Malam Sabtu yang akan datang, sejak matahari terbenam masuklah 27 Rajab 1412. Dan beberapa jam kemudian, yaitu jam 24.00 barulah mulai masuk tanggal 1 Februari 1992. Malam 27 Rajab adalah salah satu malam yang termasuk penting bagi ummat Islam, karena pada malam itu Nabi Muhammad SAW diisra'kan dan dimi'rajkan oleh Allah SWT.
Istilah isra yang artinya berjalan malam adalah bahasa Al Quran, sedangkan istilah mi'raj yang artinya naik adalah istilah yang dipakai dalam Al Hadits. Namun demikian walaupun mi'raj bukan bahasa Al Quran akan tetapi akar kata tersebut yang dibentuk oleh huruf-huruf 'ain, ra, dan jim menjadi 'araja adalah bahasa Al Quran. Peristiwa isra tercantum dalam S. Bani Israil atau S. Isra' ayat 1, sedangkan peristiwa mi'raj tercantum dalam S. An Najm ayat 13 - 18.
Yang akan dibahas dalam seri 015 ini tidaklah sebagaimana yang lazim dibahas dalam ceramah-ceramah ataupun diskusi-diskusi dalam peringatan isra'-mi'raj. Yang akan dibahas adalah sumber-sumber informasi yang relevan dengan peristiwa isra-mi'raj. Seperti telah berulang kali dikemukakan bahwa sumber informasi itu ada tiga: wahyu, alam dan sejarah.
Kita mulai dahulu dengan sumber informasi wahyu. Ini sangatlah relevan, karena pristiwa penting tersebut disampaikan kepada ummat manusia oleh Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi pembahasannya pendek saja, artinya sampai di sini saja.
Bagaimana dengan sumber informasi alam? Ini perlu pembahasan yang lebih panjang dari yang pertama. Untuk dapat mengkaji suatu peristiwa dengan bersumberkan informasi dari alam haruslah memenuhi dua persyaratan. Pertama, harus terbuka dan kedua harus sinambung. Untuk jelasnya, kita ambil contoh burung yang terbang di udara. Untuk dapat mengkaji proses kepak sayap burung yang sementara terbang di udara, haruslah mesti dapat disaksikan oleh semua orang, dapat diobservasi, dapat diamati oleh semua orang yang berkepentingan dalam mengkaji seluk-beluk kepak sayap burung yang mengudara itu. Inilah yang disebut dengan terbuka. Kemudian burung itu selalu sanggup terbang pada waktu yang lalu, waktu sekarang dan insya-Allah waktu yang akan datang. Ini disebut dengan sinambung. Tanpa kedua persyaratan itu, suatu peristiwa tidaklah dapat bersumber informasi dari alam.
Bagaimana dengan peristiwa isra-mi'raj? Tidak terbuka, tidak dapat disaksikan oleh siapapun, kecuali oleh Allah SWT dan para malaikat. Peristiwa itu dapat kita ketahui karena diberitahu oleh Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak sama misalnya dengan peristiwa photosynthesis, kita dapat mengetahuinya melalui wahyu (baca ulang Seri 003), dan juga dapat diobservasi oleh para pakar yang berkepentingan untuk mengkaji perisitwa itu, artinya terbuka bagi siapa saja yang berkepentingan dan yang mau. Kemudian, peristiwa isra - mi'raj hanya berlaku satu kali dan pemegang peran hanya satu orang yaitu Nabi Muhammad SAW. Artinya peristiwa ini tidak sinambung. Tidak sama misalnya dengan proses photosynthesis, berproses waktu lalu, sekarang dan insya-Allah waktu yang akan datang. Kesimpulannya, alam sebagai sumber informasi tidak dapat dilakukan untuk mengkaji proses isra-mi'raj. Dan itu berarti proses isra- mi'raj tidak mungkin dapat dikaji oleh sains.
