8 Oktober 2006

748. Tanda-Tanda Ketuaan dan Tekonologi yang Bisa Zalim

Selesai shalat Jum'at kemarin dulu seperti biasa dlam bulan Ramadhan tidak langsung pulang, melainkan duduk-duduk dahulu berbincang-bincang. Titik berat perbincangan hari itu menyangkut seperti pada judul di atas "Tanda-Tanda Ketuaan". Beberapa ciri atau tanda dikemukakan, selain rambut, pendengaran dan penglihatan. Pada umumnya yang berbincang itu mengemukakan bahwa kalau sujud dalam shalat sudah tidak sanggup lagi lutut dahulu baru telapak tangan bertumpu pada lantai. Ya hampir semua mengatakan telapak tangan dahulu baru lutut. Itu salah satu tanda ketuaan. Haji Abrurrahman, itu dosen senior Universitas Islam Negeri (dahulu: IAIN) mengatakan sudah lama tidak bisa memenuhi undangan buka puasa, pasalnya begitu makanan masuk, perut terangsang untuk mengeluarkan isinya, jadi repot nanti ditempat buka puasa. "Wah, sama dengan saya, hanya saja itu terjadi jika makanan yang masuk itu, bukan yang khusus biasa di makan di rumah yang bisa berdamai dengan perut, itulah sebabnya saya tidak sempat hadir pada hari Syukuran Harian Fajar 1 Oktober 2006 yang lalu," saya menyahut. Saya tambahkan pula: "Kalau mau ke walimah (resepsi) perkawinan, saya makan dahulu di rumah makanan yang bisa berdamai dengan perut itu. Kalau undangan untuk berbuka puasa mana bisa makan dahulu baru datang untuk buka bersama. Bermacamlah tanda-tanda ketuaan dikemukakan yang pada umumnya dialami oleh majelis kecil yang berbincang itu. Kalau duduk di lantai mesti mencari tempat bersandar.

Saya tersenjum, ingat tanggal 30 September yang lalu, saya menyisih sedikit untuk bersandar pada podium di lantai bawah (aula) Masjid Al-Markaz dalam rangka diskusi seperti pada judul di atas Teknologi yang Bisa Zalim. Akan diperbincangkan di bawah nanti. Kembali kepada ciri ketuaan antara lain yaitu shalat Tarwih tidak bisa lagi berjama'ah di masjid, karena betul-betul shalat Tarwih, yang artinya santai. Seperti diketahui dalam rangkaian pelaksanaan ibadah Haji dimulai pada Yawm al-Tarwiyah yaitu pada 8 DzulHijjah. Disebut demikian karena pada hari itu RasuluLlah SAW dalam perjalanan beliau ke Arafah melepaskan dahaga, bersantai (Tarwiyah) di Mina.

-- Azh Zhahra wa l'Ashra Yawma tTarwiyati biMinay, shalat Zhuhur dan 'Asar pada hari Tarwiyah di Mina (Rawahu Bukhariy).

Shalatullayl artinya shalat tengah malam --shalat Tarwih itu sesungguhnya shalatullayl yang dikerjakan secara berjama'ah dalam bulan Ramadhan-- yang saya laksanakan sejak berusia kepala tujuh sungguh-sungguh shalat Tarwih dalam arti santai, seperti yang dikerjakan para sahabat sebelum diorganiser oleh Khalifah 'Umar ibn Khatttab RA. Sesudah salam sehabis 2 raka'at para sahabat itu bersantai, makan-makan kurma. Itulah sekelumit tentang tanda-tanda ketuaan.

***

Hari Sabtu 30 September 2006 bersama dengan Fuad Rumi saya menjadi nara sumber dalam diskusi dengan tema: Musibah dalam Prospektif Agama dan Tekonologi, bertempat pada lantai bawah masjid Al-Markaz seperti telah disebtkan di atas. Dalam diskusi itu saya antara lain mngemukakan bahwa teknologi itu bermanfaat untuk manusia karena mempermudah dan mempercepat proses kehidupan zahir, aktivitas jasmani dan juga membantu beberapa hal dalam 'ibadah mahdhah utamanya mikrofon dan laudspiker. Saya kemukakan dalam kesempatan menjadi nara sumber itu apa itu yang dimaksud dengan teknologi. Secara gampangnya, teknologi adalah suatu proses yang memberikan nilai tambah suatu barang / komoditi. Mengubah gabah menjadi beras yang sudah punya nilai tambah, itulah teknologi. Di dalam kita berkomunikasi sehari-hari, pemakaian istilah teknologi menjadi rancu. Barang / komoditi yang telah mempunyai nilai tambah sebagai hasil teknologi, disebut dengan teknologi juga. Teknologi diartikan sekali gus sebagai proses dan output / hasil. Namun kalau disimak, tidak seluruhnya salah. Mesin penggiling beras misalnya adalah hasil teknologi, diproses dari bungkahan ataupun lembaran logam. Pada gilirannya, mesin penggiling beras sebagai hasil teknologi dipakai pula untuk memproses gabah menjadi beras. Jadi teknologi mesin penggiling beras ini adalah sekali gus hasil dan proses. Demikian pula truk misalnya adalah hasil teknologi. Namun truk ini dapat memberikan jasa, dengan jalan memproses pemindahan komoditi dari pedalaman ke pasar. Komoditi yang sudah di pasar mempunyai nilai tambah ketimbang komoditi yang masih ada di pedalaman. Jadi juga dalam hal ini teknologi truk adalah sekali gus pula sebagai hasil dan proses. Makin canggih teknologi, akan menghasilkan barang yang juga makin tinggi nilai tambahnya. Bungkahan dan keping logam misalnya, yang diproses dengan teknologi canggih menjadi kapal terbang yang tinggi pula nilai tambahnya.

