21 September 2003

593. Melepas Konglomerat Hitam, Menjaring Alumni Afghan

Saya pernah membaca tulisan Prof. Ahmad Ali dalam kolom tetap Harian Fajar (beliau adalah pengasuh tetap kolom tsb. setiap Rabu), bahwa undang-undang itu baru sekadar "rencana hukum", dan barulah menjadi hukum jika telah dilaksanakan oleh pranata hukum. Selanjutnya melalui Radio Delta FM 16 Sept 2003 pagi-pagi, saya sempat mendengar ucapan beliau yang menyatakan kurang lebih bahwa UU Antiteroris nomor 15 tahun 2003 tergantung pada pelaksananya, polisi, jaksa dan hakim.

Siapapun dapat melihat, bahwa di NKRI ini pranata hukum berselera melepas para konglomerat hitam, sebaliknya bersemangat memburu terrorist. Sayangnya dalam rangka memburu terrorist itu pranata hukum mempunyai selera khusus menjaring para alumni Afghan. Maka secara faktual apa yang dikemukakan Prof. Ahmad Ali benarlah adanya. Dalam proses rencana hukum menjadi hukum sangatlah kental tergantung pada selera para pranata hukum, kejaksaan Melepas Konglomerat Hitam, dan kepolisian Menjaring Alumni Afghan, seperti dinyatakan oleh judul di atas.

***

Uang negara sebesar 306,6 juta Dolar AS yang diduga dilahap oleh putri sulung mantan Presiden Soeharto Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), penipuan besar-besaran terhadap uang rakyat sejumlah Rp 331 miliar oleh pengusaha Prajogo Pangestu dan Djoko Ramiadji putra pengusaha jamu Mooryati Sudibyo yang membawa lari uang rakyat sebesar Rp 503 miliar, menurut selera pranata hukum Kejaksaan Agung yaitu yang berwenang menjadikan rencana hukum KUHP dan KUHAP menjadi hukum, prosesnya dihentikan, alias ketiga kasus konglomerat hitam itu tidaklah sempat menjadi hukum, alias di SP3-kan. Selera Kejaksaan Agung itu dikecam oleh Wakil koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko yang menyatakan bahwa, kejaksaan hanya memakai satu bukti. Padahal laporan Nurmahmudi (mantan Menhutbun, red) sudah ke kejaksaan, tapi tidak dipakai oleh mereka. Boleh jadi, menurut hemat pengasuh kolom ini, andaikata dahulu saingan berat M.A. Rahman untuk menjadi Kajagung, yaitu Prof. Ahmad Ali, yang jadi diangkat menjadi Kajagung, proses menjadikan rencana hukum menjadi hukum bisa mulus. Yang paling konyol, ialah Kejaksaan Agung bukan hanya melepaskan para konglomerat hitam yang tersangka, bahkan kedua konglomerat hitam yang telah meringkuk dalam jeruji besi, yaitu Sjamsul Nursalim dan Samadikun Hartono, dapat pula dilepas memalui jalur "berobat keluar negeri".

***

Alumni Afghan, siapakah mereka itu? Mereka adalah para aktivis Muslim dari berbagai elemen gerakan Islam di Indonesia yang dengan inisiatif sendiri maupun kolektif turut membantu perjuangan Mujahidin Afghanistan ketika mengusir penjajah "beruang lapuk" tentara Uni Soviet antara 1980-1990. Setelah jihad Afghan usai dengan kemenangan telak berada di tangan Mujahidin, yang diikuti dengan hancurnya negara Uni Sovyet, para aktivis Muslim yang pernah berjihad di Afghan tersebut kembali ke tanah air, menjadi warga negara biasa, normal dan ikut aktif dalam mengembangkan dakwah Islam di masyarakat. Bahkan, mereka yang dulunya bekerja di sebuah instansi atau perusahaan, juga kembali aktif seperti semula.

