17 September 2006

745. Karya-karya Borraq Daeng Ngirate dan Ho Eng Dji Dipelintir

Nomor 745 ini memperbicangkan muatan lokal. Hari Ahad, 10 September 2006 dalam siaran petang TVRI Makassar, acara Nyanyian Anak-Anak (ini saya yang beri judul, karena siaran yang masih sempat saya ikuti itu sudah berlangsung di tengah-tengah, jadi saya tidak tahu apa judul acaranya), kelong (syair Makassar) yang digubah oleh Borraq Daeng Ngirate dan Ho Eng Dji seenaknya saja bait-baitnya diperselingkan oleh yang memimpin acara Nyanyian Anak-anak itu, sehingga tidak menyambung, maknanyapun menjadi kabur. Bahkan ada kata-katanya yang salah, yaitu naluluang pangnguqrangi (terbetik dalam kenangan), mungkin karena tidak tahu benar bahasa Makassar dikiranya naluluang itu salah, lalu digantinya dengan naliliang pangnguqrangi (terluput dari kenangan). Maka maknanyapun terpelintir menjadi bertolak belakang, terkenang terpelintir menjadi TIDAK terkenang.

Ini saya kutip dari Seri 429:
Akan dibahas substansi salah satu kebudayaan daerah. Allah SWT berfirman:
-- WJ’ALNKM SY’UWBA WQBA^L LT’AARFWA (S. ALHJRAT, 49:13), dibaca:
-- waja’alna-kum sy’ubaw waqaba-ila lita’a-rafu-, artinya:
-- Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya arif antara satu dengan yang lain.

Apa yang akan dikemukakan selanjutnya ialah sastra kuno Makassar, yaitu baca-baca atau barrusuq dalam ilmu pekasih. Seperti juga pada bangsa-bangsa dan suku-suku lain, sastra kuno itu berupa mantera kedigjayaan, pekasih, penjinak binatang buas dll.

Barrusuq ilmu pekasih yang dibahas ini bernama Pasang-Pasang ri Anging (Berpesan pada Angin). Pada waktu tengah malam orang yang akan mengamalkannya pergi ke tempat yang ketinggian atau memanjat pohon yang tinggi untuk membaca barrusuq. Harus memperhatikan arah angin supaya kekuatan magis barrusuq itu dibawa oleh hembusan angin kepada sasarannya. Inilah dia barrusuq ilmu pekasih itu.

Anging kupasangko anne
Aqbiciq ilalang tinro
Nambangung naiq
Namattimbo paqrisiqna

Anging ngerang dinging-dinging
Namallantansaq ri buku
Mangerang nakkuq
Mappaempo mangnguqrangi

Hai angin aku berpesan padamu
Bisiki dia di dalam tidur
Bila kelak ia terjaga
Kalbunya memendam rasa

Angin membawa rasa sejuk
Menusuk ke dalam sumsum
Membawa rindu
Membuat duduk termangu

Sastra kuno berupa barrusuq itu menjadi transparan oleh almarhum Borraq Dg Ngirate dengan improvisasi dalam wujud Lagu Anging Mammiriq (Angin Berhembus). Hasil improvisasi Dg Ngirate itu seperti berikut:

Anging mammiriq kupasang
Pitujui tontonganna
Tusarroa takkaluppa
Namanngnguqrangi
Tutenayya paqrisiqna

Battumi anging mammiriq
Anging ngerang dinging-dinging
Namallantasaq ribuku
Mangngerang nakkuq
Mappaempo mangnguraqngi

Angin berhembus kupesan
Menuju ke jendelanya
Yang tenggelam ditelan lupa
Oh angin ingatkan dia
Yang tak tahu memendam rasa

Datanglah angin berhembus
Angin membawa rasa sejuk
Menusuk ke dalam sumsum
Datanglah angin membawa rindu
Membuat terpaku termangu-mangu

Nyanyian Anging Mammiriq yang dilagukan oleh anak-anak itu, di mana tiga baris dari bait kedua dicopot lalu disipkan ke dalam bait pertama, lalu menjadi seperti berikut (alih bahasa):

Angin berhembus kupesan
Menuju ke jendelanya
Yang tenggelam ditelan lupa
Datanglah angin berhembus
Angin membawa rasa sejuk
Menusuk ke dalam sumsum
Oh angin ingatkan dia
Yang tak tahu memendam rasa

Perhatikan, hasil berpesan pada angin itu: "Datanglah angin membawa rindu. Membuat terpaku termangu-mangu," hilang dibawa angin (gone with the wind).