Menurut Fuad Rumi yang betul ialah mesin penggiling padi. Saya katakan pola pikir orang Melayu dan etnik Bugis-Makassar- Mandar-Torja itu output oriented. Menanak nasi, bukan menanak beras, appalu kanre bukan appaluu berasaq, mannasu nanre tania mannasu werreq (Bgs), mappiapi ande (Mdr), mannasu bo'bo' (Trj). Kalau rumah sakit itu pola pikir Belanda, sebab kata itu diadopsi dari zieken huis (ziek = sakit, huis = rumah). Jadi kalau pakai pola pikir Melayu dan etnik Bugis-Makassar- Mandar-Torja yang otuput oriented seharusnya rumah sehat. Secara psikologis istilah rumah sehat itu punya pengaruh sejuk, pikiran baik si sakit maupun keluarga si sakit diarahkan pada optimisme, sehat. Dalam manajemen ada juga yang pakai paradigam output oriented ini, yakni Management by Objectives, gampang untuk evaluasi.

Baik Fuad rumi maupun saya dalam diskusi itu mengemukakan dua ayat yang sangat relevan dengan tema: Musibah dalam Prospektif Agama dan Tekonologi, yaitu:
-- ZhHR ALFSAD FY ALBR WA ALBhRI BMA KSBT AYD ALNAS LYDzYQHM B'ADh ALDzY 'AMLWA L'ALHM YRJ'AWN (S. ALRWM, 30:41),
dibaca:
-- zhaharal fas-du fil barri wak bahri bima- kasabat aidin na-s liyudzi-qahum ba'dhal ladzi- 'amilu- la'alahun yarji'u-n (tanda - memanjangkan) ,
artinya:
-- zahirlha bencana di darat (dan udara di atasnya) dan di laut (dan udara di atasnya), karena perbuatan tangan-tangan manusia, demikainlah dirasakan kepada mereka sebagian dari (balasan) yang mereka perbuat, supaya mereka kembali (sadar).

-- WATQWA FTNt LA TUShYBN ALDzYN ZhLMWA MNKM KHASht WA'ALMWA AN ALLH SyDYD AL'AQAB (S. ALANFAL, 8:25),
dibaca:
-- wattaqu- fitnatal la- tushi-bannal ladzi-na zhalamu- mingkum kha-shshatan wa'lamu- annaLla-ha sydi-dul 'ika-b,
artinya:
-- waspadalah kamu akan fitnah (prahara) yang tiada (hanya) menimpa orang-orang yang zalim saja di antara dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya.

Dalam membahas ayat (8:25) di mana ada kata zalim di dalamnya merambatlah pembicaraan mengenai musibah lumpur di Sidoarjo. Siapa yang zalim di Sidoarjo itu. Saya kemukakanlah bahwa yang zalim itu adalah sistem industri, yaitu orang-orang bersama teknologinya. Hal ini bisa diterima oleh majelis mujadalah. Namun waktu saya kemukakan bahwa teknologi itu an sich bisa zalim, saya dibantah oleh seorang peserta Sitti Hawa, bahwa teknologi itu polos (ini juga pendapat Prof. Ahmad Sewang), yang zalim adalah manusia yang menggerakkan teknologi itu. Saya jawab bahwa sungguh-sungguh ada kalanya teknolgi itu bias zalim walaupun orang yang menggerakkannya tidak zalim. Yang datang kemari berdiskusi naik kedfaraan bermotor roda dua atau roda empat. Apa saudara-saudari itu mau disebut zalim. Tidak mau bukan?, karena memang tidak zalim. Yang zalim itu gas buang yang keluar dari knalpot kendaraan yang mencemari, menzalimi udara Makassar dengan zat beracun. Diskusi selesai pukul 17:00, sehingga saya mempunyai kesempatan pulang berbuka puasa di rumah, tidak di al-Markaz. WalLalahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 8 Oktober 2006