut menjadi pengelola dari perusahaan yang didanai oleh bank. Sistem bagi hasil ini mencegah terjadinya jalinan kolusi, walaupun niat berkolusi mungkin saja terbetik dipicu oleh Nafsu Ammarah.
Alhasil langkah strategis yang harus ditempuh ialah restrukturisasi sistem perbankan dari sistem pinjaman berbunga menjadi sistem bagi hasil yang harus bersifat menyeluruh, baik bank pemerintah, maupun swasta, ataupun bank-bank asing yang beroperasi di Indonesia. Langkah strategis ini harus dipertegas
melalui undang-undang. Termasuk dalam undang-undang itu larangan bagi pengusaha meminjam pada bank-bank di atas angin yang memakai sistem pinjaman berbunga. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 8 Februari 1998