29 September 2002

543. Mencapai Kepuasan Intelektual dan Ketenangan Qalbu dalam Berilmu

Tidak ada ilmu tanpa paradigma, baik itu ilmu eksakta maupun non-eksakta. Jadi tidak ada ilmu yang bebas nilai, karena paradigma tempat ilmu itu bertumpu memberikan nilai pada ilmu tersebut. Ada ilmu yang bertumpu pada filsafat positivisme, semacam materialisme baik itu yang menolak eksistensi substansi di luar materi, yakni sikap berpikir atheist yang menolak eksistensi Tuhan, ataupun yang tak mau pusing tentang substansi di luar materi, yaitu sikap berpikir agnostik yang acuh tak acuh tentang ada atau tidak adanya Tuhan, maupun deist yang percaya adanya Tuhan tetapi menolak wahyu, bahkan theist yang percaya adanya Tuhan dan wahyu tetapi bersifat sekuler, sekularisasi dalam kehidupan berilmu dan kehidupan politik ketata-negaraan. Ada pula ilmu yang bertumpu di atas paradigma theist khususnya Tawhid.

Contoh misalnya mekanisme proses evolusi Darwinisme dan neo-Darwinisme yang bertumpu pada paradigma filsafat positivisme, sangat berbeda dengan mekanisme proses evolusi menurut ilmu yang bertumpu pada Tawhid. Mekanisme yang menggerakkan evolusi dalam Darwinisme dan neo-Darwinisme tidak jelas. Proses evolusi itu berlangsung secara buta, secara kebetulan, tak terperikan (unpredictable), ibarat membuang dadu (ini ungkapan yang dipakai Einstein, dalam menentang blind evolution, bahwa Tuhan tidak mengatur alam seperti orang membuang dadu).

Firman Allah:
-- SBh ASM RBK ALA'ALY . ALDZY KHLQ FSWY . WALDZY QDR FHDY (ALA'ALY, 1-3), dibaca: Sabbihisma Rabbikal a'la- . Alladzi- khalaqa fa sawwa- .Walladzi- qaddara fa hada- (S. Al A'la-, 1 - 3). Sucikanlah asma Maha Pengaturmu Yang Maha Tinggi . Yang mencipta dan menyempurnakan . Yang mentaqdirkan dan mengarahkan (87:1-3).

Allah tidak mencipta ces pleng, sekaligus sempurna. Dari penciptaan berlangsung proses secara berangsur-angsur menuju sempurna. Inilah dia khalaqa fa sawwa-. Bersamaan dengan penciptaan itu Allah sebagai Maha Pengatur mengatur dengan mekanisme TaqdiruLlah (istilah sekulernya hukum alam). Inilah dia qaddara, mentaqdirkan. Taqdirullah itu mengarahkan, itulah dia fahada-. Di makrokosmos misalnya bintang-bintang hasil proses perubahan berangsur diarahkan oleh TaqdiruLlah yang dikenal sebagai medan gravitasi yang mengarahkan bintang-bintang itu bergerak dalam jalur geodesik. Ada pula TaqdirulLah yang menjadi mekanisme kekuatan bertumbuh dan berkembang biak. TaqdiruLlah inilah yang dikaji dalam proses berangsur yang orang katakan evolusi apakah secara sinambung dengan lambat ataupun cepat, maupun sewaktu-waktu proses berangsur secara loncatan. Jadi menurut ilmu yang bertumpu di atas paradigma Tawhid, perubahan berangsur itu bukanlah blind evolution by chance (unpredictable probability = lempar dadu menurut ungkapan Einstein), akan tetapi programmed evolution by ArRabb through TaqdiruLlah.

Catatan: Kata qaddara ==> taqdir ==> TaqdiruLlah = Taqdir Allah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia taqdir dengan distorsi makna menjadi = nasib manusia. Padahal untuk manusia dan kemanusiaan Al Quran tidak memakai istilah TaqdiruLlah melainkan SunnatuLlah. Arkian, SunnatuLlah inilah yang mengatur / mekanisme berupa hukum-hukum kemasyarakatan dan sejarah dalam pertumbuhan kebudayaan ummat manusia. Dan menurut Al Quran SunnatuLlah juga bermakna aturan-aturan Allah dalam wujud perintah dan larangan supaya manusia itu hidup teratur sejahtera dalam baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur, negeri yang thayyibah, yang mendapat ampunan dari Maha Pengatur.

Khatimah: Berilmu dengan paradigma Tawhid menghasilkan kepuasan intelektual dan apresiasi hasil berilmu yang membuahkan ketenangan qalbu. Bukankah itu yang ingin kita capai dalam hidup yang sebentar di dunia ini? Atau ada yang berpendapat lain? WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 29 September 2002