12 Oktober 2002

545. Menghindarkan Hakim Beramai-ramai dan Mencegah Perkosaan Beramai-ramai

Allah SWT berfirman:
-- YD'AWN ALY ALKHYR, dibaca Yad'u-na ilal khayr, mengajak kepada nilai-nilai kebajikan. Ini disebut metode atau cara kultural. Bagaimana cara mengajak itu? Dalam Al Quran disebutkan
-- AD'A ALY SBYL RBK BALHKMt W ALMW'AZHt AlhSNt W JADLHM BALTY HY AhSN , dibaca ud"u ila- sabi-li rabbika bil hikamti walmaw'izhtil hasanati wa ja-diluhum billati- hiya ahsan, ajaklah ke jalan Maha Pengaturmu dengan bijaksana, dan informasi yang baik dan berdiskusilah dengan mereka itu sebaik-baiknya. Itulah yang disebut metode kultural. FPI sudah berulangkali dengan bilhikmah, bilmaw'azhatil hasanah, bil muja-dalah, tetapi tidak digubris. Mereka minta dengan baik-baik supaya tempat-tempat maksiyat (judi dan pelacuran) ditutup, mereka dicuekin. Bahkan secara sangat minimal, menghimbau untuk menutup tempat maksiyat itu pada malam Isra-Mi'raj. AlhamduliLlah, itu didengar oleh pengelola tempat-tempat maksiyat itu, kecuali yang dikelola oleh Pemda, ceritanya untuk oleh raga, tetapi kenyataannya tempat maksiyat. Tatkala datang dihimbau untuk terakhir kalinya supaya ditutup, para pemuda Muslim itu disambut dengan lemparan botol-botol. Maka disambutlah pula dengan lemparan.

***
Sebuah kasus yang sangat memalukan dan memilukan. Hari Rabu, 9 Oktober 2002 pada halaman muka Harian FAJAR dengan garis kepala (maksudnya head line): "DELAPAN OKNUM POLISI GILIR SISWI SMU. Mereka Bantah Memperkosa Karena Membayar." Terlalu panjang dan mengambil tempat jika seluruhnya saya salin berita itu. Cukup yang relevan saja: "Namun menurut Kapolres Sidrap, sesuai dengan pemeriksaan dan pengakuan kedelapan anggotanya itu, bila apa yang dilakukan terhadap gadis tersebut, bukanlah pemerkosaan, sebab mereka membayar. Tetapi korban, kata Kapolres, tetap membantah, dirinya telah dibayar."

Coba lihat, secara hukum kedudukan sang gadis sangat lemah. Delapan lawan satu. Delapan mengatakan membayar (apa lagi polisi) satu mengatakan tidak dibayar. 8 >< 1. Tentu 8 yang menang, artinya gadis itu secara hukum TIDAK diperkosa. KUHP tidak dapat menjaring ke-8 polisi itu, sebab kalau dibayar berarti bukan perkosaan, melainkan mau sama mau. Sedangkan pasal 284 KUHP, yang disebut zina hanyalah delik aduan, artinya hanya bisa dijaring hukum jika isteri dari yang bersanggama atau suami dari yang bersanggama keberatan.

Dengan melihat kedua kasus di atas pemuda Muslim vs tempat maksiyat yang meningkat menjadi polisi vs FPI, serta perkosaan 8 >< 1, maka adakah upaya yang dapat dilakukan untuk menghindarkan hal itu. Itu tidak dapat dihindarkan hanya dengan resep: "pendekatan kultural"

***
Maka disamping metode kultural "yad'u-na ilal khayr" , yang berjalur bottom up, harus pula ditempuh jalur top down dengan metode struktural memformalkan nilai-nilai Al Furqan (Islami) menjadi norma hukum. Sebab adalah fakta bahwa sistem sekuler yang "mengharamkan" memformalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara, di lapangan sangat mengecewakan, lihatlah contoh 8 lawan 1 di atas itu, sistem hukum kita tidak berdaya menghadapi kasus 8 >< 1. Di samping itu pranata hukum juga mengecewakan, karena tidak berdaya menghadapi maksiyat seperti judi dan pelacuran. Itu suatu kenyataan. Padahal ada Sabda RasuluLlah SAW: Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran falyughayyiru biyadihi dst. Falyughayyiru, ini kata perintah, karena terdapat Lam al Amr. Lam yang menyatakan perintah. Terjadilah bentrok di lapangan antara petugas keamanan (yang tidak berdaya menghadapi maksiyat judi dan pelacuran) dengan pemuda Islam yang "bersemangat". Dan sekali lagi ditekankan, bahwa bentrokan di lapangan antara petugas keamanan (yang tidak berdaya menghadapi maksiyat judi dan pelacuran) dengan pemuda Islam yang "bersemangat", serta perkosaan n lawan 1 ini bukan hanya berlaku beberapa hari yang lalu, tetapi telah berlangsung dari waktu ke waktu.

***
Syahdan, maka itulah sebabnya, sekali lagi itulah sebabnya antara lain mengapa 7 kata supaya dimasukkan ke dalam batang-tubuh UUD. Supaya ada kewajiban bagi pemerintah, yang antara lain seperti dalam kasus tindakan FPI terhadap tempat maksiyat, wajib dilaksanakan oleh pranata hukum, mulai dari polisi diteruskan ke jaksa dilanjutkan ke pengadilan. Dengan demikian pemuda-pemuda Islam yang tinggi semangatnya untuk memberantas tempat maksiyat (nahi mungkar), tidak menjadi hakim beramai-ramai, yang mengakibatkan bentrokan antara polisi versus pemuda Muslim yang tinggi "semangatnya" mengubah kemungkaran bilyad, dengan tangan.

Dengan masuknya 7 kata itu, maka wajiblah ada satuan polisi yang menangani khusus maksiyat narkoba, perjudian dan pelacuran. Satuan polisi yang anggotanya diseleksi dari pemuda-pemuda yang berasal dari organisasi pemuda Islam dan pesantren yang ikhlas dan bersemangat memberantas kemaksiyatan narkoba, perjudian dan pelacuran. Insya Allah tidaklah akan terjadi lagi bentrokan yang berlangsung dari waktu ke waktu antara petugas keamanan (yang tidak berdaya menghadapi kemaksiyatan) versus pemuda Islam yang "bersemangat". insya Allah tidak akan terjadi pemuda Muslim yang bersemangat menjadi hakim beramai-ramai atas tempat-tempat maksiyat, karena pranata hukum sudah effektif kerjanya.

Dengan adanya 7 kata itu dalam Batang Tubuh UUD perkosaan yang dirontokkan menjadi suka-sama-suka karena dibayar, hukum dapat menjaring upaya perontokan perkosaan itu menjadi hanya sekadar hubungan seksual suka-sama-suka. Karena dalam Syari'at Islam hubungan seksual di luar nikah adalah kejahatan yang harus mendapat sanksi. Tidak lagi akan terjadi perkosaan ramai-ramai, karena nilai Islami telah dijadikan norma hukum artinya memformalkan Syari'at Islam.

Alhasil dengan masuknya 7 kata ke dalam Batang tubuh UUD, maka hakim berama-ramai dan perkosaan ramai-ramai dapatlah efektif dicegah dengan jalur struktural. Artinya jalur kultural bottom up (dari bawah ke atas) haruslah ditempuh a'rambangang (paralel, serempak) dengan jalur struktural top dowan (dari atas ke bawah) yaitu law enforcement. WaLla-hu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 12 Oktober 2002