30 April 2006

725. Partai Lokal di Aceh

Di Metro TV pada malam Rabu 25 April berlangsung talkshow memperbincangkan Partai Politik Lokal di Aceh. Pembicara dari PDIP mengemukakan sikap politik PDIP yang menyatakan tidak terikat dengan Memorandum of Understanding (MoU) dan menolak pembentukan Partai Politik Lokal.

Kalau ditelusuri yang menyangkut Aceh, PDIP selalu menjadi batu sandung dengan sikap politik yang negatif dari PDIP. Marilah kita telusuri:

PDIP menolak pemberlakuan Syari'at Islam dalam RUU Nanggroe Aceh Darusslam yang sedang dibahas dalam Pansus DPR. Demikian ditegaskan Sutjipto, Sekjen yang juga ketua fraksi PDIP di MPR, setelah menghadiri rapat tertutup PDIP yang dipimpin Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. RUU Nanggroe Aceh merupakan salah satu fokus utama pembahasan dalam rapat tertutup itu. [Seri 474, berjudul: Syari'at Islam di Aceh, PDIP Tidak Mendukung, bertanggal 13 Mei 2001]

***

Tak ayal lagi gempa tektonik 150 kilometer sebelah Barat Daya Aceh yang menyebabkan timbulnya tsunami yang menyapu Aceh sebagai front terdepan adalah isyarat Allah SWT yang perlu kita tepekur merenungkan makna isyarat itu. Air mata dan duka menyatukan dan melapangkan dada kedua pihak yang bertikai yaitu Jakarta vs GAM. Aceh perlu dibangun dari reruntuhan. Sejarah pertikaian politik dan senjata perlu dilupakan. Blok-blok psikologis ditepis, semuanya memfokuskan perhatian pada kerja berat, dan dana yang tidak sedikit sekitar Rp.10 triliun, serta makan waktu yang panjang untuk membangun Aceh kembali. Ya, semuanya, bukan orang Aceh saja tetapi seluruh rakyat Indonesia, rakyat sipil, birokrat, Polri, ABRI dan GAM. Darurat sipil dicabut disertai amnesti umum dan GAM mundur selangkah, menerima kenyataan Otonomi Khusus "Syari'at Islam" di Nanggroe Aceh Darussalam dalam pangkuan Republik Indonesia. Semoga isyarat Allah berupa tsunami itu dapat dihayati dengan baik, sehingga terciptalah damai di Aceh. [Seri 657, berjudul: Gempa Diikuti Tsunami, Isyarat Allah bertanggal 2 Januari 2005]

Isyarat Allah ini tidak mampu dihayati oleh para petinggi PDIP.

***

Perundingan RI-GAM memasuki babak baru. Delegasi GAM mulai melunak dengan melepaskan tuntutan merdeka yang dikampanyekan sejak gerakan itu berdiri hampir 30 tahun lalu (kalau tidak salah pada 30 Oktober 1976 GAM dimaklumkan dari Pasi Lokh, Aceh). Dalam perundingan itu GAM menggantikan tuntutan merdeka itu dengan usulan pemerintahan sendiri untuk dioperasionalkan di seluruh kawasan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). [Seri 665, berjudul: GAM Mundur Selangkah, bertanggal 27 Februari 2005]

***

Ketua Umum DPP PDIP Megawati menunjukkan sikap negatifnya terhadap Kesepakatan Helsinki yang tertuang dalam MoU tersebut. Hal itu terbongkar ketika Megawati di hadapan peserta kursus reguler Lemhanas angkatan 38 di Gedung Lemhanas, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis, 28 juli 2005 yang telah melambungkan salto penentangannya terhadap MoU tersebut.

Tampaknya ada kartu kuat yang dimiliki oleh pihak Eksekutif dibanding kartu yang dimiliki pihak Legislatif dari kelompok PDIP yang hanya memperoleh sekitar 109 kursi di DPR. Apabila harus terjadi sampai pemungutan suara untuk meratifikasi MoU yang ditandatangani 15 Agustus 2005, dan amandemen Undang Undang No.18/2001 atau Undang Undang No.31/2002, maka melihat secara teoritis pihak PDIP akan kalah dalam pemungutan suara. Dan hal ini niscaya telah diperhitungkan pihak Eksekutif, sehingga Jusuf Kalla pada hari Jumat 22 Juli 2005 berani menyatakan: Kalau yang menolak MoU Helsinki hanya satu partai artinya 80 persen suara sudah menerima. Jadi selesai. [Seri 689, berjudul: Memorandum of Understanding, bertanggal 14 Agustus 2005]

***

Dengan ditandatanganinya MoU, maka itu berarti baik pemerintah RI maupun GAM, telah mampu menerapkan win-win solution di tengah konflik kepentingan, termasuk konflik bersenjata, sosial, politik, atau lainnya. MoU adalah hadiah yang terpenting bagi Ulang Tahun ke-60 Negara Kesatuan Repiblik Indonesia. Namun dari kedua belah pihak ada yang tersendat, ibarat gangguan batu kerikil di dalam sepatu. Dari pihak ex-GAM batu kerikil itu berupa Komite Penyelamat Revolusi, sedangkan dari pihak kita batu kerikil itu brupa "ancaman" dari PDIP yang akan mengajukan Judicial Review MoU ke Mahkamah Konstitusi.

Apabila apa yang termaktub dalam MoU itu diapresiasi dengan hati nurani dalam suasana kebatinan merasakan penderitaan saudara-saudara kita di tanah Aceh yang dirajam penderitaan puluhan tahun, yang bagaimanapun juga kedamaian adalah keinginan dan cita-cita setiap manusia yang memiliki hati nurani dan iman, maka MoU itu tidaklah melabrak UUD. Akan tetapi jika itu dilihat dengan kaca-mata kesombongan nasionalisme sempit di atas segala-galanya, bahwa simbol wilayah berupa bendera itu merupakan negara dalam negara yang mencederai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibumbui pula dengan sikap politik beroposisi terhadap apa saja yang dibuat oleh SBY+JK maka niscaya terjadi distorsi pandangan yang miring, yaitu MoU itu melabrak UUD. [Seri 690, Berjudul: Hati Nurani vs Sikap Politik, bertanggal 21 Agustus 2005]

***

Nasionalisme sempit yang diberhalakan PDIP, yang menjadi landasan pertimbangan politik, sudah ketinggalan zaman. Mengapa? Karena ikatannya bersifat emosional, yang selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri. Ikatan yang bersifat emosional sangat mudah untuk berubah-ubah, sehingga tidak boleh dijadikan ikatan yang lestari (permanen) di antara satu individu dengan yang lain. Apa yang menjadi perekat yang dapat diandalkan bagi PEREKAT kebangsaan ialah keadilan. Firman Allah:
-- W AQYMWA ALWZN BALQSTH W LA TKHSRWA ALMYZAN (S. ALRHMN, 55:9), dibaca:
-- wa aqi-mul wazna bil qisthi wa la- tukhsarul mi-za-na, artinya:
-- Tegakkanlah timbangan dengan adil (yang terbit dari nurani kamu) dan janganlah kurangi timbangan (waktu membuat penilaian). WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 30 April 2006