Bagaimana dengan sumber informasi sejarah? Sumber informasi ini ada kelemahannya, karena tidak eksak dalam arti sejarah dapat dimanipulasi, dipalsukan oleh penulis sejarah. Hadits-hadits dalam arti sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW termasuk dalam sumber informasi sejarah ini. Hadis-hadispun tidak luput dari pemalsuan. Orang yang mula-mula meletakkan dasar metode pendekatan dalam menyaring hadits-hadits dari pencemaran pemalsuan hadits adalah Imam Bukhari. Hadits-hadits yang luput dari pemalsuan yang disaring oleh Imam Bukhari tersebut dikenal dengan Shahih Bukhari. Metode pendekatan yang dipakai dalam menyaring hadis dari pencemaran pemalsuan, kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan lmu Mushthalah Hadits. Dalam metode ini fokusnya adalah antara lain, kesinambungan yang menyampaikan (sanad) dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada perawi hadis (misalnya Imam Bukahri), daya ingat dan inteligensia yang menyampaikan, akhlaq mereka tercakup antara lain sikap, gaya hidup yang tidak urakan. Dan juga yang tidak kurang pentingnya ialah sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW bukan hanya melalui satu jalur. Maksudnya pada waktu Rasulullah bersabda dan berbuat disaksikan oleh banyak sahabat, dan setiap sahabat membentuk jalur informasi yang disampaikan kepada perawi secara sinambung. Artinya terdiri atas banyak jalur sebanyak jumlah sahabat yang mendengar ucapan dan melihat perbuatan Rasulullah sendiri. Dan setiap jalur terdapat sanad yang sinambung. Hadits yang demikian itulah yang disebut dengan hadits mutawatir(*). Walaupun sanadnya itu sinambung tetapi hanya ada satu jalur saja, hadits yang demikian itu disebut hadits ahad. Hadits shahih yang mutawatir adalah sumber sejarah yang eksak, sedangkan hadits shahih yang ahad tidak dapat dipandang sebagai sumber sejarah yang eksak.
Walhasil, akhir dari pembahasan ini adalah himbauan kepada para muballigh dalam menyampaikan tabligh ataupun dalam mujadalah tentang peristiwa isra-mi'raj, hendaknya tidaklah memakai sumber informasi dari alam, dan juga tidak mengadakan perbandingan isra-mi'raj dengan proses yang alamiyah. Yaitu dengan cara misalnya memberikan ilustrasi lalat naik kapal terbang, sebagai perbandingan dengan Rasulullah naik buraq. Bukankah ini terlalu naif, Rasulullah dibandingkan sebagai lalat, dan buraq dibandingkan sebagai kapal terbang? Apakah ini tidak menurunkan derajat Rasulullah? Atau dengan mengatakan Rasulullah mi'raj ke planet-planet, bukankah ini menurunkan derajat Rasulullah dari seorang Nabi dan Rasul menjadi astronaut? Ingatlah bahwa Nabi Muhammad Rasulullah SAW isra-mi'raj tidaklah menempuh alam yang berdimensi ruang-waktu (space-time continuum) melainkan menempuh alam yang bebas dari segala dimensi nisbi, dimensi yang tak sanggup akal manusia membayangkannya.(**) Inilah makna kalimah SUBHANA pada permulaan S. Isra ayat 1: Subhana-lladzie asraa bi'abdihie laylan min-almasjidi-lHaraami ila-lmasjidi- lAqsaa, alladzie baaraknaa hawlahuu, linuriyahuu min aayaatinaa innahuu huwa-ssamie'u-lBashier, artinya: Maha Suci Yang mengisra'kan hambaNya pada suatu malam dari Masjid-alHaram ke Masjid-alAqsaa, yang Kami telah berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan sebagian dari ayat-ayat Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Maka sekali lagi dihimbau, terutama sekali dalam hal isra-mi'raj ini, pakailah hanya dua sumber informasi: Wahyu dan sejarah yang eksak, yaitu Al Quran dan Hadits Shahih. WaLlahu a'lamu bishshawab.
---------------------------------
(*)
Contoh Hadits mutawatir, contoh ini terdiri 8 jalur:
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya.
Yang menyaksikan hal itu yakni:
[1]. Abu Humaid (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[2]. Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[3]. Anas bin Malik (Riwayat Bukhari)
[4]. Abu Musa Al-Asy'ariy (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
[5]. Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
[6]. Aisyah (Riwayat Muslim).
[7]. Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
[8]. Sa'ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).
(**)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Aku melihat diriku berada di Hijir Ismail, dan seorang Quraisy bertanya kepadaku tentang perjalanan isra'ku. Mereka bertanya berbagai hal mengenai Baitulmakdis yang tidak begitu kuingat. Aku sangat merasakan kesulitan yang belum pernah kualami. Lalu Allah memperlihatkannya kepadaku dari kejauhan, sehingga aku dapat melihatnya. Apapun yang mereka tanyakan kepadaku, pasti aku ceritakan kepada mereka. Aku melihat diriku berada di antara sekelompok nabi. Ada Nabi Musa as. yang sedang mengerjakan salat, ternyata ia itu seorang lelaki tinggi kurus dengan rambut keriting, ia seperti seorang suku Syanu'ah. Ada pula Nabi Isa bin Maryam as. yang sedang mengerjakan salat. Orang yang paling mirip dengannya adalah Urwah bin Masud As-Tsaqafi. Ada juga Nabi Ibrahim as. yang sedang mengerjakan salat. Orang yang paling menyerupainya adalah sahabat kalian (maksudnya, diri beliau sendiri). Ketika datang waktu salat, aku mengimami mereka. Usai salat terdengar suara.:
Hai Muhammad, ini Malik, penjaga neraka. Ucapkanlah salam padanya. Aku berpaling kepadanya dan dialah yang lebih dahulu mengucap salam
*** Makassar, 26 Januari 1992
Istilah isra yang artinya berjalan malam adalah bahasa Al Quran, sedangkan istilah mi'raj yang artinya naik adalah istilah yang dipakai dalam Al Hadits. Namun demikian walaupun mi'raj bukan bahasa Al Quran akan tetapi akar kata tersebut yang dibentuk oleh huruf-huruf 'ain, ra, dan jim menjadi 'araja adalah bahasa Al Quran. Peristiwa isra tercantum dalam S. Bani Israil atau S. Isra' ayat 1, sedangkan peristiwa mi'raj tercantum dalam S. An Najm ayat 13 - 18.
