14 Mei 2000

423. Al Khamr dan Al Maysir

Judul di atas itu adalah bahasa Al Quran dan tidak diterjemahkan, demikian pula tetap tidak diterjemahkan dalam terjemahan Firman Allah SWT yang berikut: YS^LWNK 'AN ALKHMR WALMYSR QL FYHMA ATSM KBYR WMNAF'A LLNAS WATSMHMA AKBR MN NF'AHMA (S. ALBQRT, 219), dibaca: Yas.alu-naka 'anil khamri walmaysiri qul fi-hima-itsmung kabi-ruw wamana-fi'u linna-si waitsmuhuma-akbaru min naf'ihima- (s. albaqarah), artinya: mereka menanya engkau tentang al khamr dan al maysir, katakan pada keduanya dosa besar dan bermanfaat bagi manusia, namun dosa keduanya lebih besar daripada manfaat keduanya (2:219).

ANMA YRYD ALSYYTHN AN YWQ'A BYNKM AL'ADAWT WALBGHDHA^ FY ALKHMR WALMYSR WYSHDKM 'AN DZKR ALLH W'AN ALSHLWT FHL ANTM MNTHWN (S. ALMA^DT, 91), dibaca: Innama-yuri-dusy syaytha-nu ay yu-qi'a baynakumul 'ada-wata walbaghdha-a fil khamri walmaysiri wayashuddakum 'an dzikriLla-hi wa'anish shala-ta fahal antum muntahu-na (s. alma-idah), artinya: Sesungguhnya setan itu tidak menghendaki, melainkan menghunjamkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui al khamr dan al maysir, serta memalingkan kamu dari mengingat Allah dan shalat. Apakah kamu mau berhenti? (5:91).

Cairan perasan buah anggur yang berupa larutan gula yang oleh aktivitas bakteri berfermentasi menjadi alkohol. Itulah dia al khamr, rumus kimianya C2H5OH. Bukan hanya sekadar memabukkan akan tetapi selalu "menagih" peminumnya untuk meminumnya berulang-ulang, maka menjadilah peminumnya itu "ketagihan".

Dengan karakteristik memabukkan dan ketagihan itu, maka pengertian al khamr dapat dikembangkan: Al khamr adalah segala jenis zat yang masuk ke dalam darah manusia melalui mulut (baca: minum), hidung (baca: isap), langsung (baca: suntik), yang mengakibatkan orang mabuk dan ketagihan. Dengan pengembangan pengertian itu, maka al khamr adalah miras (orang Indian menyebutnya fire water, air api) dan narkoba.

Al maysir atau al qimar adalah permainan undian di zaman Arab jahiliyah yang dimainkan oleh 10 orang pemain, sehingga ada 10 kupon: al fadzdzu yang bernilai 1, at tauam yang bernilai 2, ar raqib yang bernilai 3, al halis yang bernilai 4, an nafis yang bernilai 5, al musbil yang bernilai 6, al mu'alla yang bernilai 7, al manih yang bernilai kosong, as safih yang bernilai kosong dan al waghdu yang bernilai kosong. Ke-10 kupon itu dimasukkan ke dalam sebuah kantung kulit, kemudian diserahkan kepada orang yang dipercaya sebagai bandar yang bukan pemain untuk mengocoknya. Sebelum bandar mengocok dan memberikan kupon itu kepada tiap-tiap pemain, disembelilah seekor unta jantan. Kemudian unta jantan yang telah disembelih itu dibagi menjadi (1 + 7) x 7/2 = 28 bagian. Pemain yang mendapatkan nasibnya kupon al fadzdzu memperoleh 1 bagian, demikian seterusnya hingga yang mendapatkan nasibnya kupon al mu'alla memperoleh 7 bagian. Sedangkan ketiga pemain terakhir yang mendapatkan nasibnya kupon yang bernilai kosong, harus membayar harga unta jantan yang disembelih. Yang mendapatkan nasibnya kupon al manih membayar 1/6 harga, yang mendapatkan nasibnya kupon as safih membayar 1/3 harga dan yang mendapatkan nasibnya kupon al waghdu mebayar 1/2 harga unta jantan tersebut. Yang mendapat kemenangan setelah mengambil bagiannya masing-masing, harus mereka berikan kepada fakir miskin, tidak boleh dimakan sendiri. Jadi al maysir lebih ringan dari judi yang murni nasib-nasiban, lebih sosial ketimbang dengan judi yang dikemas sebagai sumbangan sosial dan olah raga seperti lotto, porkas, SDSB dan semacamnya. Sedangkan al maysir yang lebih ringan dan lebih sosial dilarang Al Quran, apatah pula yang benar-benar judi dan judi yang berbungkus kepentingan sosial dan olah raga. Al maysir menyebabkan orang mabuk waktu dan ketagihan, jadi mempunyai karakteristik yang sama dengan al khamr. Itulah latar belakangnya mengapa al khamr dan al maysir selalu digandengkan menyebutnya dalam Al Quran.

