15 Desember 2002

553. Damai di Nanggroe Aceh Darussalam

Perjanjian Gencatan Permusuhan antara RI-GAM adalah kemenangan untuk kedua belah pihak yang berdamai. Sangatlah patut itu dismbut dengan:
-- FSBh BhMD RBK WASTGHFRH ANH KAN TWABA (S. ALNSHR, 3), dibaca: fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu innahu- ka-na tawwa-ba- (s. an nashr), artinya: Maka tasbilah engkau dan memuji Maha Pemeliharamu serta minta ampunlah kepadaNya, sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat (110:3). Kita dapat menyimak keikhlasan dari pihak GAM dalam Perjanjian Gencatan Permusuhan dari Press Release yang dikeluarkan oleh pihak mereka itu.

PRESS RELEASE Geneve, 09-12-2002
The agreement of Cessation of Hostilities signed today between the Free Acheh Movement (GAM) and the Goverment of Indonesia (GoI) represents a correction of the failure of the previous accord on ending the hostilities and violence.
Perjanjian Gencatan Permusuhan antara GAM- RI yang ditanda-tangani hari ini, merupakan koreksi dari kegagalan atas penghentian permusuhan dan kekerasan yang sebelumnya pernah disepakati.
---------
We hope that with the signing of this new accord involving the monitoring by at some 12 foreign nations, the people of Acheh would be able to live in peace free from all kinds of fear and terror and to rebuild themselves without hindrance and in dignity as is the right of every civilized people.
Kita berharap dengan adanya perjanjian baru yang akan melibatkan pengawasan antar-bangsa yang tidak kurang dari 12 negara, warga Aceh akan dapat hidup dalam suasana damai dan tenteram, terlepas dari segala bentuk terror dan dapat membangun dirinya tanpa rasa takut sebagaimana layaknya kehidupan suatu bangsa beradab.
---------------
In his speech at the signing ceremony, the ASNLF's chief negotiator, Dr. Zaini Abdullah said among other things that it is the aspiration of the Achehnese people to live in peace and to take their rightful place among the civilized community of the world.
Dalam kata-kata sambutannya, Dr. Zaini Abdullah, ketua perunding ASNLF, berkata antara lain bahwa adalah merupakan aspirasi warga Aceh untuk hidup dalam suasana damai dan mengambil tempatnya yang sah diantara masyarkat internasional yang beradab.
--------------------
Dr. Zaini Abdullah concluded his speech with expressing that the realization of peace in Acheh will give the Achehnese the opportunity to rebuild their future without fear and to contribute to the regional economic, political and security stability especially in South East Asia, and indeed in the world. It is a well-known fact that Acheh is very well endowed with rich natural resources and posseses an industrious people. It is thus our challenge to rise to the occasion in order to take our rightful place among the civilized community of the world.
Dr. Zaini menutup ucapannya dengan mengatakan bahwa realisasi perdamaian di Aceh akan memberikan peluang kepada warga Aceh untuk membangun kembali masa depan mereka tanpa rasa takut dan menyumbang kepada kestabilan ekonomi, politik dan keamanan serantau, khususnya di Asia Tenggara, bahkan di dunia. "Adalah diketahui umum bahwa Aceh mempunyai kekayaan alam yang banyak dan rakyat yang rajin. Adalah merupakan tantangan bagi kami untuk menyambut kesempatan yang mendatang untuk kembali mengambil tempat kami yang sah diantara anggota masyarakat antarabangsa yang beradab".
------------------
The signing ceremony that took place at the Henry Dunant Centre in Geneva was attended by 9 foreign ambassadors, including from France, the US, Canada, Japan, Sweden, Norwegia, and the official representative of Switzerland.
Upacara penanda-tanganan yang berlangsung di Markas Henri Dunant Centre di Jenewa itu dihadiri oleh Duta-Duta sembilan negara asing, termasuk Perancis, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Swedia, Norwegia dan juga wakil resmi Pemerintah Swiss.

***

Tentulah tak diragukan pula keikhlasan dari pihak Eksekutif berikut jajaran militer dan polisi, dan tentu saja sikap Partai-Partai Politik dalam mendukung kesepakatan yang telah ditanda-tangani di Geneva itu. Kita tekankan terutama Partai Politik yang domoinan dalam kabinet. Oleh karena masih segar dalam ingatan kita bagaimana "keraguan" Sutjipto dalam menyikapi RUU Nanggroe Aceh Darussalam. Akan kami kutip dari Seri 474 yang berjudul Syari'at Islam di Aceh, antara lain seperti berikut: "PDIP menolak pemberlakuan Syari'at Islam dalam RUU Nanggroe Aceh Darusslam yang kini sedang dibahas dalam Pansus DPR. Demikian ditegaskan Sutjipto, Sekjen yang juga ketua fraksi PDIP di MPR. Menurut Sutjipto jangan sampai pelaksanaan Syari'at Islam itu kontra-produktif dengan NKRI." Sikap ala Sutjipto ini dapat pula membuahkan ketidak-ikhlasan dalam menyambut kesepakatan yang telah ditanda-tangani di Geneva itu. Semoga tidaklah demikian adanya. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 15 Desember 2002