25 Mei 2003

576. Pohon Mangga

Tersebutlah konon dahulu kala tumbuhlah sebatang pohon mangga. Daunnya rimbun, sarat dengan buah tak terhenti sepanjang tahun. Seorang bocah senang sekali datang bermain setiap hari di pohon mangga itu dan sekitarnya. Ia memanjat ke puncak pohon, merayap ke dahan, memetik dan makan buah mangga. Kemudian meluncur turun bersandar di batang pohon dan terlelap dalam kesejukan naungan daun yang rimbun Ia mencintai pohon mangga itu dan pohon itu demikian pula kepadanya.

Waktu meluncur dengan cepatnya tak terasa. Bocah itu bertumbuh menjadi remaja. Sudah tidak senang bermain-main lagi, telah jarang mendatangi pohon mangga itu.

Syahdan, sampai pada suatu hari sedang rembang matahari bocah yang telah remaja itu datang mendekati pohon mangga dengan wajah sedih. Pohon mangga menyambutnya dengan gembira: "Mari bermain seperti dahulu". "Saya bukan bocah lagi, saya sudah remaja, sudah tidak senang bermain", jawab bocah yang telah remaja itu." "Lalu apa masalahmu. Katakanlah segera, mungkin saya dapat menolongmu, keluar dari kesusahanmu," pohon mangga membujuk. "Begini, saya ingin mempunyai kecapi yang merdu untuk menghibur kekasihku," bocah yang telah remaja itu mengutarakan kemusykilannya." "Oh, itu gampang, petiklah buahku sehabis-habisnya, kemudian juallah untuk memperoleh uang. Dan engkau dapat membeli kecapi yang merdu". Bocah yang telah remaja itu bangkit gairahnya. Dipetiknya buah mangga habis-habisan dan meninggalkan pohon mangga, yang dalam sejenak itu bocah yang telah remaja itu menghilang dalam pandangan pohon mangga. Tampak gembira pohon mangga, karena telah mengeluarkan bocah yang telah remaja itu dari belenggu kesusahannya.

Arkian, tibalah pula suatu hari remaja itu datang lagi ke pohon mangga. Bergembiralah pohon mangga memanggil untuk bermain. "Saya tidak punya waktu untuk bermain, saya telah dewasa, telah beristeri," ujar remaja yang telah dewasa itu. "Lalu kesulitan apa pula yang membelenggumu, boleh jadi saya dapat menolongmu lagi," kata pohon mangga." "Begini, saya membutuhkan rumah tempat tinggal", belum sempat remaja yang telah dewasa itu mengakhiri kalimatnya, pohon mangga menyela: "Oh, gampang pangkaslah semua dahan, dan cabang dari batangku, cukuplah itu untuk mendirikan rumah." Remaja yang telah dewasa itu, karena memang profesinya tukang kayu, segera mengambil peralatan pertukangan kayu, lalu memangkas. Maka tinggallah pohon mangga seperti tonggak, hanya batang tanpa dahan, tanpa cabang, tanpa ranting dan tanpa daun. Tumbuh tidak, matipun tidak.

Syahdan, tahun berganti tahun, datanglah pula remaja yang sudah dewasa itu ke pohon mangga yang sudah menjadi tonggak itu, tumbuh tidak, matipun tidak. "Kita tak dapat bermain lagi, saya sudah menjadi tonggak," dengan sedih berkata pohon mangga yang sudah menjadi tonggak itu, tumbuh tidak, matipun tidak. "Boleh jadi inilah yang terakhir saya minta nasihat kepadamu. Saya sudah menjelang manula. Ingin menikmati hari tua, bersenggang waktu, berlayar-layar di danau. Bagaimana mungkin saya mendapatkan perahu," berujar bocah yang meremaja, yang mendewasa dan menjelang manula itu. "Oh, itu gampang, tebanglah batangku pada pangkalnya, buatlah perahu", itulah kata akhir pohon mangga yang telah menonggak itu.

Alhasil, pohon mangga yang dahulu berdaun rimbun, berbuah lebat, tinggal akar-akarnya saja yang tersembul sedikit di atas tanah, dari tonggak menjadi seperti bantal. Qissah belum berakhir, walaupun kata akhir telah terucapkan oleh pohon mangga yang dahulu berdaun rimbun, berbuah lebat, tinggal akar-akarnya saja yang tersembul sedikit di atas tanah itu.

Musim berganti musim, tahun berganti tahun datang lagi bocah yang meremaja, yang mendewasa yang menjelang manula dan sudah top, tua, pikun, ompong datang laki ke pohon mangga yang dahulu berdaun rimbun, berbuah lebat, tinggal akar-akarnya saja yang tersembul sedikit di atas tanah seperti bantal. Yang sudah top itu merebahkan diri berbantalkan akar pohon mangga. Qissah belum berakhir jua.

Qissah ini untuk siapa saja. Pohon mangga ibarat kedua orang tua kita. Ketika bocah kita senang bermain dengan kedua beliau. Tatkala bertumbuh dewasa, kita tinggalkan beliau berdua, hanya datang bila dianggap perlu, atau sedang dalam kesusahan. Tidak menjadi soal bagaimanapun keadaan orang tua kita, tetap akan memberikan segalanya kepada kita. Maka durhakalah kita jika tidak mendoakan kedua beliau itu, sekurang-krurang selesai shalat wajib lima waktu:
-- RB AGHFRLY WLWALDY W ARhMHMA KMA RBYNY SHGHYRA (S. NWh, 28 dan S. ASRY, 24), dibaca: Rabbighfirli- waliwa-lidayya warhamhuma- kama- rabbaya-ni- shagi-ran (s. nu-h dan s. isra-), artinya: Ya, Maha Pemeliharaku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya memelihara dengan penuh kasih sayang di waktu kecilku (71:28 dan 17: 24). WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 25 Mei 2003