5 November 2006

752. Nabi Perempuan dalam Isu Gender

Saya pungut dari cyber space tulisan Qosim Nursheha Dzulhadi, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo-Jurusan Tafsir dan 'Ulumu'l-Qur' an dan peminat Kajian Quran & Kristologi, yang membantah dengan telak pendapat aktivits Jaringan Islam Liberal (JIL), Abd Moqsith Ghazhali, yang menulis tentang "Nabi Perempuan" dalam situs JIL (www.islamlib. com, 25/10/2006). Abd Moqsith Ghazhali menyimpulkan dengan menyatakan: "Namun, setelah saya cek ke sejumlah kitab, ternyata status kenabian tak hanya dimonopoli kaum laki-laki. Ada juga nabi dari kalangan perempuan, yaitu Ibunya Musa, Sarah dan Maryam. Al-Quran telah menunjukkan bahwa Tuhan tak melakukan diskrminasi jenis kelamin dalam perkara pewahyuan sekaligus penabiaan."" Ia menyandarkan kesimpulannya itu pada kutipan Ibnu Katsir yang dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (Juz II, hlm. 59) mengutip satu pendapat yang menyatakan bahwa tak tertutup pintu bagi hadirnya nabi perempuan. Pendapat yang dikutip itu bersandar pada ayat Al-Qur'an:
-- W AWhYNA ALY AM MWSY AN ARDh'AYH FADzA KhFT 'ALYH FALQYH FY ALYM (S. ALQShSh, 28:7),
dibaca:
-- wa awhaina- ila- ummi mu-sa- an ardhi'i-hi fa idza- khifti 'alaihi, fa alqi-hi fil yammi (tanda - dipanjangkan) ,
artinya:
-- Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa; susukanlah dia, dan apabila kamu khawatir kepadanya maka hanyutkanlah ia ke dalam sungai (Nil).

Menurut Qosim Nursheha kesimpulan Moqsith terlalu dini anti-klimaks. Hanya berdasarkan pendapat Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah-nya dan ayat yang menyatakan tentang wahyu dia langsung menyimpulkan bahwa benar-benar ada "nabi perempuan". Moqsith sangat tidak komprehensif ketika membahas makna "wahyu" dalam Islam, maka wajar jika konklusinya "nyeleneh". Tulisannya yang singkat dan sangat sederhana itu pun terkesan "tendensius" dan dipaksaan. Sepertinya dia sedang "geram" pada sementara pendapat yang ada dalam masalah ini. Dengan telak Qosim Nursheha menyatakan bahwa apa yang disimpulkan oleh Moqisth adalah keliru. Anggapan ulama yang menganggap Ayarikha (ibu Nabi Musa AS), Sarah (ibu Nabi Ishaq AS dan istri Nabi Ibrahim AS itu) dan Maryam (ibu Nabi 'Isa AS) sebagai "nabi" harus dilihat lagi secara kritis. Karena tidak ada penjelasan rinci yang menyatakan bahwa ketiganya dianggap sebagai "nabi". Sampai hari ini, tidak ada pendapat atau buku yang menjelaskan bahwa Ayarikha, Sarah dan Maryam menyampaikan risalah, atau memberi peringatan (al-indzar).

Ibnu Katsir sendiri, ketika menjelaskan ayat (28:7), menyatakan, "Wahyu ini adalah wahyu dalam arti "ilham" dan "irsyad" (petunjuk), seperti firman Allah yang berbunyi:
-- W AWhY RBK AL ALNhL (S. ALNhL, 16:68),
dibaca:
-- wa awha- rabbuka ilan nahli,
artinya:
-- Dan Maha Pengaturmu mewahyukan kepada lebah,

Menurut Ibnu Katsir, wahyu dalam ayat (16:68) bukanlah wahyu dalam arti "kenabian" (al-nubuwwah) , sebagaimana menurut oleh Ibnu Hazm dan para Mutakallimin lainnya. Yang benar adalah al-ilham wa al-irsyad, ilham dan petunjuk seperti yang dijelaskan oleh Abu al-Hasan al-'Asy'ari dari kelompok Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Dengan demikian, menurut Qasim Nusheha pendapat Moqsith adalah pendapat yang tidak lebih dari sekadar "berwacana" yang 'miskin' makna.

