27 Februari 2005

665. GAM Mundur Selangkah

Eloklah dahulu dikutip beberapa kalimat dari Seri 657 bertanggal 2 Januari 2005 yang lalu:
Tak ayal lagi gempa tektonik 150 kilometer sebelah Barat Daya Aceh yang menyebabkan timbulnya tsunami yang menyapu Aceh sebagai front terdepan adalah isyarat Allah SWT yang perlu kita tepekur merenungkan makna isyarat itu.

Air mata dan duka menyatukan dan melapangkan dada kedua pihak yang bertikai yaitu Jakarta vs GAM. Aceh perlu dibangun dari reruntuhan. Sejarah pertikaian politik dan senjata perlu dilupakan. Blok-blok psikologis ditepis, semuanya memfokuskan perhatian pada kerja berat, dan dana yang tidak sedikit sekitar Rp.10 triliun, serta makan waktu yang panjang untuk membangun Aceh kembali. Ya, semuanya, bukan orang Aceh saja tetapi seluruh rakyat Indonesia, rakyat sipil, birokrat, Polri, ABRI dan GAM. Darurat sipil dicabut disertai amnesti umum dan GAM mundur selangkah, menerima kenyataan Otonomi Khusus "Syari'at Islam" di Nanggroe Aceh Darussalam dalam pangkuan Republik Indonesia. Semoga isyarat Allah berupa tsunami itu dapat dihayati dengan baik, sehingga terciptalah damai di Aceh.

***

Perundingan RI-GAM memasuki babak baru. Delegasi GAM mulai melunak dengan melepaskan tuntutan merdeka yang dikampanyekan sejak gerakan itu berdiri hampir 30 tahun lalu (kalau tidak salah pada 30 Oktober 1976 GAM dimaklumkan dari Pasi Lokh, Aceh). Dalam perundingan itu GAM menggantikan tuntutan merdeka itu dengan usulan pemerintahan sendiri untuk dioperasionalkan di seluruh kawasan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ada empat butir konsep pemerintahan tersebut:

  • Pertama, penghentian semua bentuk kekerasan di Aceh.
  • Kedua, penarikan seluruh pasukan non-organik TNI dari Aceh digantikan oleh pasukan keamanan organik dan kepolisian seperlunya yang dibutuhkan di Aceh.
  • Ketiga, GAM diperbolehkan membentuk partai politik (lokal) untuk dapat ikut dalam pemilihan tingkat provinsi.
  • Keempat, semua perundingan antara Indonesia dengan GAM pada akhirnya harus diratifikasi (disetujui) oleh rakyat Aceh melalui referendum.
Di samping keempat butir mengenai konsep pemerintahan sendiri itu, mereka meminta pembagian sumberdaya alam di NAD ditentukan oleh rakyat Aceh sendiri. Mereka menolak sistem auditing yang selama ini dilakukan pemerintah pusat.

Adapun antara ungkapan pemerintahan sendiri dengan otonomi khusus itu sebenarnya secara substantif tidak ada bedanya, itu hanyalah redaksional yang bersifat semantik belaka. Yang penting pergantian tuntutan merdeka itu dengan usulan pemerintahan sendiri adalah suatu kemajuan, yaitu GAM sudah mundur selangkah. Adapun perihal pembagian sumberdaya alam di NAD ditentukan oleh rakyat Aceh sendiri itu hanya masalah teknis saja.

Mengenai keempat butir tersebut, maka butir pertama dan ketiga tidak akan menternakkan masalah. Pembangunan Aceh dalam suasana aman dapat dilaksanakan dengan tenang. Dalam keadaan aman yang demikiah itu GAM yang sudah bermetamorfose menjadi partai politik seperti dalam usulan butir ketiga, dapatlah ikut serta memajukan calon-calonnya dalam pemilihan gubernur dan bupati-bupati. Dan dalam keadaan aman yang demikian itu, maka buat apa lagi ada pasukan untuk keperluan operasi keamanan membantu polisi. Dan mengenai butir empat itu dengan sendirinya tersubstitusi oleh pemilihan kepala daerah tingkat satu dan dua itu. Kalau calon-calon yang dikemukakan partai politik baru yang lokal yang metamorfose dari GAM itu yang terpilih, itu berarti rakyat Aceh secara faktual bersimpati kepada GAM selama ini. Dan kalau sebaliknya jika calon-calon yang dikemukakan partai baru yang lokal itu tidak terpilih, maka itu artinya rakyat Aceh selama ini tidaklah bersimpati kepada GAM.

Firman Allah:
-- WSYAWRHM FY ALAMR FAaDZA 'AZMT FTWKL 'ALY ALLH (S. AL 'AMRAN, 3:159), dibaca: wasya-wirhum fil amri faidza- 'azamta fatawakkal 'alaLlahi (s. ali'imra-n), artinya: dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan (politik pemerintahan), dan apabila engkau telah mengambil keputusan, maka tawakkallah kepada Allah. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 27 Februari 2005