18 Maret 2001

467. Habisi Saja GAM ???

Judul di atas itu dicungkil dari sebagian ucapan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal E. Sutarto, yang menjadi topik berita Harian FAJAR edisi Rabu, 14 Maret 2001, halaman 12. Ucapan itu diucapkan oleh Kasad yang menyambut baik keputusan pemerintah menetapkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai gerakan separatis dalam Sidang Kabinet hari Senin, 12 Maret 2001.

Ada dua pertanyaan yang menggelitik kita untuk dibahas jawabannya dalam kolom ini.

Pertanyaan pertama: "GAM sudah sejak lama memenuhi kriteria untuk diberi cap predikat gerakan separatis, mengapa barulah pada Sidang Kabinet 12 Maret 2001 itu GAM ditegaskan seperti itu?"
Patut diakui dengan jujur bahwa kebijakan Gus Dur menghadapi masalah Aceh yang lebih menonjolkan aspek kemanusiaan, perlu dipisahkan dari sekian kebijakan Gus Dur yang dicerca. Kebijakan Gus Dur untuk berunding dengan GAM yang dimulai dengan terobosan misi Bondan Gunawan menemui Komandan GAM Tengku Syafei di hutan belantara Aceh, disusul dengan perundingan di Geneva yang menghasilkan Jeda Kemanusiaan I dan II, serta moratorium, itu patut dipuji. Namun ini sangat tidak disetujui oleh aliran garis keras baik dalam kalangan sipil maupun militer. Sebagai konsekwensi logis kebijakan yang berpijak atas kemanusiaan itu, maka sudah tentu ukuran normatif dikesampingkan, artinya pendekatan politik berada di atas pendekatan hukum, artinya pula predikat separatis bagi GAM tidak dimunculkan.

Pada pihak lain patut pula diakui dengan jujur bahwa secara obyektif kinerja pemerintahan Gus Dur terhitung jelek. Ditambah pula gaya kepemimpinan Gus Dur yang "one man show", sikap yang kepala batu, yaitu walaupun Gus Dur membiarkan orang bebas mengeritik, bebas beraspirasi bahkan menghinanya, namun semua itu dianggapnya seperti angin lalu. Ditambah pula lagi watak Gus Dur yang gemar mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan. Itu semua berakumulasi sehingga "kawan menjadi lawan" (baca: Poros Tengah dan Golkar). Lawan yang sebelumnya adalah kawan berusaha memperoleh batu (baca: BB-gate) untuk melempar (baca: melengserkan) Gus Dur. Ini berakibat maraknya demo anti versus pro Gus Dur yang rawan menimbulkan konflik horisontal dalam kalangan akar rumput.

Pembaca yang kurang sabar akan nyeletuk: "Apa hubungannya uraian tersebut dengan cap gerakan seperatis untuk GAM yang baru ditegaskan dalam Sidang Kabinet 12 Maret 2001 itu? Oh, sangat erat hubungannya. Gerakan yang sengit untuk menyuruh Gus Dur mundur, menyebabkan Gus Dur memasang kuda-kuda. Adalah sangat naif menyangka Gus Dur seperti Soeharto, bersedia mundur secara legowo. Itu hanya mungkin terjadi jika Allah SWT tiba-tiba mengubah Gus Dur menjadi berwatak tidak kepala batu lagi. Orang yang berwatak kepala batu apabila ditekan terus walaupun sudah merangkak tidak dapat berdiri lagi, akan mengumpulkan segenap tenaga untuk dapat berdiri. Dan itulah yang terjadi pada Gus Dur. Sikap kepala batu itu memberikan dorongan semangat kepadanya untuk memasang kuda-kuda, dengan mengusahakan dukungan dari TNI yang umumnya bersikap keras terhadap GAM, seperti tercermin dalam cukilan ungkapan Kasad yang menjadi judul kolom ini: "Habisi Saja GAM". Untuk itulah demi mendapatkan dukungan dari TNI, maka dalam Sidang Kabinet 12 Maret 2001 itu barulah ditegaskan bahwa GAM itu adalah gerakan separatis.

Pertanyaan kedua: "Apakah mungkin operasi militer terbatas tanpa menimbulkan korban pada rakyat Aceh dapat terwujud di lapangan, atau dengan perkataan lain apakah ada jaminan bahwa operasi militer terbatas itu tidak meningkat menjadi DOM jilid kedua?"
Firman Allah SWT (transliterasi huruf demi huruf demi keotentikan): WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD (S. ALHSYR, 18), dibaca: Waltanzhur nafsun ma- qaddamat lighad, artinya: Mestilah orang menilik apa yang lalu untuk (orientasi) ke depan (59:18).

Maka cobalah kita menilik dimulai dengan Perang Aceh. Teman saya, Ridwan 'Arby, yang berasal dari desa Glumpang Bungkok, Samalanga, Aceh, pernah memperlihatkan kepada saya sebuah buku berjudul Perang Aceh, yang di dalamnya ada sebuh foto Teuku Raja Sabi (TRS) yang baru saja keluar hutan tahun 1937. Jadi bayangkan perlawanan gerilya Aceh baru berakhir 5 tahun sebelum Perang Dunia kedua. TRS adalah anak Cut Meutia, Srikandi Aceh yang syahid dalam pertempuran bersosoh rencong lawan pedang.

Pencoretan 7 kata dalam konsep Muqaddimah UUD (baca: Piagam Jakarta), dibayar dengan harga mahal, yaitu perlawanan Darul Islam dengan pasukan bersenjatanya Tentara Islam Indonesia (DI-TTI) di Aceh, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Sesungguhnya GAM adalah metamorphose dari DI-TII di Aceh, yang kedua-duanya dipimpin oleh Tengku Hasan Tiro, turunan pahlawan nasional Tengku Cik di Tiro.

Perlawanan gerilya, baik DI-TII maupun GAM tidak dapat dipadamkan dengan DOM made in Orde Baru. Bahkan yang terjadi ialah pelanggaran HAM. Mengapa terjadi pelanggaran HAM? Gerilya adalah ibarat ikan di dalam air, maka taktik anti gerilya ialah mengeringkan air (baca: rakyat pendukung gerilya), sehingga ikannya menggelepar-gelepar mudah dibunuh dan ditangkapi. Maka dalam upaya mengeringkan air itulah pelanggaran HAM tak dapat dielakkan. Artinya operasi militer terbatas itu tidak dapat menjamin untuk tidak meningkat menjadi DOM jilid kedua, artinya pelanggaran HAM jilid kedua adalah suatu keniscayaan.

Bila Allah SWT sebagai Maha Pemelihara berkehendak mengubah watak Gus Dur untuk berhenti kepala batu, serta Allah berkehendak menyejukkan hati Amin Rais cs, maka apakah Gus Dur berhenti secara legowo, atau diberikan kesempatan untuk meneruskan kepresidenannya, maka itu bukan masalah lagi. Kinerja DPR dapatlah ditingkatkan dengan membuat UU tentang otonomi khusus Nangroe Aceh dengan Syari'at Islam. Kemudian berilah kesempatan Pemda Otonomi Khusus berembuk dengan GAM. Karena GAM adalah metamorphose dari DI-TII, otonomi khusus ada Syari'at Islamnya dan TII ada Indonesianya, maka insya Allah, Aceh tidak akan lepas dari Republik Indonesia. Maka terhindarlah kita dari tragedi kemanusiaan: Habisi Saja GAM. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 18 Maret 2001