Ibadah puasa meningkatkan derajat insan dari beriman menjadi taqwa. Taqwa melahirkan potensi yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk memelihara diri dari segi negatifnya kekuasaan karena kedudukan serta penguasaan dalam bidang harta dan ekonomi. Taqwa berasal dari akar kata yang dibentuk oleh huruf-huruf: Waw, Qaf, Ya (WQY) berarti terpelihara. Yaitu terpelihara dari malapetaka melalaikan perintah Allah dan terpelihara dari malapetakan melanggar larangan Allah!
Ibadah puasa yang dilaksanakan atas dasar iman dan introspeksi diri, menurut sabda Nabi Muhammad SAW, niscaya akan diampuni dosanya yang silam oleh Allah SWT. Maka memasuki 1 Syawwal, yang berhasil puasanya, akan kembali seperti bayi yang baru lahir, kembali ke fithrah, 'IydulFthri, ibarat kertas yang putih bersih, bersih dari noda-noda dosa.
Di bulan puasa Al Quran diturunkan yang membawa Syari'at Islam, HDY LLNAS (2:185), dibaca: hudal linna-s, petunjuk bagi manusia. Allah Yang Maha Pencipta mencipta manusia sebagai makhluq pribadi dan makhluq sosial. Syari'at Islam menunjuki manusia sebagai makhluq pribadi untuk menjadi manusia bertaqwa. Syari'at Islam menunjuki manusia sebagai makhluq sosial dalam kehidupannya berbudaya.
Secara sederhana, kebudayaan adalah buah dari semua perbuatan dan usaha yang berpangkal dari kesadaran manusia. Manusia sadar perlu berlindung dari teriknya matahari, dari siraman hujan, dari terpaan angin. Maka tebing-tebing batu dilubangi, gubuk-gubuk, rumah-rumah, gedung-gedung dibangun. Itulah kebudayaan bangun-membangun bangunan. Manusia sadar perlu mengisi perut dan berpakaian dalam kehidupan sehari-hari. Maka ditempuhlah cara-cara untuk memperoleh rezeki. Itulah kebudayaan yang disebut ekonomi. Manusia sadar akan perlunya hiburan untuk konsumsi jiwanya. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut kesenian. Manusia sadar akan perlunya tata-tertib dalam pergaulan hidup sehari-hari, maka lahirlah etika dan adat pergaulan, norma-norma dan aturan-aturan yang mengikat anggota masyarakat. Itulah kebudayaan hukum. Manusia sadar akan perlunya lembaga yang mempunyai kekuasaan yang harus ditaati untuk mengatur masyarakat, yang disebut pemerintah. Timbullah kelompok-kelompok yang membentuk kekuasaan (macht vorming) dan mengerahkan kekuasaan (macht aanwending), untuk dapat membentuk pemerintahan. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut politik. Demikianlah Syari'at Islam memberi petunjuk kepada manusia sebagai makhluq sosial dalam kehidupan budaya membangun, budaya ekonomi, budaya hukum, budaya politik dan budaya berkesenian.
Selama ini Syari'at Islam telah dilaksanakan orang banyak dalam konteks sebagai makhluq pribadi dalam hal 'aqidah dan akhlaq, seperti antara lain ibadah puasa yang baru kita laksanakan untuk meningkatkan derajat insan dari beriman menjadi taqwa, yaitu mewujudkan SDM yang berkualitas. Dalam konteks Islam sebagai rahmat sesisi alam, SDM yang berkualitas itu perlu, tetapi belum cukup. Barulah perlu dan cukup apabila Syari'at Islam telah dilaksanakan di Indonesia dalam konteks manusia sebagai makhluq sosial, yaitu Syari'at Islam sebagai petunjuk dalam kehidupan berbudaya. Dan adalah suatu fakta bahwa di Indonesia Syari'at Islam belumlah dilaksanakan sebagai petunjuk dalam kehidupan budaya membangun, budaya ekonomi, budaya hukum, budaya politik dan budaya berkesenian.
Kita berasumsi bahwa sudah banyak yang berhasil puasanya, ibarat bayi yang baru lahir, kembali ke fithrah, sudah terwujud SDM yang berkualitas. Kita berasumsi demikian, sebab jika tidak, maka tidak ada gunaya tulisan ini dilanjutkan, atau bahkan tidak ada gunanya tulisan ini ditulis. Dengan 1 Syawwal sebagai titik tolak, sebagai langkah awal, insan yang telah berhasil puasanya, sudah siap untuk membangun Indonesia, terkhusus melenyapkan musibah multi krisis yang berkepanjangan ini. Tetapi, ada tetapinya. Seperti yang telah dijelaskan di atas SDM yang berkualitas saja belum cukup.
Telah berkumpul para tukang yang terampil, ahli menyusun batu, ahli menyambung kayu, ahli las dsb.nya, berakhlaq baik tidak suka bertikai, bekerja dengan tekun. Namun apabila disain bangunan itu miring ibarat menara Pisa, tentu akan mudah ambruk. Atau walaupun bangunan itu tegak lurus namun titik beratnya lebih tinggi dari titik pusatnya, maka bangunan itu dalam keadaan keseimbangan yang labil (labile evenwicht). Atau bangunan itu dari segi kekuatan dapat dipertanggung-jawabkan, namun demi keindahan hampir semua dindingnya dari kaca. Jika listrik mati, AC tidak berfungsi, maka sangatlah tidak nyaman dalam ruangan karena ruang di dalam dinding kaca itu menjadi perangkap panas.
Demikian pula kedaannya dengan SDM yang berkualitas hasil ibadah puasa yang sudah siap mental dan fisik melenyapkan musibah multi krisis. Apablia disain tata-bermasyarakat dan bernegara berlandaskan paradigma sekularisme, dikhotomi theologi dengan isme-isme, ataupun sekadar isme-isme hasil otak manusia yang diberi bumbu nilai-nilai moral theologi, maka tata-masyarakat dalam negara yang demikian itu, ibarat SDM yang terampil membangun bangunan yang disainnya tidak kuat, tidak nyaman seperti ilustrasi di atas itu.
Alhasil pertanyaan seperti dinyatakan dalam judul di atas: Sesudah Kembali ke Fithrah, Selanjutnya Bagaimana?, dapatlah dijawab dengan kesimpulan seperti berikut:
Tahun baru 1 Januari 2001 adalah langkah awal meluruskan benang kusut multi krisis dengan memberikan nilai-nilai moral theologi dalam isme-isme yang dijadikan paradigma, eh salah, bukan begitu! Pelaksanaan Syari'at Islam dalam konteks petunjuk bagi manusia sebagai makhluq individu yang menghasilkan SDM yang berkualitas, yaitu bertaqwa, kembali ke fithrah, mulai 1 Syawwal 1421 haruslah ditindak lanjuti dengan mewujudkan secara formal (top down) dan informal (bottom up) Syari'at Islam sebagai petunjuk bagi manusia sebagai makhluq sosial dalam kehidupan budaya membangun, budaya ekonomi, budaya hukum, budaya politik dan budaya berkesenian. Sebab ingat SDM dapat merusak sistem, sebaliknya sistem dapat merusak SDM. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 31 Desember 2000