11 Maret 2001

466. Mengapa, Mengapa dan Mengapa?

Grafik pertikaian dalam kalangan elit politik menanjak terus. Bahkan sudah kekanak-kanakan, main skor-skoran. Mau contoh? Gus Dur dirumorkan akan dipanggil menghadap Pansus BB-gate. Secara hirarkis lembaga Pansus DPR terposisi di bawah Siple DPR. Belum pernah dengar Siple? Itu singkatan dari sidang pleno. Lembaga DPR dan lembaga Kepresidenan setaraf, itu kata UUD, sama-sama lembaga tinggi negara. Karena Pansus di bawah Siple sedangkan DPR setaraf dengan Presiden, maka Pansus lebih rendah dari Presiden. Yang lebih tinggi disuruh menghadap yang lebih rendah. Artinya skor 1 - 0 bagi DPR. Ini dibalas dengan rumor lembaga Kejagung akan memanggil menghadap beberapa anggota pleno DPR yang mantan Pansus BB-gate. Padahal lembaga Kejagung terposisi di bawah Presiden. Itu artinya yang lebih tinggi disuruh menghadap kepada yang lebih rendah. Jala gawang DPR digetarkan Presiden, tercipta satu gol bagi Presiden. Skor 1 - 1, kedudukan seri. Hari Sabtu kemarin tertera pada halaman satu harian FAJAR judul berita: Presiden Siapkan Jawaban I, DPR Tetap Ajukan Memorandum II. Ini sudah tidak substantif lagi. Yang pokok bertikai terus. Belum mendengarkan jawaban sudah siap menyoal. Ibarat dalam cerita-cerita lama: cepat kaki ringan tangan, belum diseru sudah menjahut, belum dipanggil sudah datang, belum disuruh sudah pergi. Ini mengulang tabiat lembaga MPR. Tidak substantif. Yang bersikap menolak sudah siap menolak pertanggung-jawaban Presiden Habibie. Yang tidak logis dilogiskan. Mencerca Habibie karena kebijakannya berakibat lepasnya Tim-tim. Eh, ternyata MPR mengesahkan lepasnya Tim-tim dari Republik Indonesia. Demikian amburadulnya perpolitikan kita. Yang membuahkan demo, demo, demo terus yang anti versus yang pro Gus Dur. Kematian di tangan Allah, sebelum ajal berpantang mati, kalau sudah ajal berpantang hidup. Tidak terpikir bagi yang berdemo itu yang substansinya monoton, yang itu itu saja pro dan kontra Gus Dur, bahwa ada di antara pemakai jalan yang stroke terlambat tiba di rumah sakit? Sekian komentar di bidang politik.

Di bidang ekonomi? Tidak usah panjang-panjang, ruangan terbatas. Cukup dengan para meter berupa nasib rupiah kita. Posisi rupiah yang telah berhasil diturunkan pemerintahan Habibie dari kepala 17 ke kepala enam, grafiknya dalam skala top-down menanjak terus dan kini menjadi berita head line: Batas Psikologis Rupiah Tembus. Yaitu sudah menembus kepala sepuluh. Maka silakan bertikai terus. Jabarkan pertikaian politik ke bawah ke grass roots menjadi konflik horisontal. Kapal sudah oleng, di geladak dan ruang bawah bertikai, berkelahi terus, mulai dari usir BBM dari Ambon sampai kepada bersihkan etnik Madura dari bumi Lorosai, eh salah, dari bumi Dayak.

Itulah cerita singkat perangkat kasar. Bagaimana dengan cerita tentang yang perangkat halus, yang non-pragmatis? Coba tepekur (bahasa Melayu klasik yang diadopsi dari tafakkur, yang berakar dari fa, kef, ra)! Coba merenung! Ini bukan lagi cobaan dari Allah SWT atas bangsa Indonesia, melainkan termasuk dalam kategori laknat! Kalau ini benar-benar laknat dari Allah SWT, coba tafakkur terus, dan menjawab pertanyaan seperti judul di atas itu: Mengapa, Mengapa dan Mengapa?

***
Firman Allah SWT:
-- ADZAA JAa NSHR ALLH WALFTH. WRAYT ALNAS YDKHLWN FY DYN ALLH AFWAJA. FSBH BHMD RBK WASTGHFRH ANH KAN TWABA (S. ALNSHR, 1-3), dibaca: Idza- ja-a nashruLla-hi walfathu. Wara.aytan na-sa yadkhulu-na fi- di-niLla-hi afwa-jan. Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu innahu- ka-na tawwa-ban (s. annashr), artinya: Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka sucikanlah serta pujilah dan minta ampunlah engkau kepada Maha Pemeliharamu, sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat (310:1-3).

Surah anNashr tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam konteks terbukanya kota Makkah secara damai. Penduduk negara-kota Makkah dibuka hatinya sehingga berbondong-bondong masuk Islam. Inilah anNashr, pertolongan kemenangan dari Allah kepada pasukan Islam atas negara-kota Makkah dan kemenangan tawhid atas kemusyrikan dalam hati penduduk Makkah. Jika ayat-ayat Allah dalam S. anNashr ini dibumikan di Indonesia dalam konteks reformasi, maka kemenangan Islam atas jahiliyah, analog dengan kemenangan Orde Reformasi atas Orde Baru.

Sedangkan kepada Nabi Muhammad SAW diperintahkan Allah SWT untuk menyikapi kemenangan itu dengan bertasbih (mensucikan), bertahmid (memuji) dan istighfar (minta ampun), apatah pula kita ini bangsa Indonesia yang hanya sebagai manusia biasa. S. anNashr tersebut merupakan penuntun dari Syari'at Islam dalam hal berakhlak dalam menyikapi kemenangan.

Setelah kita mencapai kemenangan kita disuruh mensucikan Allah, untuk menyadarkan hati kita hanya Allah Yang suci dari kesalahan. Manusia tidak luput dari kesalahan utamanya atas mereka yang bersifat impulsif emosional, yang mudah disulut nafsun ammarahnya. Setelah kita mencapai kemenangan kita disuruh memuji Allah, untuk menyadarkan hati kita hanya Allah yang patut dipuji. Tidak boleh memuji manusia, apa pula menyobongkan diri sendiri dan golongannya: Kalau bukan jasa saya, kalau bukan jasa golongan saya, kalau bukan jasa mahasiswa, kemenangan reformasi ini tidak mungkin tercapai". Inilah yang membawa, menjuruskan dan menjerumuskan kepada sikap bahkan penyakit jiwa euforia. Setelah mencapai kemenangan kita disuruh minta ampun kepada Allah, karena dalam proses mencapai kemenangan reformasi itu niscaya baik tidak disengaja maupun disengaja memperbuat kesalahan-kesalahan. Yang terakhir setelah mencapai kemenangan kita disuruh bertaubat kepada Allah atas kealpaan mensucikan, memuji dan minta ampun kepada Allah setelah kita memenangkan reformasi. Kealpaan mensucikan, memuji dan minta ampun kepada Allah setelah kita memenangkan reformasi inilah yang merupakan jawaban atas pertanyaan dalam judul di atas: Mengapa, Mengapa dan Mengapa? WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 11 Maret 2001