11 Februari 2007

765. Hidup Bersama Banjir.

Firman Allah SWT:
-- ZhHR ALFSD FY ALBR WALBhR BMA KSBT AYD ALNAS LYDzYQHM B'ADh ALDzY 'AMLWA L'ALHM YRJ'AWM (S. ALRWM, 30:41), dibaca:
--zhaharal fasa-du fil barri wal bahri bima- kasabat aidin na-si, liyudzi-qahum ba'dhal ladzi- 'amilu-, la'allahum yarji'u-na. (tanda - dipanjangkan membacanya), artinya:
-- Telah muncullah bencana di darat dan di laut akibat ulah tangan-tangan manusia, untuk dirasakan kepada mereka (oleh Allah) sebagian yang mereka kerjakan, supaya mereka kembali.

Mari kita fokuskan bagian ayat itu pada: bencana di darat, ulah tangan-tangan manusia dan supaya mereka kembali dalam hubungannya dengan banjir, banjir, banjir yang mengamuk di Jakarta. Kalau dari laut disebut tsunami. Kalau dari darat disebut banjir kiriman. Perbedaannya yang lain, kalau tsunami diakibatkan oleh gempa, kalau banjir apakah itu banjir kiriman maupun banjir yang tidak dikirim dari hulu, disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia.

Apabila air di atas tanah sedikit yang tertinggal, air yang mengumpul di sungai-sungai mengalir dengan jinak. Tetapi sebaliknya apabila lapisan tanah tipis, lagi pula di dalamnya tidak terdapat akar pepohonan yang mampu meresapkan dan menahan air, maka air yang tertinggal di atas permukaan bumi menjadi banyak. Jika terjadi hal yang demikian itu, air tidak hanya menempati lekuk dan alur sungai, melainkan melimpah dan menyapu secara menyeluruh. Itulah yang disebut banjir. Pada dataran rendah di hilir, banjir itu berwujud genangan air dan di udik di tempat yang miring utamanya di lereng-lereng gunung, air itu mengalir menjadi menjadi ganas. Ini dilustrasikan dalam Al-Quran, sebagai pembanding amal sedekah yang hilang karena aliran informasi berupa publikasi yang bersifat riya (penampilan) :
-- KALDzY YNFQ MALH RaAa ALNAS WLA YawMN BALLH WALYWM ALAKhR FMTsLH KMTsL ShFWAN 'ALYH TRAB FAShABH WABL FTRKH ShLDA LA YQDRWN 'ALY SyYa MMA KSBWA WALLH LA YHDY ALQAWM ALKFRYN (S. ALBQRt, 2:264), dibaca:
-- kalladzi- yunfiqu ma-lahu ria-an naasi wa la- yu'minu biLla-hi wal yaumil a-khiri, famatsaluhu- kamatsali shafwa-nin 'alaihi tura-bun fa asha-bahu- wa-bilun fa tarakahu- shaldan la- yuqdiru-na 'ala- syaiim mimma- kasabu- waLla-hu la- yahdil qaumal ka-firi-na, artinya:
-- seperti cara menyumbang dengan penampilan (riya) dari orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhirat; adapun cara yang demikian itu ibarat batu karang licin yang di atasnya terdapat lapisan tanah diguyur oleh curahan hujan yang lebat yang memberikan bekas tanah hanyut dan tinggallah batu karang licin yang gundul, maka demikian pulalah keadaan amal sedekahnya hilang tidak ada yang tinggal, dan Allah tidak menunjuki kaum yang kafir.

Jadi supaya hujan itu membawa Rahmat Allah, lapisan tanah harus tebal, dan harus banyak akar pepohonan di dalamnya. Itulah gunanya hutan. Daun-daunan yang gugur menjadi busuk menjadi bunga-tanah. Itu mempertebal lapisan tanah. Hutan yang lebat menghasilkan bunga-tanah yang tebal dan banyak akar di dalamnya. Walhasil hutan lebat mencegah banjir. Itu di udik, di pegunungan yang berhutan.

Bagaimana kalau di hilir? Pada umumnya di hilir seperti di Jakarta terdapat hutan jenis lain, hutan rekayasa, hutan yang dibangun oleh teknologi, Yaitu hutan yang bukan dari pepohonan, melainkan hutan dari bangunan-bangunan menjulang, dengan akar-akarnya berupa tiang-tiang pancang dari beton, ataupun dari jenis cakar ayam. Permukaan tanah ditutupi pelataran-pelataran parker, jalan-jalan beraspal, ataupun trotoar dari batu. Kantong-kantong perangkap air ditimbun untuk menambah pohon-beton. Apa hasilnya jika dilihat dari segi berwawasan lingkungan? Pembagian air hujan yang meresap ke dalam tanah dengan yang tertinggal di atas permukaan tanah, yaitu sangat jauh lebih banyak di atas tanah, karena air tidak diberi kesempatan masuk meresap ke dalam, atau ditampung oleh kantong-kantong perangkap air. Artinya kalau turun hujan lebat seperti sekarang ini di Jakarta terjadilah banjir. Upaya menggali kanal menjadi sia-sia karena berlimpahnya air yang harus dialirkan ke laut, lagi pula secara geografis sebagian besar wilayah Jakarta memang lebih rendah dari permukaan laut. Kalau bulan purnama di mana air laut sedang pasang, dan hujan lebat turun di hulu serta di atas Jakarta, bahkan kanal itu menambah tinggi genangan air karena justru air laut yang pasang itu masuk melalui kanal.

Memang demikianlah Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia bahkan di seluruh dunia, yaitu kota-kota bertumbuh dari pelabuhan yang dibangun di muara sungai.

Seperti dituliskan di atas, ayat (30:41) difokuskan pada: bencana di darat, ulah tangan-tangan manusia dan supaya mereka kembali. Sudah dibahas bencana di darat dan ulah tangan-tangan manusia, yaitu bencana banjir karena ulah membabat hutan di hulu dan menanam hutan beton di hilir (baca: Jakarta). Lalu bagaimana dengan "supaya mereka kembali". Ada yang bisa dilakukan , tetapi ada pula yang sangat sukar dilakukan. Kembali menanam pohon membuat hutan bisa dikerjakan. Tetapi membabat hutan beton di Jakarta itu sangat musykil, mengembalikan perbandingan 60% ditanami pohon beton, 40% tanpa pohon beton. Itu adalah hil yang mustahal.

Alhasil tidak ada jalan lain kecuali penduduk Jakarta hidup bersama banjir. Maka perlu keterampilan dalam hal manajemen banjir, dengan latihan di lapangan setiap tahun dengan banjir biasa untuk menghadapi banjir yang hebat dalam daur lima tahunan, seperti banjir hebat sekarang ini, atau bikin ibu kota di luar pulau Jawa. Bagaimana kalau Banda Aceh ? WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 11 Februari 2007