***

Khusus mengenai judi, selama ini kita berfaham bahwa permusuhan yang timbul hanyalah di antara atau dalam kalangan penjudi itu, seperti misalnya Kospin di Pinrang, namun dengan kasus Nomensen yang dikemukakan di bawah ini membuka cakrawala pemikiran kita, bahwa permusuhan itu dapat pula timbul di luar "sistem" dunia judi itu.

Di Medan ada mahasiswa Nommensen yang ditangkap dan ditahan oleh polisi karena terlibat dalam pengedaran kupon judi. Maka teman-temannya yang juga terdiri dari mahasiswa Nommensen datang ke markas Polri menuntut supaya mahasiswa pengedar kupon judi tersebut dibebaskan dari tahanan. Karena permintaan para mahasiswa Nommensen tersebut tidak dipenuhi, maka mereka mengadakan pembalasan. Dua orang polisi mereka culik masuk ke dalam kampus Nommensen, kemudian digebuk sampai babak belur. Polisi yang babak belur itu dapat kita saksikan dalam layar kaca. Diberitakan bahwa upaya polisi secara persuasif tidak berhasil melepaskan kedua polisi yang disandera dalam kampus Nommensen tersebut.
Akhir-akhir ini polisi kelihatannya sangat segan bertindak represif kepada khalayak ramai utamanya kepada mahasiswa, karena takut melanggar HAM. Namun di Medan dalam kasus Nommensen ini polisi tidak ragu bertindak represif. Hal ini mudah difahami, yaitu polisi ingin cepat-cepat melepaskan kedua orang anggotanya yang disandera dalam kampus Nommensen itu, karena khawatir akan terus menjadi bulan-bulanan. Umur di tangan Allah, sebelum ajal berpantang mati, namun tidak mustahil keduanya dapat saja menjadi cacat seumur hidup, apabila kedua polisi itu terus dianiaya berkepanjangan.

Seperti biasanya dalam tindakan represif sangat rawan terjadinya pelanggaran HAM. Dalam insiden di Medan itu polisi dituding melanggar HAM karena berakibat dua orang tewas dan beberapa yang cedera dari pihak mahasiswa Nommensen. Ada yang patut dicatat mengenai pemberitaan pelanggaran HAM ini, yaitu tidak berimbang. Kalau kita mau jujur dan adil, maka haruslah pula diangkat secara berimbang, bahwa mahasiswa Nommensenpun telah lebih dahulu melanggar HAM.

Terlepas dari perkara pemberitaan yang tidak berimbang itu, permasalahan insiden Nommensen itu berasal dari judi. Inilah yang dimaksudkan di atas bahwa: permusuhan itu tidak hanya dapat timbul dalam kalangan penjudi seperti Kospin di Pinrang itu, namun dapat pula timbul di luar "sistem" dunia judi itu. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 14 Mei 2000