Ini saya kutip dari Harian Fajar, edisi Sabtu, 23 Agustus 2003, berita berjudul: "Obok-Obok Hotel, Polisi Langgar Komitmen." Sedikit cukilan berita. "Penggrebekan hotel dan penginapan yang dilakukan Polresta Makassar Timur belum lama ini dan Polresta Makassae Barat, Jum'at (22/8) dinihari kemarin menuai sorotan. Pengelola dan Pengurus Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Makassar menyesalkan kegiatan tersebut.
Mereka menilai aparat kepolisian tersebut telah melangggar komitmen. Terlebih disertai dengan penangkapan tamu hotel dengan alasan tidak bisa memperlihatkan buku nikah. "Alasan itu mengada-ada. Siapa di Makassar ini yang setiap keluar rumah atau menginap di hotel selalu membawa buku nikah. Tidak ada. Saya pikir alasan polisi itu mengada-ada," tandas Wakil Ketua PHRI Makassar, Drs Mustika Zulkifli Said, Jum'at (22/8) kemarin.
Menurut Mustika, sebelumnya ada komitmen dengan Kapolwiltabes Kombes Pol Yose Rizal Effendy, baik dalam pertemuan di Makassar Golden Hotel (MGH) maupun di pantai Gapura yang menyatakan, razia di hotel hanya bisa dilakukan berdasarkan laporan petugas atau karyawan hotel yang menyebutkan di salah satu kamar hotel bersangkutan ada perbuatan tindak pidana, seperti pesta narkoba yang perlu segera ditangani."
***
Secara logika komitmen itu tidaklah efektif dalam memberantas narkoba. Bayangkan jika antara penarkoba dengan karyawan hotel meniru "politik uang" seperti yang dilakukan oleh para penggede tingkat atas, maka karyawan hotel itu tentu tidak akan melapor bukan? Secara logika pula tentu tidak mungkin polisi akan minta memperlihatkan buku nikah kepada pengunjung hotel yang ada di dalam kamar, jika dia cuma sendirian di kamar itu. Niscaya ada orang lain yang berlawanan jenis dengannya. Artinya polisi itu tidaklah mengada-ada dalam konteks mencegah berjangkitnya penyakit AIDS bukan? Cuma saja polisi tidak punya payung hukum untuk memprosesnya secara hukum, dan yang bersangkutan setelah dibawa ke kantor polisi niscaya telah dilepaskan. Tetapi itu sudah cukup untuk memberi pelajaran kepada sang hidung belang dengan cara membikin malu dia. Apalagi kalau disyuting dan ditayangkan di media elektronik. Sebenarnya pemilik hotel tidaklah perlu merasa ada monyet di punggung, kalau memang kamar yang dipersewakannya itu tidak dijadikan ajang penularan virus AIDS. (Seorang guru ataupun dosen, apabila muridnya atau mahasiswanya sedang mengerjakan pekerjaan ujian jangan sekali-kali pergi berdiri di belakang sang murid ataupun mahasiswa. Anak didik itu merasa tidak nyaman dan tidak bebas, menjadi serba salah sehingga tidak dapat berkonsentrasi. Rasa tidak nyaman dan tidak bebas inilah yang diibaratkan oleh bidal Melayu lama "seperti ada monyet di punggung").
Secara umum, memang polisi perlu payung hukum untuk mengobok-obok semua jenis tempat esek-esek. Karena memang warisan RI yang diterimanya dari pemerintah Hindia Belanda (Nederlandsch Indie), yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berasal dari Wetboek van Strafrecht itu, dalam hal esek-esek dasar fiolosifinya adalah pranata hukum kekuasaannya berhenti pada pintu kamar yang tertutup. Pranata hukum tidak dibolehkan mengganggu privacy (keleluasan pribadi) di dalam kamar tertutup. KUHP tidak dapat menjaring aktivitas esek-esek sepasang kawula yang masih bebas (belum bernikah) jika mau sama mau dilakukan ditempat yang tidak dapat disaksikan oleh umum. KUHP hanya dapat menjaring aktivitas esek-esek yang dalam istilah yuridis Wetboek van Strafrecht disebut dengan "overspel" (terjemahan harfiyanya: keliwat main = bermukah), artinya salah seorang atau kedua-duanya yang beresek-esek itu telah terikat oleh tali pernikahan. Itupun hanya berupa delik aduan (jika isteri / suami yang beresek-esek itu berkeberatan), barulah polisi dapat menjaringnya dengan pasal 284 KUHP. Maka demikianlah dasar filosofi pasal 284 itu, bahwa tali pernikahan itu bukanlah suatu ikatan yang sakral, melainkan hanya sekadar perkara perdata. Yaitu pemilik (suami) berkeberatan hak miliknya (isteri) beresek-esek dengan laki-laki lain, dan sebaliknya pemilik (isteri) berkeberatan hak miliknya (suami) beresek-esek dengan perempuan lain.
***
Metode yang ampuh dalam mencegah virus AIDS ialah:
-- WLA TKRBWA ALZNY (S. BNY ASRAaYL, 32), dibaca: wala- takrabuz zina- (s. bani- isra-i-l), artinya: Dan janganlah kamu dekati zina (17:32). Sedangkan mendekati esek-esek dilarang, apatah pula melakukannya. Ini sudah sering dida'wakan para da'i baik secara individual mapun secara lembaga (jalur kultural). Namun itu belum cukup, karena itu baru mencegah niat. Haruslah pula disejajarkan dengan jalur struktural yaitu pranata hukum sebagai mekanisme untuk menghalangi kesempatan. Sebab bukankah tindak pidana itu karena adanya niat dan terbukanya kesempatan. Itulah gunanya penegakan Syari'at Islam baik secara kultural, maupun secara struktural, yang dalam konteks perbincangan yang dinyatakan dalam judul, yaitu pranata hukum terkhusus polisi membutuhkan payung hukum untuk mengobok-obok tempat esek-esek. 'Ala kulli hal, secara umum NKRI membutuhkan Peraturan Perundang-Undangan yang ditimba dari Syari'at Islam. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 31 Agustus 2003