26 Oktober 2003

598. Bulan Rajab dan Ramadhan

Bulan Rajab, di dalamnya Allah SWT mengIsra-Mi'rajkan Nabi Muhammad SWA. Tujuan utama Nabi Muhammad SAW di-Isra-Mi'rajkan ialah untuk menerima secara langsung kewajiban shalat dari Allah SWT. Tujuan yang kedua, ialah untuk diperlihatkan kepada beliau sebagian dari Ayat-Ayat Allah, seperti dijelaskan belum lama ini dalam Seri 594, berjudul: Isra, Difahamkan Secara Tekstual, Ta'wil dan Isyarat. Tujuan ketiga, Isra-Mi'raj adalah untuk menjadi ujian bagi manusia mengimani atau mengingkari. WMA J'ALNA ALRaYA ALTY ARYNK ALA FTNt LLNAS (S.BNY ASRAaYL, 60), dibaca: wa ma- ja'alnar ru^yal lati- arayna-ka illa- fitnatal linna-si (s. bani- isra-i-l), artinya: dan tidaklah Kami jadikan penglihatan yang Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai fitnah bagi manusia (17:60). Penglihatan yang diperlihatkan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah apa yang disaksikan RasuluLlah SAW tatkala diIsra-Mi'rajkan. Sedangkan fitnah dalam ayat ini bermakna ujian ataupun cobaan atas keimanan seseorang. Jadi menurut ayat ini Isra-Mi'raj merupakan tolok ukur bagi seseorang untuk mengevaluasi keimanannya. Tatkala provokator Abu Jahl yang pembenci RasuluLlah SAW, berkampanye anti Islam, ia bercerita kepada Abu Bakar RA apa yang telah didengarnya tentang Isra-Mi'raj, kemudian menghasut Abu Bakar RA: "Hai Abu Bakar masihkah juga engkau percaya kepada Muhammad?" Maka menjawablah Abu Bakar RA: "Lebih dari itu saya percaya, karena Muhammad sejak sebelum menjadi Nabi belum pernah berbohong, lebih-lebih setelah diutus Allah". Sejak itu Abu Bakar mendapatkan gelar Ashshiddiq (yang membenarkan). Alhasil apa yang kita petik dari Bulan Rajab ialah introspeksi mengenai kadar keimanan kita, sebagai bekal dalam memasuki bulan Ramadhan.

***

Dalam bidang psikologi yang bernuansa kekafiran, Sigmun Freud memperkenalkan Id yang berkarakteristik seksual. Mengapa dikatakan bernuansa kekafiran, oleh karena Freud (diucapkan froid) menganggap Id itu segala-galanya yang menjadi penentu internal manusia. Sama dengan Karl Marx dalam doktrin sosialismenya yang menganggap kondisi perekonomian yang menjadi penentu eksternal manusia. Ajaran kekafiran Freud dan Marx menjadikan manusia itu budak sepenuhnya, budak internal oleh Id dan budak eksternal oleh kondisi perekonomian.

Dalam berpuasa qalb(un) dilatih untuk mampu mengendalikan naluri, bukan melumpuhkannya, karena manusia itu perlu untuk mempertahankan dirinya. Bagi ummat Islam yang terpesona oleh doktrin Freud dan Marx, akan terjadi kerancuan berpikirnya. Itulah hikmahnya mengapa puasa hanya ditujukan kepada orang-orang beriman yang membersihkan alam pemikirannya dari teori-teori kekafiran Idnya Freud dan sosialismenya Marx. Firman Allah SWT YAYHA ALDZYN AMNWA KTB 'ALYKM ALSHYAM KMA KTB 'ALY ALDZYN MN QBLKM L'ALKM TTQWN (S. ALBQRT, 183), dibaca: ya- ayyuhal ladzi-na a-manu- kutiba 'alaykumsh shiya-mu kama- kutiba 'alal ladzi-na ming qablikum la'allaku tattaqu-n (s. albaqarah), artinya: hai orang-orang beriman, telah diwajibkan atasmu berpuasa, seperti telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu taqwa (2:183). Ayat ini dapat dijelaskan dengan diagram seperti di bawah:


Taqwa akarnya dari Waw, Qaf, Ya, WQY (dibaca: Waqa-), artinya waspada, memelihara diri, menghindarkan diri, menjaga diri. Taqwa kepada Allah, yaitu waspada supaya terhindar diri dari lalai melaksanakan perintah Allah dan terpelihara dari mengerjakan larangan Allah. Maka hakikat taqwa adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Thalq bin Hubaib, "Taqwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah karena mengharapkan pahala dari-Nya. Dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut akan siksa-Nya.

Tidak seorang juapun yang mengetahui bahwa kita berpuasa, kecuali Allah dan diri kita sendiri. Artinya tanpa iman, orang berpuasa itu bisa berpura-pura meloyo dan ikut berbuka puasa. Itulah makna bulan Rajab, mengintrosepeksi kualitas keimanan kita. Alhasil dengan bermodalkan iman, melalui proses berpuasa, qalb(un) dilatih untuk memapu mengendalikan naluri, ouputnya adalah taqwa, yaitu waspada supaya terhindar dari lalai melaksanakan perintah Allah dan terpelihara dari mengerjakan larangan Allah.

***

Adapun sikap waspada internal yang senantiasa kita hadapi yang ada dalam diri kita adalah naluri mempertahankan diri dan naluri meningkatkan kwalitas kehidupan material yang salah kiprah. Jika tidak salah kiprah, tidak liar, kedua naluri mempertahankan dan meningkatkan itu sebenarnya perlu bagi manusia. Naluri mempertahankan diri itu mendorong manusia untuk mencari makan dan minum serta dorongan sexual untuk mempertahankan jenisnya. Ini harus dikendalikan oleh kekuatan ruhaniyah agar kita tidak menjadi rakus, tidak menjadi sex maniak, tidak menjadi pemangsa, yang walaupun sudah kenyang masih mau menerkam. Adapun naluri yang kedua, naluri meningkatkan kwalitas kehidupan material, itulah yang mendorong manusia untuk pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebagai bagian dari kebudayaan. Naluri inilah yang mendorong iradah manusia untuk memacu tiga sekawan: modal - industri - teknologi, ibarat roda yang berputar makin lama makin cepat.

Sikap waspada eksternal, pada pokoknya ditujukan pada dua harga dasar yang dipakai untuk membayar hasrat meningkatkan kwalitas kehidupan material itu, yakni pengurasan sumberdaya alam dan pencemaran global. Alhasil, upaya untuk menyelamatkan kebudayaan ummat manusia dari pengurasan sumberdaya alam dan pencemran global, strateginya haruslah ditujukan pada hasrat naluri manusia yang ingin meningkatkan kwalitas kehidupan material yang tak ada puas-puasnya itu. Upaya penyelamatan itu terletak dalam hal kemampuan manusia untuk mengendalikan dorongan naluri meningkatkan kehidupan material itu. Kemampuan itu hanya dapat diperoleh dengan jalan latihan berpuasa itu dari skala individual ke skala global. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 26 Oktober 2003