18 Februari 2001

463. Demokrasi, HAM dan Privacy

Dari dahulu (1886) di negeri Belanda dikenal hukum pidana yang menyebutkan pelarangan terhadap tindakan eutanasia (memberi bantuan terhadap upaya bunuh diri). Itu dahulu, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Parlemen negeri Kincir Angin itu, sejak millennium ketiga, tepatnya 21 November 2000, telah melegalkan praktek eutanasia melalui voting dengan skor 104 suara setuju melawan 40 suara tidak setuju. Para pastor di negeri Belanda dan Paus Johannes II di Vatikan mengutuk eutanasia.

Itulah dia sebuah contoh nyata aplikasi voting democracy, demokrasi yang dikagumi dan dibangga-banggakan di seantero dunia dewasa ini. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang dibentuk oleh huruf-huruf delta, epsilon, mu, omikron, sigma menjadi demos artinya rakyat dan kappa, rho, alpha, tau, epsilon, sigma menjadi krates artinya pemerintah atau daulat, sehingga demokrasi berartilah kedaulatan rakyat, yang kini diperkembang maknanya menjadi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Demokrasi berlandaskan atas paradigma filsafat humanisme agnostik (tidak mau tahu, indifference, tentang Tuhan), yang menjunjung tinggi "privacy" (kebebasan individu, individual freedom). Yaitu "everybody should be granted unrestricted freedom to believe whatever he likes and to do whatever he pleases so long he does not injure his neighbour", setiap orang harus diberikan secara tak terbatas kemerdekaan untuk mempercayai apa saja yang ia inginkan dan berbuat apa saja yang ia sukai sepanjang ia tidak mencederai orang-orang sekitarnya. Kalau orang bicara tentang hak asasi (bukan azasi) manusia, maka pemahaman tentang kemanusiaan juga bertumpu pada filsafat humanisme agnostik ini. Itulah sebabnya demokarasi tidak dapat dipisahkan dari HAM menurut kacamata agnostic humanism ini.

Berdasarkan atas filsafat humanisme agnostik ini, maka kekuasaan peradilan tidaklah menjangkau meliwati pintu kamar tidur. Privacy ini dianut pula di Indonesia oleh sementara orang yang tidak mau tahu tentang Syari'ah dan nilai-nilai agama wahyu sejak Indonesia diperintah oleh Belanda sampai sekarang ini, yaitu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 284, bahwa zina itu hanyalah sekadar delik aduan belaka. Polisi hanya dapat menangkap orang yang berzina jika suami perempuan berzina itu atau isteri laki-laki yang berzina itu berkeberatan dan melapor ke polisi. Polisi tak dapat berbuat apa-apa walaupun menyarakat sekelilingnya melapor ke polisi tentang perzinaan itu. Maka gadis yang hamil karena berzina dengan seorang jejaka, tidaklah dapat ia mengadukan musibah kehamilannya itu ke polisi, berhubung gadis itu tidak punya suami ataupun jejaka itu tidak punya isteri yang akan berkebaratan. Dengan demikian jejaka yang menghamilkan itu tidak dapat diseret oleh polisi untuk disodorkan ke jaksa, untuk selanjutnya didudukkan di kursi terdakwa dalam ruang pengadilan. Nilai budaya siri' yang sudah longgar di kota, namun masih terpelihara di dusun-dusun membuahkan perbuatan menjadi hakim sendiri oleh karena hakim peradilan tidak dapat menyentuh laki-laki penghamil yang "dilindungi" oleh pasal 284 KUHP tersbut, sedangkan gadis yang dihamili tidak dapat menempuh upaya hukum. KUHP tidak melindungi perempuan!

Syari'ah memberikan tuntunan berbudaya, tidak terkecuali budaya berdemokrasi. Demokrasi adalah produk akal budi manusia tentulah tidak mutlak benar, karena akal budi manusia itu relatif sifatnya. Demokrasi yang bertumpu di atas paradigma humanisme agnostik yang menjunjung tinggi privacy harus ditolak oleh hamba-hamba Allah yang menerima secara mutlak nilai-nilai transendental agama wahyu. Terhadap substansi yang bertentangan dengan nilai-nilai transendental tidak boleh dimasukkan dalam agenda Parlemen untuk divoting, seperti halnya dengan eutanasia di Negeri Belanda tersebut. Firman Allah dalam Al Quran (transliterasi huruf demi huruf demi keotentikan):
-- WLQD KRMNA BNY ADM (S. BNY ASRA^YL, 70), dibaca: walaqad karramna- bani- a-dama (s. bani- isra-i-l), artinya: sesungguhnya telah Kami muliakan bani Adam (17:70).

Eutanasia tidak boleh dibenarkan dengan voting, karena itu bertentangan dengan nilai transendental, manusia itu adalah makhluq yang dimuliakan oleh Allah SWT. Nilai transendental tidaklah tergantung pada tempat dan waktu. Humanisme agnostik yang tidak mau tahu tentang Allah, tidak mau tahu dengan nilai-nilai transendetal, menganggap semua nilai itu dapat bergeser. Demokrasi yang bertumpu pada paradigma filsafat humanisme agnostik harus diluruskan oleh Syari'ah. Demikian pula HAM yang pemahaman tentang kemanusiaan yang bertumpu pada privacy harus diluruskan oleh nilai Syari'ah, yaitu Allah memuliakan makhluq manusia.

Nabi Ibrahim AS telah ikhlas menyembelih putera sulungnya, yaitu Isma'il (waktu itu belum nabi), sebaliknya Isma'ilpun telah ikhlas pula untuk disembelih. Namun Allah menggantinya dengan domba. Pesan nilai dalam peristiwa ini ialah manusia tidak boleh dikurbankan untuk maksud apapun juga. Allah memuliakan makhluq manusia. Tidak lama lagi kita akan menapak tilas Nabi Ibrahim AS, menyembelih sembelihan binatang kurban. Aplikasi penghayatan memuliakan makhluq manusia. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 18 Februari 2001