29 Mei 2005

678. Matematika Terapan Dapat Bermuatan Nilai

Hari Senin 23 Mei 2005 menjelang maghrib Prof.Dr.H.Ahmad Sewang, MA, menelpon saya dan berbincang-bincang ttg apakah matematika dapat bermuatan nilai. Lalu pada pokoknya saya kemukakan bahwa matematika terapan dapat bermuatan nilai. Matematika terapan adalah matematika yang diterapkan dalam ilmu fisika. Saya menunjuk contoh gravitasi di mana Newton mempergunakan kalkulus dan Eistein (diucapkan: ainsytain) mempergunakan tensor. Lalu saya pikir lebih baik saya tuangkan bincang-bincang tersebut dalam kolom ini.

Tatkala Newton sementara tarwiyah (relax) di bawah pohon apple ia ditimpa buah apple. Maka Newton mendapat ilham(*) bahwa apple itu jatuh karena ditarik oleh bumi. Tergagaslah waktu itu dalam benak Newton tentang teori gravitasi, kekuatan tarik menarik di antara benda-benda. Namun dipendamnya selama sekitar 20 tahun. Mengapa? Kekuatan tarik menarik benda itu sifatnya kualitatif, padahal ilmu fisika menyangkut besaran kualitatif dan kuantitatif(**). Teori gravitasi membutuhkan matematika untuk dapat dijelaskan secara kuantitatif. Setelah sekitar 20 tahun, barulah Newton berhasil membuat sejenis matematika baru yang disebutnya "kalkulus", sehingga gravitasi itu dapat dijelaskan secara kuantitatif. Kalkulus itu merupakan matematika terapan yang bermuatan nilai, yaitu keteraturan alam semesta dan ini dapat dilanjutkan ke muatan nilai Islami ke salah satu dari 100 Asmau lHusna, yaitu al-Rabb, Maha Pengatur, seperti firman Allah:
-- ALhMD LLH RB AL'ALMYN (S. ALFATht, 1:2), dibaca: alhamdu lilla-hi rabbil 'a-lami-n, artinya, segala puji bagi Allah Pengatur berbilang alam.

Einstein melanjutkan fenomena gravitasi itu ke dalam konsep yang disebutnya geodesic line dengan mempergunakan matematika terapan yang disebut kalkuklus tensor. Apa itu tensor? Besaran skalar adalah tensor tataran 0, besaran vektor adalah tensor tataran 1, sedangkan tensor tataran > 1 disebut tensor saja. Kalikulasi tensor Einstein mempunyai 20 koefisien gravitasi. Berdasar atas postulat keteraturan alam syahadah Einstein memilih 10 yang besarnya 0 dan 10 lagi besarnya sembarangan (arbitrary). Kalkulus tensor tsb bermuatan nilai keteraturan alam semesta oleh RB AL'ALMYN (1:2) .

***

Urain selanjutnya menunjukkan muatan nilai matematika terapan, bahwa alam syahadah ada pemulaannya, sehingga dapat bermuatan nilai salah satu pula dari 100 Asmau lHusna, yaitu al-Khaliq, Maha Pencipta.

Adalah "pamali" (tabu) dalam teori ilmu fisika, yaitu "tak terhingga", yang jika muncul dalam suatu teori yang dikemukakan, maka teori itu dianggap sangat lemah ataupun teori yang salah. Tak terhingga itu harus dilenyapkan lebih dahulu oleh suatu prosedur dalam ilmu fisika yang dinamakan "normalisasi". Dengan kata lain harus berada dalam realitas fisikawi yang bisa diuji kebenarannya melalui metode empiris.

