11 Agustus 2002

536. Pendekatan Parsial vs Pendekatan Nizam

Saya mengikuti wawancara liputan 6 siang SCTV 06/8/2002, jam 14:06 dalam wujud dialog antara Ahmad Syafi`i Ma`arif (ASM) vs Muhammad Ismail Yuswanto (MIY). Dalam dialog itu jelas kelihatan dua pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan secara parsial dengan pendekatan secara nizam (sistem).

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ASM memakai pendekatan parsial, atau dengan ungkapan yang sudah diperkenalkan dalam seri yang lalu, yaitu kultural. Penyandang gelar doktor dari Universitas Chicago, Amerika Serikat itu, yang juga Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia itu, tidaklah mempermasalahkan jika Syariat Islam dilontarkan sebatas wacana. Bahwa pelaksanaan Syariat Islam bukan hal yang sederhana karena terikat dengan ruang dan waktu. ASM menyarankan agar kelompok yang mendesak amandemen Pasal 29 lebih menyuarakan aspek keadilan masyarakat. Jika Syariat Islam dimasukkan dalam konstitusi akan terlihat politis. Menurut ASM akan lebih baik jika ormas Islam saat ini berupaya mencerdaskan umat daripada mendesak MPR memasukkan rumusan Syariat Islam ke dalam konstitusi.

Lepasan Universitas Chicago itu menunjuk pengalaman Nanggroe Aceh Darussalam yang telah resmi memberlakukan Syariat Islam, tapi tidak siap untuk membuat peraturan daerah tentang hal itu. ASM juga mencontohkan pemerintahan Pakistan, Iran, dan Arab Saudi hingga kini kebingungan untuk menerapkan Syariat Islam. Jawaban Ketua Mujahidin Indonesia Abubakar Ba`asyir yang mengatakan pemerintahan Thaliban di Afghanistan bisa menjadi teladan, tak memuaskannya, sehingga ASM tidak melanjutkan pembicaraan setelah mendengar jawaban yang demikian itu.

***
MIY, Juru Bicara Hizbuth Thahrir Indonesia itu memakai pendekatan secara nizam, atau dengan ungkapan yang sudah diperkenalkan dalam seri yang lalu, yaitu kultural + struktural. Menurut MIY penerapan Syariat Islam akan memberi rahmat bagi seluruh alam dan penduduk Tanah Air. Dalam pandangan MIY, krisis multi-dimensi disebabkan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan Syari'at Islam. "Tak ada jalan lain jika ingin keluar dari krisis, harus kembali ke jalan yang benar melalui Syari'at Islam,"

Bagi MIY, sebaiknya masyarakat tidak apriori melihat kesulitan itu dan menolak mewujudkan Syariat Islam di tingkat negara. Dia juga bersikukuh Syariat Islam tak akan menakutkan bagi warga non-muslim karena aturan tersebut bukan hanya mengatur memotong tangan kalau mencuri, tapi juga peduli dengan pengelolaan sumber daya alam dan pendidikan. "Selama puluhan tahun pembicaraan Syariat Islam dibungkam, wajar kalau ada yang ketakutan," ujar MIY.

***

Saya sebagai seorang anggota Muhammadiyah, mantan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan pada zamannya Allahu Yarham Fathul Muin Dg. Maggading, sangat menyayangkan, bahwa dari seorang tokoh sekelas ASM masih mempermasalahkan / membutuhkan contoh untuk menjalankan Syari'at Islam. Lebih patut disayangkan karena sebagai Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia telah menjadi hakim sendiri dengan memvonnis bahwa Nanggroe Aceh Darussalam tidak siap membuat peraturan daerah, tanpa mempertimbangkan bahwa menjalankan pemerintahan saja belum pulih seluruhnya, berhubung masalah GAM yang terpaksa lahir akibat blunder poltik Orde Lama (Soekarno) dan Orde Baru (Soeharto). Menurut sahabat saya Prof. Abd. Muis, yang pengasuh kolom Fajar ini setiap hari Kamis, GAM sekarang sudah terlalu jauh, sudah berada pada point of no return. Sehingga tentu memerlukan kehati-hatian dan kesabaran Pemerintah Daerah dan Pusat untuk menarik kebijakan ibarat mencabut rambut dari tepung, rambut tidak putus, tepung tidak berserak, yaitu dengan musyawarah menurut Syari'at Islam, yakni ibarat mengambil madu dari sarang lebah, madu didapat, tangan tidak disengat lebah. [Musyawarah dari akar kata yang dibentuk oleh 3 huruf: Syin, Waw, Ra = mengambil madu dari sarang lebah]

***

Kita sudahi kolom ini dengan mengutip ulang paragraf terakhir dari seri yang baru lalu. Maka simaklah ayat yang berikut:
-- WLTKN MNKM AMT YD'AWN ALY ALKHYR WYAaMRWN BALM'RWF WYNHWN 'AN ALMNKR WAWLaK HM ALMFLHWN (S. AL 'AMRAN, 104), dibaca: waltakum mingkum ummatuy yad'u-na ilal khayri waya'muru-na bil ma'ru-fi wa yanhawna 'anil mungkari wa ula-ika humul muflihu-n (s. ali 'imra-n), artinya: Mestilah ada di antara kamu kelompok yang menghimabu kepada nilai-nilai kebajikan dan memerintahkan berbuat baik dan mencegah kemungkaran, serta mereka itulah orang-orang yang menang (3:104). Waltakun, di dalamnya ada lam al amar, lam yang menyatakan perintah, jadi Allah memerintahkan mesti ada tiga kelompok, yaitu organisasi yang menghimbau, organisasi yang memerintahkan dan organisasi yang mencegah. Alhasil, agar Syari'at Islam menjadi Rahmatan lil'a-lamin, haruslah tegak di atas tiga kaki: Pertama, masyarakat yang sadar akan Nilai Mutlak Al Furqan, kedua, peraturan perundang-undangan yang ditimba dari Syari'at Islam, serta ketiga, pranata hukum yang bersih dari KKN, yang dibersihkan oleh hukum hudud dari Syari'at Islam. Maka bertemulah di sini yang kultural (kaki yang pertama) dan struktural (kaki kedua dan ketiga). Itulah yang dimaksud dengan pendekatan secara nizm, bukan yang parsial. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 11 Agusutus 2002