18 Februari 2007

766. Seks Bebas, Kondom dan HIV/AIDS

Hasil survei yang dilakukan oleh Annisa Fondation baru-baru ini cukup mengejutkan karena 42,3 persen pelajar perempuan telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Siaran pers Annisa Foundation, sebuah lembaga independen yang bergerak dibidang kemanusian dan kesejahteraan gender, menerangkan sebanyak 42,3 persen pelajar di Cianjur sudah hilang keperawanannya saat duduk di bangku sekolah. Yang lebih memprihatinkan, di antara responden mengaku melakukan hubungan seks tanpa ada paksaan atau atas dasar suka sama suka karena kebutuhan. Beberapa responden mengaku melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan dan tidak bersifat komersil. Direktur Annisa Foundation, Laila Sukmadevi, dalam siaran pers itu mengatakan, penelitian dilakukan selama enam bulan mulai Juli hingga Desember 2006 dengan melibatkan sekitar 412 responden yang berasal dari 13 SMP dan SMA negeri maupun swasta di Cianjur dan Cipanas. Disebutkan Laila, berdasarkan hasil survei, total responden yang belum pernah melakukan kegiatan seks berpasangan hanya 18,3 persen. Sedangkan lebih dari 60 persen telah melakukan kegiatan seks berpasangan. Dari jumlah itu 12 persen menggunakan metode coitus interuptus (meludah keluar jendela) dan selebihnya pilih alat kontrasepsi, yaitu kondom yang dijual bebas di pasaran.

Seks pra-nikah adalah gaya pelembut (euphemism) dari seks bebas. Sebenarnya ada hal yang pantas dilembutkan, namun ada pula yang tidak pantas, termasuk di antaranya seks bebas itu. Juga seperti misalnya PSK pekerja seks komersiel untuk pelacur serta kata-kata lainnya yang menunjukkan perbuatan ataupun status yang hina lainnya. Biarkanlah semua kata-kata yang menunjukkan kehinaan itu tidak dilembutkan. Gaya lembut jangan dibiarkan iiberal, semua ada batasnya. Demikianlah sekarang ini masyarakat digiring ke arah rasa bahasa bernuansa tidak enak mengenai kata "keras", bahwa keras itu tidak baik, sehingga kata-kata itu perlu dilembutkan, sebab keras itu tidak baik. Tidak boleh menghukum anak dengan pukulan, karena itu keras, itu tidak baik. Dalam hal ilmu logam keras itu baik. Dalam Syari'at kita disuruh menghukum dengan pukulan jika anak kita sudah berumur sepuluh tahun malas shalat. Pukulan mendidik menurut Syari'at itu jangan disamakan dengan menganiaya. Pukulan mendidik menurut Syari'at itu terasa sakit tetapi tidak berbahaya, seperti misalnya telapak tangan, betis, dipukul pakai mistar, atau daun telinga dipiting bagian atasnya, jangan bagian bawah. Pukulan yang tidak menurut Syari'at adalah pukulan yang menganiaya yang menyebabkan anak cedera, dan itu bisa ditangkap dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Perlindungan Terhadap Anak. Lihatlah akibatnya metode pendidikan yang menganggap menghukum dengan pukulan itu tidak baik, karena itu keras, lalu apa hasilnya? Anak-anak menjadi liberal, kurang ajar terhadap orang tua dan gurunya, bahkan perilaku yang liberal berupa bernakoba dan berseks bebas yang semakin buas di negeri ini, seperti dijelaskan di atas.

Hasil pendidikan bergaya lembut yang menghasilkan perilaku liberal itu ibarat tanaman yang diberi pupuk berupa bacaan sampah pornografi dan tayangan erotis pornoaksi yang menimbulkan hasrat nafsu hewani, serta disiram air berupa kondom yang menimbulkan rasa aman dan berani untuk berbuat hina berseks bebas, ditambah pula lagi dengan pendidikan seks yang menyebabkan para ABG itu tergiur untuk mencobanya, melupakan bahaya yang timbul akibat berseks bebas itu. Tujuan pendidikan seks itu maksudnya baik, tetapi tidaklah semua maksud baik itu akan membawa kebaikan pula bagi ABG, yang dalam masa panca roba, masih bergolak dorongan ingin mencoba, risikonya itu perkara belakangan.

Seks bebas dan narkoba adalah dua sejoli dalam menyebarkan HIV. Mengapa? Karena baik seks bebas maupun narkoba masing-masing pakai mekanisme jarum suntik. Pada seks bebas jarum suntiknya tumpul sedangkan pada narkoba ada yang pakai jarum suntik yang runcing. Namun ada bedanya, yaitu jarum suntik yang tumpul "katanya" ada alat proteksi yang disebut kondom, sedangkan jarum suntik yang runcing tidak ada proteksinya. Saya beri tanda kutip "katanya" karena kondom itu tidak menjamin sebagai alat proteksi terhadap HIV. Mengapa?
-- Pertama, many visitors to a sexual health clinic report usage of condoms, which appears to lead to a statistically significant increase risk of gonorrhea among men, according to the results of a new study. More than 15 percent of study participants had been diagnosed with either gonorrhea or chlamydia, some both. [sumber: msn.com]. Kalau kondom bisa jebol oleh kuman gonorrhea, maka apa susahnya bagi virus yang ukurannya jauh lebih kecil dari kuman, untuk menjebol.
-- Kedua, ini lebih meyakinkan lagi tidak amannya proteksi berkondom dilihat dari segi teknologi kondom yang terbuat dari karet lateks, di mana pori-pori karet lateks itu berdiameter 0,003mm, sedangkan ukuran virus jenis HIV diameternya 0,000001mm. Perbandingan keduanya adalah seperti pintu gerbang yang besar dengan seekor tikus. Logikanya "tikus" dengan sangat mudah bisa mondar-mandir di pintu gerbang yang sangat besar itu tanpa halangan sedikitpun.

Alhasil, kondom tidaklah aman sebagai alat proteksi. Bangsa ini sudah babak belur dengan citra negara terkorup no 2. Dan itu semua di alamatkan kepada ummat Islam, karena ummat Islam yang mayoritas di negara ini. Lalu apa jadinya bangsa ini jika kemudian menjadi negara seks bebas no 2 juga di dunia? Tidak! Pertumbuhan populasi peseks bebas harus diredam. Sekurang-kurangnya grafik pertumbuhan yang menanjak harus dipatahkan dengan filosofi: kejahatan terjadi karena bertemunya niat dan kesempatan, bertemu ruas dengan buku. Jadi solusinya ialah: memperbaiki niat dan membuat mekanisme penghalang kesempatan.

Memperbaiki niat dengan Firman Allah:
-- WLA TQRBWA ALZNY ANH KAN FAhSyt WSAa SBYLA (S. BNY ASRAaYL, 17:32), dubaca:
-- wala- taqrabuz zina- innahu- ka-na fa-hisyatan wasa-a sabi-lan, artinya:
-- Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu keji dan jalan yang amat jahat.
Dan membuat mekanisme penghalang kesempatan, yaitu Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dengan sanksi yang keras harus cepat-cepat disahkan. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 18 Februari 2007