30 Januari 2005

661. Tuhan, Marahkah Kau Padaku?

Beberapa hari yang lalu dalam acara "Indonesia Menangis" di Metro TV kita dapat saksikan Sherina Munaf menyanyikan lagu:

Tuhan marahkah kau padaku?
Sungguh deras curah murkaMu
Kau hempaskan jarimu di ujung Banda
Tercenganglah seluruh dunia
Tuhan mungkin Kau kuabaikan
Tak kudengarkan peringatan
Kusakiti engkau sampai perut bumi
Maafkan kami oh rabbi
Engkau yang perkasa jangan marah lagi
Biarkanlah kami songsong matahari
Engkau yang pengasih ampunilah dosa
Memang semua ini kesalahan kami
Oh Tuhan ampuni kami
Oh Tuhan tolonglah kami
Tuhan ampuni kami
Tuhan tolonglah kami


Karena menuai protes, maka baris kedua diganti dengan: "Inikah akhir duniaku", kata seru "oh" dalam baris ke-8 diganti dengan "ya" dan baris ke-9 diganti dengan "Engkau yang perkasa pemilik semesta". Walaupun sudah dimansukh (diamandemen), namun baris ke-12 "Memang semua ini kesalahan kami" masih problematis. Siapakah itu yang dimaksud oleh pencipta lagu (kalau tak salah Chosy Pratama?) dengan "kami"? Siapa lagi, tentu orang Aceh bukan? Kalau bendungan Biliq-Biliq diserang "tsunami" lumpur dari longsoran G. Bawa KaraEng, sehingga PDAM bagian selatan kota "mati kutu", maka itu benar memang semua itu kesalahan kami. "Kami" di sini maksudnya perambah hutan tradisional penduduk setempat yang pakai kapak dan terutama sekali perambah hutan modern yang punya lisensi yang pakai mesin gergaji.

Suatu kesalahan besar Chosy Pratama, karena orang Aceh sama sekali tidak terlibat dalam hal terjadinya gempa yang membuahkan tsunami pada 26 Desember 2004. Ataukah Chosy Pratama dengan adanya kata "dosa" dalam baris ke-11, mempunyai persepsi karena dosa orang Acehlah maka Allah murka sehingga menggetarkan lempeng di dasar laut 150 kilometer sebelah Barat Daya Aceh itu. Patut diduga demikianlah persepsi Chosy Pratama, jika dikaitkan dengan baris kedua "Sungguh deras curah murkaMu", yang telah dimansukh menjadi "Inikah akhir duniaku". Jadi walaupun baris-baris itu telah dimansukh, namun dengan tidak dimansukhnya baris ke-11 dan 12, maka tidaklah terhapus persepsi Chosy Pratama yang absurd itu: karena dosa orang Acehlah maka Allah murka.

***

Dalam Seri 657 termaktub: Tak ayal lagi gempa tektonik 150 kilometer sebelah Barat Daya Aceh yang menyebabkan timbulnya tsunami yang menyapu Aceh sebagai front terdepan adalah isyarat Allah SWT yang perlu kita tepekur merenungkan makna isyarat itu.

Khalifah 'Umar ibn Khattab RA turun langsung mengadakan penelitian sampai di mana keimanan rakyatnya. Dipilihnya sampel seorang gembala di bukit yang sedang menggembalakan ternak. "Ya, walad, saya ingin membeli seekor biri-birimu", kata Khalifah. "Ya, syaikh, biri-biri itu kepunyaan majikan saya. Pergilah tuan ke balik bukit itu menjumpainya," jawab gembala itu. "Wah saya terburu-buru, tidak punya waktu untuk ke sana. Juallah seekor, dan engkau katakan pada majikanmu, biri-biri itu diterkam serigala", Khalifah melanjutkan tawarannya. Maka dengan mata terbelalak, gembala yang tidak mengenal Khalifah 'Umar membentak: "Fa aynaLlah!"

Seorang perempuan mendapatkan sekaleng minuman dibawah timbunan rongsokan, mendatangi seorang Ustadz, bertanyakan apakah halal ia meminum isi kaleng itu. Bayangkan dalam keadaan berhari-hari tidak makan dan tidak minum, seorang penduduk biasa dari "grass root" di Aceh masih teguh istiqamah (konsisten) tentang halal/haram, seperti grass root gembala pada zaman Khalifah 'Umar. Perempuan itu mencerminkan keimanan rakyat kebanyakan di Aceh.

Rakyat Aceh telah puluhan tahun menderita akibat pertikain bersenjata. Isyarat Allah berupa tsunami yang dahsyat itu adalah untuk mengakhiri penderitaan penduduk Aceh yang akhlaqnya dicerminkan oleh perempuan yang diceritakan di atas itu. Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang menyelamatkan hambaNya di Aceh, yaitu mati syahid. Mati tenggelam dalam keadaan tidak sedang berbuat maksiyat adalah mati syahid. Maka pesepsi kita harus diubah, yaitu yang selamat dalam tsunami itu adalah mereka yang meninggal dunia. Inilah isyarat Allah yang terpenting yang dapat dipetik dari tsunami itu, yakni Allah menunjukkan sifat Rahman dan RahimNya kepada hambaNya.

Masih ada makna yang lain dari isyarat Allah. Di daerah Krueng Raya yang berada di pantai barat berdiri meunasah (mushalla), An Nur, di mana Taufiq bin Ahmad setiap malam sampai subuh mendirikan Shalat al Layl dengan sujud-sujud panjangnya. Mengajar anak-anak kecil mengaji dari perkampungan pantai dan juga berdakwah. Meunasah sederhana yang terbangun dari papan itu beserta Taufiq bin Ahmad anak-beranak dibawa arus sampai beratus-ratus meter jauhnya. Dari dalam meunasah mereka itu merasakan hantaman ombak tsunami, pusaran air yang menggulung-gulung. Namun meunasah itu tetap tegar berdiri seratus meter jauhnya dari tempat berdirinya semula.

Masih di Kreung Raya, sebuah dayeuh (pesantren) yang berdiri di tepi pantai, Darul Hijrah namanya, masih tetap seperti semula. Dayeuh dengan enam bangunan yang terbuat dari rumah panggung papan itu bahkan tak bergeser sedikit pun. Para santrinya tak kurang suatu apa. Menurut keterangan para santri gelombang tsunami memang menerpa. Namun, tepat di sekitar dayeuh, arus gelombang seakan melemah. Bahkan gelombang seolah terbelah dan membiarkan dayeuh terhindar dari terjangan tsunami. Padahal, tak jauh dari sana, tangki-tangki Pertamina yang berukuran besar, dari besi dengan bobot berton-ton telah porak-poranda.

Meunasah dan dayeuh itu adalah isyarat Allah tentang adanya malaikat yang diutus Allah untuk melindungi meunasah An Nur dan dayeuh Darul Hijrah dari terpaan tsunami. Isyarat Allah itu untuk lebih mempertebal keimanan kita tentang adanya makhluq malaikat, seperti FirmanNya:
-- AMN BALLH WMLaKTH WKTBH WRSLH (S. ALBQRt, 2:285), dibaca: a-mana biLla-hi wamala-ikatihi- wakutubihi- warusulihi- (s. albaqarah), artinya: beriman kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya dan Rasul-RasuNya. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 30 Januari 2005