***

Waktu saya masih remaja biasa pergi ke rumah Ho Eng Djie bersama-sama kakak sepupu saya Rukuq Dg Mappataq (seorang veteran yang tidak mau pusing mengurus kartu veterannya, semua veteran dari Selayar tahu hal itu), biasanya berbincang-bincang tentang filsafat. Di rumah Ho Eng Djie terdapat sebuah kotak tanpa penutup berisi lembaran-lembaran kertas. Setiap lembar bertuliskan Kelong Mangkasaraq hasil gubahannya dalam aksara Lontaraq. Suatu waktu tatkala kami berdua berkunjung ke rumah Ho Eng Djie, ia menyodorkan lembaran kertas: "E turungka niassedeng ribangngiya kelong leqbaq kupareq, apanne (hai anak muda, tadi malam saya berhasil menggubah kelong, ini dia)", sambil mengambil lembaran yang bertuliskan Kelong Mangkasaraq seperti yang dikutip di bawah ini.

Kamma memangiq linoa,
tena tojeng kabajikang.
Kodi nicalla,
Bajika nikimburui.

Begitulah adat di dunia
Tak dibiarkan berlalu mulus
Kalau buruk dicela
Yang baik merangsang cemburu

Kemudian Ho Eng Djie menjelaskan. Sikap warga asli pada umumnya terhadap warga peranakan Cina tidak ada yang baik. Kalau warga peranakan buruk kelakuannya mereka dicela, dan itu memang wajar. Yang tidak wajar ialah warga asli memukul rata. Punna niya Cina kodi sipaqna, e, iya ngaseng Cinayya anggappa passepoloq (Kalau ada warga Cina tidak baik sifatnya, buruk kelakuannya, maka semua Cina yang kena semprot). Kalau baik dalam pengertian maju dalam usaha dagangnya mereka dicemburui.

Kemudian Ho Eng Djie melanjutkan. Sikap warga asli yang demikian itu karena kesalahan warga keturunan Cina juga dalam bersikap. Assingkammai sipaqna Yahudiya ri Aropa, iyamintu naallei kalenna (seperti sikapnya orang Yahudi di Eropa, yaitu eksklusif). Itulah latar belakangnya saya mendirikan Orkes Kullu-Kulluwa. (Orkes Kullu-Kulluwa, adalah orkes lagu-lagu daerah Makassar, beberapa yang direkam di atas piring hitam. Dahulu belum ada pita kaset). Ho Eng Djie berupaya a'bengkoro' (membaur) dengan warga asli melalui seni suara, karena dalam Orkes Kullu-Kulluwa kedua warga yang seperti air dengan minyak itu dibaurkan bersama. [Dikutip dari: Seri 328].

Inilah antara lain dua buah kelong yang saya baca dari kotaknya Ho Eng Djie tersebut:

Maqbiring kassiq keboqnu
Mattamparang laisiqnu
Mattete bombang
Bukkuleng tamallaqjunu

Bakukku naruntuq nakku
Naluluang pangnguqrangi
Tenamo kanang
Bajiq-bajiq rimatangku

Pasir putih kulitmu
Lekuk tubuhmu melaut
Lincah meniti gelombang
Gemulai tak membosankan

Setelah aku dirundung rindu
Terlintas engkau dalam kenangan
Tak ada lagi seorang
Yang menarik di mataku

Perhatikanlah bait-baitnya diperselingkan oleh yang memimpin acara Nyanyian Anak-anak yang dikemukakan di atas itu. Dua baris dicopot dari bait kedua lalu disipkan di bait pertama, sehingga Amma Ciang menjadi:

Pasir putih kulitmu
Lekuk tubuhmu melaut
Setelah aku dirundung rindu
Terlintas engkau dalam kenangan
Lincah meniti gelombang
Gemulai tak membosankan

Bagaimana, menyambung apa tidak? WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 17 September 2006