***

Sebenarnya lima tahun sebelum Qasim Nursheha menyengat Moqsith yang bertanggal 1 November 2006, di situs www.suaramerdeka.com, Jumat, 23 Maret 2001, termaktub "Karangan Khas" oleh Nas(a)ruddin Umar yang menulis tentang Wacana Jender dan Wahyu untuk Ibu Nabi Musa AS, ada Nabi yang wanita. Ini dibuktikan dengan sebuah wahyu yang menyebutkan. ...''dan kami wahyukan kepada ibu Nabi Musa''. Wahyu adalah pesan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada seorang Nabi dan bukan orang sembarangan. Hanya karena pada saat wahyu itu turun, dunia (Arab khususnya) sangat tidak bersahabat dengan perempuan; maka nabi perempuan sangat tidak populer, demikian menurut Nas(a)ruddin Umar.

Isu gender yang diusung oleh komunitas Jaringan Islam Liberal memakai isu gender tersebut sebagai paradigma. Bertolak dari paradigma itu para aktivis JIL dengan "tendensius" dan "memaksakan" (kita pinjam istilah yang dipakai Qasim Nursheha) bahwa ayat (16:68) mengisyaratkan adanya Nabi Perempuan.

Padahal kalau dikembalikan kepada Al-Quran sebagai kamus, kriteria tntang Nabi dengan telak dijelaskan:
-- FB'ATs ALLH ALNBYN MBSyRYN WMNDzRYN WANZL M'AHM ALKTB BALhQ LYhKM BYN ALNAS FYMA AKhTLFWA FYH (S. ALBQRt, 2:213),
dibaca:
-- faba'atsa Lla-hun nabiyyi-na mubasysyiri- na wamundziriyna waanzala ma'ahumul kita-ba bil haqqi liyahkuma baynan na-si fi-makh talafu- fi-hi,
artinya:
-- Maka Allah membangkitkan nabi-nabi untuk penggembira dan penggentar dan menurunkan Kitab bersama mereka itu di atas kebenaran untuk (menetapkan keputusan) hukum (siapa yang benar) di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

Jadi menurut ayat [2:213] barulah perlu dan cukup tentang kriteria seorang Nabi ialah mendapat wahyu dan mendapatkan Kitab sebagai rujukan untuk menetapkan keputusan hukum (yahkum). Komunitas JIL membuat definisi "seenak" benaknya mengenai ta'rif (definisi) Nabi. Tidak ada keterangan dalam Nash bahwa Allah SWT menurunkan Kitab kepada ibu Nabi Musa AS. Tampaklah pula ciri-khas pola pikir penganut JIL yaitu konfigurasi akal mengatasi wahyu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 5 November 2006
--------------------------------
(*)
Ini adalah koreksi Al-Quran atas Perjanijan Lama, yang tidak menyebutkan Ibu Musa mendapat wahyu:
KJVR-Exo 2:
1 And there went a man of the house of Levi, and took to wife a daughter of Levi.
2 And the woman conceived, and bore a son: and when she saw him that he was a goodly child, she hid him three months.
3 And when she could not longer hide him, she took for him an ark of bulrushes, and daubed it with slime and with pitch, and put the child therein; and she laid it in the flags by the river's brink.
LAI:
1 Seorang laki-laki dari keluarga Lewi kawin dengan seorang perempuan Lewi;
2 lalu mengandunglah ia dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika dilihatnya, bahwa anak itu cantik, disembunyikannya tiga bulan lamanya.
3 Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi, sebab itu diambilnya sebuah peti pandan, dipakalnya dengan gala-gala dan ter, diletakkannya bayi itu di dalamnya dan ditaruhnya peti itu di tengah-tengah teberau di tepi sungai Nil;

(**)
Salah satu sifat Allah adalah Mutakallim (Maha Berkata-kata tak pernah putus) kepada seluruh makhluqNya. Khusus kepada para Nabi Allah berkata-kata menurunkan wahyu al-nubuwwah dan kepada manusia biasa dalam wujud al-ilham wa al-irsyad, ilham dan petunjuk. Wahyu al-nubuwwah tidak diturunkan lagi setelah Nabi Muhammad SAW KhatamunNabiyyin.