28 September 2003

594. Isra, Difahamkan Secara Tekstual, Ta'wil dan Isyarat

Hari Rabu ybl bertanggal Kalender Hijriyah 27 Rajab 1424, adalah peristiwa Nabi Muhammad SAW diisrakan oleh Allah SWT. Kita akan perbincangkan pemahaman Isra secara komprehensif, yaitu baik secara tekstual, maupun ta'wil, ataupun isyarat seperti yang dinyatakan oleh judul di atas itu.

Firman Allah SWT (transliterasi huruf demi huruf): SBhN ALDZY ASRY B'ABDH LYLA MN ALMSJD ALhRAM ALY ALMSJD AL AQSHA ALDZY BRKNA hWLH LNRYH MN AYTNA ANH HW ALSMY'A ALBSHYR (S. BNY ASRAaYL, 1), dibaca: subha-nal ladzi- asra- bi'abdihi- laylam minal masjidil hara-mi ilal masjidil aqshal ladzi- ba-rakna- haulahu- linuriyahu- min a-ya-tina- innahu- huwas sami-'ul bashi-r (s. bani- isra-i-l), artinya: Maha Suci Yang mengisrakan hambaNya malam hari dari al Masjid al Haram ke al Masjid al Aqsha, yang Kami telah berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan (sebagian) dari ayat-ayat Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat (17:1).

Asra dalam ayat (17:1) tersebut, artinya memperjalankan. Bentuk-bentuk yang lain adalah asri terletak dalam 5 ayat dan yasri dalam sebuah ayat. Dari kelima ayat yang memuat asri semuanya berhubungan dengan perjalanan malam, yaitu perjalanan Nabi Luth AS serta dengan pengikutnya (S. Hud,81 dan S. Al Hijr,65), dan perjalanan Nabi Musa AS dengan ummatnya keluar dari Mesir (S. Taha,77, dan S. Asy Syu'ra',52, dan S. Ad Dukhan, 23). Dan bentuk yasri menyangkut perjalanan mengenai malam itu sendiri (S. Al Fajr,4). Adapun perjalanan malam Nabi Luth AS dan Nabi Musa AS mengandung pengertian yang biasa saja. Tidak sama dengan pengertian asra bagi Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai kekhususan, yaitu tidak diikuti oleh manusia lain.

Menurut Hadits pada waktu Rasulullah diisrakan, beliau menunggang buraq dituntun oleh Jibril. Secara tekstual itu benar-benar seperti demikian. "Utiyat bilBura-qi faHumiltu 'Alayhi Hattay Utiyat Baita lMaqdis," artinya: didatangkan kepadaku Buraq dinaikkan aku berkendara di atasnya hingga tiba di Bayt al Maqdis. Atau seperti penuturan Anas: "Hattay Intihay Ilay Bayti Maqdis," artinya: sampailah ia ke Bayt al Maqdis. Dari Hadits tersebut jelas bahwa Nabi Muhammad SAW tatkala diisrakan mengendai buraq berakhir di Bayt alMaqdis. Demikianlah ayat (17:1) dan Hadits tersebut difahamkan secara tekstual. Seperti kita lihat ayat (17:1) menjelaskan bahwa akhir asra ialah al Masjid al Aqsha, sedangkan Hadits yang dikutip tersebut menjelaskan ujung perjalanan RasuluLlah SAW adalah di Bayt al Maqdis. Mengenai hubungan Bayt al Maqdis dengan al Masjid al Aqsha, apakah keduanya identik atau tidak, telah dibahas dalam Seri 065 berjudul "Mi'raj dengan Angkasa Luar", bertanggal 24 Januari 1993.

***

Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan: FY AhSN TQWYM (S. ALTYN, 4), dibaca: fi- ahsani taqwi-m (s. atti-n). artinya: sebaik-baik kejadian (95:4). Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun manusia itu diciptakan Allah dengan sebaik-baik kejadian, karena diberi perlengkapan akal, akan tetapi kalau akalnya tidak dapat mengendalikan nalurinya, maka akan jatuhlah ia ke tempat yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari binatang, sehingga akal memerlukan tuntunan wahyu.

Maka di samping pemahaman tekstual terhadap Isra itu, dapat pula kita menta'wilkan konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq itu. Yakni mengandung pula simbol/ibarat yang sangat relevan dalam konteks konfigurasi antara wahyu, akal dengan naluri. Jibril pembawa wahyu, RasuluLlah disimbolkan sebagai akal dan buraq perlambang naluri. Dengan demikian konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq itu dapat dita'wilkan sebagai wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri.

***

Bahkan lebih dari itu, Rasulullah menunggang buraq dituntun oleh Jibril merupakan pula isyarat dari Allah SWT bahwa itu akan diproyeksikan dalam kenyataan sejarah, satu setengah tahun kemudian setelah Isra, yaitu peristiwa hijrah: Rasulullah menunggang unta dituntun oleh Abu Bakar Ashshidiq RA. Jibril adalah malaikat pembawa kebenaran dan Abu Bakar memperoleh gelar Ashshidiq. Baik Jibril, maupun Abu Bakar mendapat predikat "benar". Predikat Asshshiddiq bagi Abu Bakar RA diperoleh beliau, karena sikap beliau terhadap peristiwa Isra-Mi'raj. Tatkala provokator Abu Jahl yang pembenci RasuluLlah SAW, berkampanye anti Islam, ia bercerita kepada Abu Bakar RA apa yang telah didengarnya tentang Isra-Mi'raj, kemudian menghasut Abu Bakar RA: "Hai Abu Bakar masihkah juga engkau percaya kepada Muhammad?" Maka menjawablah Abu Bakar RA: "Lebih dari itu saya percaya, karena Muhammad sejak sebelum menjadi Nabi belum pernah berbohong, lebih-lebih setelah diutus Allah". Sejak itu Abu Bakar mendapatkan gelar Ashshiddiq (yang membenarkan).

Alhasil, dalam memahamkan Al Quran maupun Al Hadits (Nash) dengan mempergunakan akal tidaklah boleh mempertentangkan ketiga hal ini: tekstual, ta'wil dan isyarat. Pertama-tama secara tekstual, dan kalau mungkin barulah dita'wilkan secara kontekstual dan bila perlu dikaji isyarat yang terkandung dalam Nash tersebut. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 28 September 2003