Kisah pembantaian terhadap umat Islam oleh 'tentara merah', yaitu tragedi pembantaian di Kupang (30/11/1998), tragedi pembantaian Idul Fitri berdarah di Ambon (19/1/1999), tragedi pembantaian di dalam Masjid Al-Muhajirin di Galela, Halmahera, dan tragedi pembantaian para santri sambil meluluh-lantakkan pesantren Walisongo di Poso sekitar pertengahan Juni-Juli 2000. Kejinya pembantaian oleh 'tentara merah' itu hanya bisa disaingi oleh kebiadaban PM Israel Ariel Sharon yang pernah membantai para pengungsi muslim Palestina yang juga terdiri dari orang tua, wanita, dan anak-anak di Sabra dan Shatila (1983). Ironis sekali, secara jujur harus diakui, tatkala itu aparat TNI-Polri sendiri tak sanggup melindungi umat Islam dari pembantaian tersebut. Bahkan Pemprov dan DPRD SulTeng mengundang para mujahidin itu datang ke Poso. Kenyataan inilah yang kemudian membangkitkan semangat jihad dari para 'alumni Afghan' untuk membantu saudaranya seiman di Ambon, Halmahera dan Poso, sebagaimana mereka dulu pernah membantu saudaranya seiman di Afghanistan. Percaya atau tidak, peran para alumni Afghan tersebut telah banyak menolong eksistensi umat Islam di wilayah tersebut dari upaya 'ethnic-cleansing' yang diterapkan secara sistematis oleh 'tentara merah' itu.

Kini para alumni Afghan itu ditengarai sebagai terrorist, akibat disinformasi pasca runtuhnya gedung kembar WTC (11/9/2001) dan berbagai tragedi bom di tanah air. Mereka "ditangkapi" satu demi satu, sebagaimana yang dialami oleh Solichin yang hanya penjual donat. Dan juga yang pernah dialami oleh Azzam, seorang aktivis Mer-C. Para aktivis Islam yang "ditangkap" aparat keamanan mengalami penganiyaan. Demikian hal itu diungkapkan Direktur Pusat Advokasi dan HAM (PAHAM) Zainuddin Paru kepada eramuslim.com, Selasa (16/9). Yang menjadi klien PAHAM adalah, Tikno (aktivis Islam Bekasi), Azzam (relawan Mer-C, seperti telah disebutkan di atas, sekarang bebas tapi wajib lapor), Zubair (Jakarta) dan dua orang dari Riau. Atas "penangkapan" aparat keamanan itu, PAHAM akan melakukan langkah hukum. "Kami akan mengadukan masalah ini ke Komnas HAM dan Komisi I dan II DPR," katanya. [sumber: http://eramuslim.com/berita/nasional/309/16163401,7771,1,v.html]. Supaya adil seyogianya penegak hukum juga bersemangat memburu para terrorist yang tidak bertanggung jawab di belakang tragedi Kupang, Ambon, Halmahera dan Poso tersebut.

Mudah-mudahan "penangkapan" ini semata-mata yuridis murni, artinya tidaklah politis, artinya tidaklah ada kaitannya dengan Pemilu 2004 nanti, artinya terlepas dari upaya mempertakut-takuti orang untuk bicara Islam, bicara soal politik Islam, bicara dakwah Islam. Maka dalam konteks ini sangatlah perlu ditanamkan ke dalam diri para penegak hukum, khususnya yang menangani konglomerat hitam dan alumni Afghan, yaitu Firman Allah dalam Al Quran: W BALAKHRt HM YWQNWN (S. ALBQRt, 4), dibaca: wa bil a-khirati hum yu-qinu-n (s. albagarah), artinya: dan dengan hari akhirat mereka itu yakin. Keyakinan akan hari akhirat, keyakinan tentang YWM ALDYN (yaumud di-n), Hari Pengadilan, sangatlah berarti bagi para penegak hukum itu dalam konteks menegakkan hukum di NKRI ini. WalLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 21 September 2003