12 Juni 2005

680. Perang Pemikiran vs War on Terror

Di negeri-negeri Muslim, meskipun negara-negaranya bahkan lebih banyak tergantung pada Amerika Serikat (AS), tetapi rakyatnya menunjukkan kebencian yang semakin meningkat kepada AS, menyebabkan timbulnya pertanyaan Presiden AS, George W. Bush, "why do they hate us so much?" (mengapa mereka sangat membenci kita?). Realitas meningkatnya kebencian itu, disebabkan oleh sikap AS sendiri yang hipokrit. Ketika sebuah negara tidak kooperatif, AS membeberkan dan mempermasalahkan pelanggaran-pelanggaran di negara tersebut, misalnya, pelanggaran hak asasi manusia, tetapi pada waktu yang sama, jika suatu negara kooperatif, AS tidak peduli dengan pelanggaran-pelanggaran yang sama di negara yang kooperatif tersebut. Sebagai contoh, karena dianggap kurang kooperatif, AS membeberkan dan mempermasalahkan pelanggaran yang terjadi di Sudan, tetapi karena dianggap kooperatif, AS tidak peduli atas pelanggaran yang sama yang terjadi di Israel, dan Uzbekistan, bahkan untuk Uzbekistan, AS memberikan dana sebesar $200 juta untuk tahun 2002 saja. Dalam rangka "war on terror", rejim Karimov membantai kelompok "Islamist" di Andijan, Uzbekistan, yang berlangsung pada 13 s/d 14 Mei 2005, yang menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, jumlah orang yang terbunuh dalam pembantaian itu diperkirakan mencapai 7.000 orang.

Reaksi AS terhadap sikap kebencian ini adalah deklarasi "war on terror" (perang melawan teror) dengan kegiatan utamanya peningkatan kerjasama keamanan antar negara, serta penyerangan ke Afganistan dan Iraq guna memburu dan menghilangkan kemampuan para pelaku penyerangan yang dicap terroris oleh AS. Di lain pihak, para Islamist tidaklah melawan balik dengan kontra-teror letusan bom, melainkan mencanangkan "Perang Pemikiran" dengan terus menyebarkan dalam masyarakat Muslim pemahaman Islam ideologis, yaitu pemahaman Islam sebagai ideologi yang menjadi paradigma dalam membuat peraturan perundang-undangan.

AS telah membuat strategi yang dinamai "Muslim World Outreach" (MWO), yaitu dengan mengelompokkan Muslim ke dalam dua kelompok, yaitu moderat (kultural) dan ideologis (Islamist). MWO memperkuat kelompok kultural, yaitu mendorong dan membantu melakukan kampanye mendiskreditkan kelompok Islamist dengan diberi julukan "garis keras". Kelompok kultural didorong untuk memperbanyak hasil kajian yang menunjukkan kesesuaian Islam dengan sekularisme, demokrasi, dan ide-ide turunannya, seperti konsep "Teologi Negara Sekular", yaitu opini perlunya negara sekular dengan kosa kata dan simbol-simbol yang digali dari teks dan tradisi Islam, yang diusulkan Denny JA dalam kelompok diskusi (milis) Islam Liberal. USAID dan Asia Foundation telah menyalurkan dana untuk mensponsori beberapa program yang terkait dengan MWO. Ada enam negara, termasuk di antaranya Indonesia yang menjadi sasaran MWO. Dahulu di site Islam Liberal (www.islamlib.com) ada banner organisasi "The Asia Foundation" (banner itu sudah dihapus). Tim Pengarus-utamaan Gender yang semua anggotanya terdiri dari sosok-sosok Islam Liberal, yang berupaya dengan sia-sia membongkar Kompilasi Hukum Islam, didanai oleh The Asia Foundation.

Tentu saja pada pihak Islamist tidak berpangku tangan dalam menghadapi strategi MWO yersebut.
Persaudaraan di antara Muslim Islamist terus dikokohkan. Kunci keberhasilan strategi MWO sangat ditentukan oleh kemampuan AS memecah Muslim ke dalam kelompok kultural dan kelompok Islamist. Untuk mencegah pengelompokan ini, para Islamist meningkatkan interaksi di antara Muslim, khususnya di antara organisasi-organisasi Islam. Perang pemikiran diseret ke dalam tataran keimanan. Kelompok Islamist mencanangkan ajaran Islam secara kaffah, yaitu: "Tidak ada dikhotomi antara kultural dengan ideologis." Pemahaman bahwa penerapan aturan-aturan Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan konsekuensi langsung dari keimanan terhadap aqidah Islam, diserukan secara intensif dan sinambung. Demonstrasi dan kerusuhan yang dipicu oleh test case AS, yaitu pemberitaan Newsweek tentang pelecehan al-Qur'an baru-baru ini menunjukkan bahwa isu keimanan adalah isu yang sangat sensitif sehingga efektif dalam menyeret Perang Pemikiran yang difokuskan pada isu-isu dalam sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem pemerintahan (sosektah). Disosialisasikan bahwa Penegakan Syariat Islam yang menerapkan sistem sosektah insya-Allah merupakan solusi untuk mengatasi multi krisis yang merajam bangsa ini, utamanya korupsi. Terkhusus mengenai korupsi metode "Anna laka hadza" (dari mana kau peroleh ini), yang dikenal dengan "pembuktian terbalik", merupakan metode yang paling efektif dan tidak menguras tenaga aparat kejaksaan.

Lontaran isu yang meronrong Islam dari dalam, seperti isu membongkar Kompilasi Hukum Islam oleh Tim Pengarus-utamaan Gender, shalat dengan dua bahasa, isu perempuan menjadi imam sholat Jum'at dlsb, yang didukung oleh Islam Libral, dilawan dengan penekanan pada proses istinbath (penggalian) hukumnya, yaitu pembahasan usul fiqih, kemudian ditarik ke arah pembahasan bagaimana Penegakan Syari'at Islam menyelesaikan isu tersebut. Sarana penyebaran ide-ide dilakukan utamanya melalui jaringan kelompok diskusi. Berbeda dengan AS yang mengutamakan media massa, para Islamist dalam menyebarkan idenya mengutamakan pada diskusi majlis ta'lim dari rumah ke rumah, dari masjid ke masjid, dan dari kampus ke kampus, serta mendorong peserta diskusi untuk membuat diskusi yang sama. Kemudian, dalam diskusinya, para Islamist mengambil opini yang muncul di media massa sebagai contoh dalam diskusinya, dan kemudian menunjukkan kesalahan atau ketidak-Islamian opini tersebut. Dengan demikian cara berpikir Islami masyarakat meningkat, sehingga ketika mendiskusikan suatu isu, masyarakat terbiasa berargumentasi dalam batas-batas Syar'i.

Firman Allah SWT:
-- WMKRWA WMKR ALLH WALLH KHYE ALMAKRYN (S. AL'AMRAN, 3:54), dibaca: wamakaru- wamakara Lla-hu waLla-hu khairul ma-kiri-n, mereka membuat tipu-daya, dan Allah membalas tipu-daya mereka, dan Allah sebaik-baik pembalas tipudaya mereka. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 12 Juni 2005