Martin Veltman dan Gererd't Hoofdt dari Universitas Utrecht, menyusun "technique" matematika untuk proses menormalisasi secara umum teori medan kuantum. Keduanya menerima Hadiah Nobel thn.1999. Technique inilah yang telah membuka jalan kepada Abdus Salam dan Stephen Weinberg (keduanya penerima Hadiah Nobel Fisika 1979, mendhului kedua orang pionir Martin Veltman dan Gererd't Hoofdt tersebut tadi) dalam mempersatukan interaksi elektro magnetik dengan nuklir lemah yang dikenal sebagai teori standar / baku "electroweak". Disertasi Abdus Salampun di Universitas Cambridge juga mengenai proses penghilangan faktor ke-takterhingga-an dari teori meson. Jadi ilmu Fisika tidak berhasrat ttg perkara tak terhingga.

Alam syahadah dimulai dari singularitas matematika dengan densitas yang sangat tinggi. Hal ini muncul keluar dari solusi tipe I dan tipe II dari persamaan medan (field equation) Einstein:

Gμν = -KTμν, dimana

μ dan νadalah index
G kontante gravitasi
K = 8πG/c4
c = laju cahaya
Gμν tensor Einstein yang tergantung fungsi gμν dan turunannya (derivatif) pertama dan kedua,
gμν adalah tensor metrik
Tμν adalah tensor energi-momentum dan tergantung pada pendistribusian dari energi dan zat di dalam ruang.

Persamaan medan Einstein ini artinya bahwa kelengkungan (curvature) ruang-waktu disebabkan oleh pendistribusian dari massa-energi dalam ruamg. Radius dari alam semesta R[t] hanya fungsi dari waktu t disebut juga "faktor skala". Semuanya dimulai dari titik di mana faktor skala R adalah nol pada waktu t = 0

***

Timbul pertanyaan apa yang terjadi jika alam syahadah sama sekali tidak homogen dan tidak isentropik, yang berarti alam syahadah tidak bermula dari singularitas, tidak bermula dari tidak ada? Banyak yang dilakukan riset tentang pertanyaan ini. Kemajuan yang paling penting adalah yang dicapai oleh Stephen Hawking dan Roger Penrose, yang memperlihatkan bahwa setiap model alam syahadah yang mempunyai karakteristik terobservasi homogen dan isentropik haruslah dimulai dari singularitas (Dalil Hawkin-Penrose). Dalil Hawking-Penrose ini menunjukkan bahwa Teori Relativitas Umum mengantarkan ke suatu awal singularitas bagi alam syahadah, yang berarti alam syahadah ini ada permulaannya.

Secara sederhana dapat pula diperlihatkan bahwa alam syahadah pada waktu t = 0, maka Ro = 0 (yaitu permulan penciptaan), ruang dan waktu sama sekali lenyap. Maka dalam konteks ini sangat penting Firman Allah:
-- WAL'ASHR (S. AL'ASHR, 103:1), dibaca: wal'ashri, artinya perhatikanlah waktu.(***) Bahwa Allah mencipta alam syahadah ini bukanlah menurut waktu melainkan Allah mencipta alam syahadah "dengan" waktu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

==================
(*) Kepada para Nabi, Allah menurunkan wahyu, sedangkan kepada manusia biasa, Muslim atau non-Muslim, Allah menurunkan ilham, itulah sifat al-Rahman, Maha Pemurah, tak membedakan hambaNya, Muslim atau non-Muslim.
(**) Teori Evolusi Darwin tidak bisa digolongkan dalam ilmu fisika, karena teori tersebut hanya kualitatif, tidak kuantitatif.
(***) Wa dalam permulaan ayat (1) S. Al'Ashr tersebut menyatakan sebuah qasm, semacam "sumpah", namun tidak cocok untuk dibahasa-Indonesiakan dengan "demi". Sebab dalam bahasa Indonesia "demi" itu menyatakan penguatan yang ditumpukan kepada sesuatu yang lebih "tinggi", yaitu Allah. Jadi Wa l'Ashri tidak cocok di-Indonesiakan dengan "demi waktu", melainkan "perhatikanlah waktu", karena yang berqasm di sini adalah Allah SWT.

*** Makassar, 29 Mei 2005