11 Juli 2004

633. Sistem Buble Economy Kapitalisme yang Rapuh

Firman Allah SWT: "KY LA YKWN DWLt BYN ALAGHNYAa MNKM (S. ALhSYR, 59:7), dibaca: Kay la- yaku-na du-latan baynal aghniya-i mingkum , artinya: Agar supaya kedaulatan (ekonomi) itu tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu," di dalam Seri 632 ybl. dibahas dalam konteks ekonomi mikro.

Kalau pada pembahasan dalam skala mikro, Seri 632 ybl menunjukkan terpuruknya keadaan perekonomian yang menentang ayat [59:7], dan bagaimana usaha kecil dan menengah mampu bertahan di tengah badai keterpurukan itu, maka dalam Seri 633 ini diperlihatkan dalam konteks ekonomi makro, yaitu bagaimana rapuhnya perekonomian sistem kapitalisme, karena bertentangan dengan Firman Allah ayat [59:7] tersebut.

***

Wall Street, pusat keuangan Amerika, dibuat tercengang setelah dikejutkan
dengan berita bangkrutnya perusahaan raksasa bisnis energi Amerika, Enron,
yang kemudian disusul dengan kasus penipuan miliaran dolar yang melibatkan
raksasa telekomunikasi Amerika, WorldCom. Di dalam negeri sendiri, di Indonesia ini, karena situasi ekonomi yang sedang tiarap, peristiwa yang menggemparkan dunia keuangan Amerika tersebut luput dari perhatian sebagian besar publik di negeri ini, walaupun media massa internasional memberitakannya secara besar-besaran. [Majalah Al-wai'e No 25 Tahun III, 1 - 30 September 2002].

Perekonomian kapitalisme terdiri atas dua sektor:

  • sektor real, yang didalamnya terdapat aspek produksi serta pemasaran barang dan jasa secara real,
  • sektor non-real, yang di dalamnya terdapat aspek penerbitan dan jual beli surat-surat berharga yang beraneka ragam, seperti saham, obligasi, commercial paper, promissory notes, dsb.
Pertumbuhan keuangan kapitalisme, yang bertumpu pada transaksi spekulatif di sektor non-real, dapat meningkatkan pertumbuhan sektor non-real dengan sangat pesat. Akan tetapi, ia akan menghadapi bahaya pertumbuhan itu sendiri, yakni bahaya "bubble economy" (gelembung ekonomi). Ini ditandai dengan meningkatnya harga saham-saham dengan pesat hingga akhirnya harga saham terliwat mahal serta memelebihi kapasitas dan kemampuannya berproduksi. Pada saat yang sama, para analis saham pun terus memberikan rekomendasi beli sehingga saham diburu dan harga terus menggelembung. Pada satu saat, pengelembungan itu akan mencapai titik jenuh. Ibarat balon yang terus ditiup sampai besar, ia akhirnya sesuai TaqdiruLlah, akan meletus.

Uang kini sudah tidak lagi hanya merupakan alat tukar, tetapi telah menjadi barang haram, karena sudah berupa barang dagangan yang diperjualbelikan, yang celakanya menjadi komoditi yang dispekulasi. Piranti komputer dengan teknologi komunikasi satelit membuat transaksi uang berapa pun besarnya menjadi sangat cepat dan murah. Lagi pula, tansaksi tidak hanya dilakukan pada saat sekarang, namun bisa juga untuk masa datang. Dalam situasi seperti ini, tidak aneh jika perdagangan uang di dealing-room (ruang transaksi) atau dengan remote dealing saat ini seeprti video game. Para spekulan hanya mengawasi dari layar monitor dan dengan sekali tekan tombol, jutaan dolar telah berpndah pemilik. Dengan cara seperti inilah, kurang lebihnya, George Soros menghajar mata uang di Inggris pada tahun 1992. Saat itu, untuk mempertahankan pundsterling, Bank of England harus mengeluarkan 15 miliar dolar AS.

George Soros dan para spekulan lainnya tidak mau pusing betapa jahannam dan berbahanya permainan mereka. Mengapa? Karena permainan yang mereka jalankan itu mempunyai dampak yang amat mematikan bagi kehidupan ratusan juta manusia. Seperti kita alami sendiri, akibat krisis finansial yang sampai saat ini masih terus berlangsung, terjadilah kebangkrutan sejumlah perusahaan yang yang diiringi dengan pemutusan hubungan kerja jutaan orang.

Dalam kurun waktu 20 tahun yang lalu bank-bank sentral dunia (AS, jepang, Jerman, Swiss dan Inggris) bersama-sama menguasai cadangan devisa dengan perbandingan 3:1 terhadap uang panas dari para spekulan di pasar modal. Pada tahun 1992, perimbangan tersebut telah bergeser. Kelima bank sentral tersebut hanya memiliki cadangan dengan perbandingan potensi kekuatan 1:2 terhadap para spekulan di pasar uang.

Di samping perbandingan potensi kekuatan tersebut, pada pihak lain data menunjukkan bahwa realitas perdagangan uang pada sektor non-real dunia telah berlipat sekitar 80 kali dibandingkan dengan sektor real. Itu berarti telah terjadi sacara global bubble economy, karena kegiatan ekonomi dunia didominasi oleh kegiatan sektor non-real yang spekulatif. Alhasil, apa yang terjadi di pasar uang internasional, para spekulan jahannam, pemain pasar uang menjadi lebih merajalela menguasai pasar uang. Mereka mudah mengguncangkan mata uang negara-negara dan meng-KO bank-bank sentral sehingga tidak berdaya. Fenomena semacam itu menunjukkan betapa rapuhnya sistem keuangan kapitalisme. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 11 Juli 2004