Dalam Seri 654 ybl telah ditulis bahwa kebudayaan menyembah berhala modern itu ibarat gurita yang menjulurkan tangan-tangannya membentuk jaringan ke seluruh permukaan globa kita ini yang berwujud globalisasi.
Cobalah disimak sikap berpikir penyembah berhala modern ini. Berikut contohnya: "Berpegang pada teks atau tidak hanya merupakan soal pilihan. Artinya, dengan atau tanpa teks, manusia dengan potensi dasarnya berupa rasionalitas dan kebebasan bisa mengatasi diri serta dunianya jika mampu mengembangkan akalnya seluas-luasnya. Tanpa mempercayai kemampuan manusia, sangat sulit mengharapkan perubahan-perubahan ke arah yang lebih beradab. Dengan mengembalikan fungsi rasio serta kebebasan akal, manusia akan kembali menjadi makhluk dengan kemampuan tak terduga." Demikian pernyataan Masdar Farid Mas'udi pengagas reka-yasa "fiqh baru" yang telah menulis "Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji".
Beberapa waktu lalu, juluran tangan gurita itu berwujud sebuah workshop bertemakan 'Kritik Wacana Agama' digelar di Jakarta. Penyelenggaranya, yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara utama. Acara tersebut dilaporkan oleh media masa seperti Suara Merdeka, Media Indonesia, dll. Nasr Hamid Abu Zayd ini, yang berupa pion yang melekat pada ujung jari gurita, adalah salah seorang gembong pemuja berhala modern, yang antara lain berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.
Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amrik sungguh-sungguh membawa hasil, dan ia menyatakan sangat berhutang budi atas kesempatan yang diberikan kepadanya itu. Di sanalah ia terbelalak matanya bertemu ilmu yang belum pernah terlintas dalam benaknya selama ini, yaitu hermeneutika. Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang bermanfaat dalam berolah otak. "My academic experience in the United States turned out to be quite fruitful. I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world for me. I owe much of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the United States"
Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari sasaran tembak di sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah Bibel, maka tentu itu dapat pula digunakan untuk mengkritisi Al Quran. Bukankah keduanya itu sama, sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd yang memakai asas paralelisme. Itulah dia Abu Zayd yang memposisikan akalnya mengatasi wahyu, penyembah berhala modern. Maka hasil benak Abu Zayd tidak lain dari gagasan-gagasan 'nyleneh' yang diisapnya dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual barat, yang menyembah berhala modern dan suka mengolok-olok dan mengutak-atik Islam.
Kegenitan mengkritisi Al Quran dan asas paralelisme ini berimbas pula kepada beberapa orang yang saya jumpai di cyber space, antara lain (cukup dua orang saja). Muh. Syafei dalam gaya bahasa gaul nyleneh: Apa iya kritik matan Hadits bisa dibawa ke tingkat yg lebih tinggi (Quran)? Mestinya sih bisa ya .. cuman, resistensinya itu lho .. mana tahan. Ari Condro yang berlagak seperti juru damai mengoceh: Kalau para penafsir Injil sudah berdamai dengan metode hermeneutika, maka para penafsir Al Quran logikanya secara legowo berdamai pula dengan metode hermeneutika ini.
Itu dua orang dari cyber space. Berikut ini saya kemukakan yang bukan dari cyber space, tetapi pernah bertemu dengan saya face to face dalam forum mujadalah (diskusi) bulanan yang diselenggarakan oleh DPP Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM) di Islamic Centre pada 5 Sya'ban 1423 H / 12 Oktober 2002, namun bukan mengenai hermeneutika, tetapi tentang Islam Liberal. Yaitu Drs. Taufik Adnan Amal MA (TAA), seorang tokoh dari Jaringan Islam Liberal, dosen Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar.
Dalam karya otaknya dengan pisau analisis hermeneutika yang berjudul "Al Quran Antara Fakta dan Fiksi" TAA antara lain menulis: "Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Rincian perjalanan historis kitab suci ini, terutama pada tahapan awalnya, telah ditempa serta dijalin dengan sejumlah fiksi dan mitos yang belakangan diterima secara luas sebagai fakta sejarah. Selanjutnya, kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding kiraat dalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi (juga seorang tokoh JIL -HMNA-): Bacaan 'ibil' (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan 'al-sama'' (langit), 'al-jibal' (gunung-2), dan 'al-ardl' (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel 'lam', yakni 'ibill' (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Selanjutnya pula: Bagi rata-rata sarjana Muslim, 'keistimewaan' rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos ketimbang prasangka dogmatis. Manuskrip-manuskrip mushaf utsmani yang awal cenderung menyangkali karakter ilahiyah semacam itu. Dalam manuskrip-manuskrip ini, tidak terlihat adanya kesepakatan dan keseragaman dalam penyalinan teks al-Quran. [sumber: www.Islamlib.com].
Maka Jaringan Tangan-Tangan Gurita itu wajib hukumnya untuk dijawab, karena ini termasuk jihad intelektual. Sudilah kiranya para pembaca sabar menanti, insya-Allah akan dijawab dalam Seri 656 yad. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 19 Desember 2004