Yang akan dibahas dalam seri 015 ini tidaklah sebagaimana yang lazim dibahas dalam ceramah-ceramah ataupun diskusi-diskusi dalam peringatan isra'-mi'raj. Yang akan dibahas adalah sumber-sumber informasi yang relevan dengan peristiwa isra-mi'raj. Seperti telah berulang kali dikemukakan bahwa sumber informasi itu ada tiga: wahyu, alam dan sejarah.
Kita mulai dahulu dengan sumber informasi wahyu. Ini sangatlah relevan, karena pristiwa penting tersebut disampaikan kepada ummat manusia oleh Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi pembahasannya pendek saja, artinya sampai di sini saja.
Bagaimana dengan sumber informasi alam? Ini perlu pembahasan yang lebih panjang dari yang pertama. Untuk dapat mengkaji suatu peristiwa dengan bersumberkan informasi dari alam haruslah memenuhi dua persyaratan. Pertama, harus terbuka dan kedua harus sinambung. Untuk jelasnya, kita ambil contoh burung yang terbang di udara. Untuk dapat mengkaji proses kepak sayap burung yang sementara terbang di udara, haruslah mesti dapat disaksikan oleh semua orang, dapat diobservasi, dapat diamati oleh semua orang yang berkepentingan dalam mengkaji seluk-beluk kepak sayap burung yang mengudara itu. Inilah yang disebut dengan terbuka. Kemudian burung itu selalu sanggup terbang pada waktu yang lalu, waktu sekarang dan insya-Allah waktu yang akan datang. Ini disebut dengan sinambung. Tanpa kedua persyaratan itu, suatu peristiwa tidaklah dapat bersumber informasi dari alam.
Bagaimana dengan peristiwa isra-mi'raj? Tidak terbuka, tidak dapat disaksikan oleh siapapun, kecuali oleh Allah SWT dan para malaikat. Peristiwa itu dapat kita ketahui karena diberitahu oleh Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak sama misalnya dengan peristiwa photosynthesis, kita dapat mengetahuinya melalui wahyu (baca ulang Seri 003), dan juga dapat diobservasi oleh para pakar yang berkepentingan untuk mengkaji perisitwa itu, artinya terbuka bagi siapa saja yang berkepentingan dan yang mau. Kemudian, peristiwa isra - mi'raj hanya berlaku satu kali dan pemegang peran hanya satu orang yaitu Nabi Muhammad SAW. Artinya peristiwa ini tidak sinambung. Tidak sama misalnya dengan proses photosynthesis, berproses waktu lalu, sekarang dan insya-Allah waktu yang akan datang. Kesimpulannya, alam sebagai sumber informasi tidak dapat dilakukan untuk mengkaji proses isra-mi'raj. Dan itu berarti proses isra- mi'raj tidak mungkin dapat dikaji oleh sains.
Bagaimana dengan sumber informasi sejarah? Sumber informasi ini ada kelemahannya, karena tidak eksak dalam arti sejarah dapat dimanipulasi, dipalsukan oleh penulis sejarah. Hadits-hadits dalam arti sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW termasuk dalam sumber informasi sejarah ini. Hadis-hadispun tidak luput dari pemalsuan. Orang yang mula-mula meletakkan dasar metode pendekatan dalam menyaring hadits-hadits dari pencemaran pemalsuan hadits adalah Imam Bukhari. Hadits-hadits yang luput dari pemalsuan yang disaring oleh Imam Bukhari tersebut dikenal dengan Shahih Bukhari. Metode pendekatan yang dipakai dalam menyaring hadis dari pencemaran pemalsuan, kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan lmu Mushthalah Hadits. Dalam metode ini fokusnya adalah antara lain, kesinambungan yang menyampaikan (sanad) dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada perawi hadis (misalnya Imam Bukahri), daya ingat dan inteligensia yang menyampaikan, akhlaq mereka tercakup antara lain sikap, gaya hidup yang tidak urakan. Dan juga yang tidak kurang pentingnya ialah sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW bukan hanya melalui satu jalur. Maksudnya pada waktu Rasulullah bersabda dan berbuat disaksikan oleh banyak sahabat, dan setiap sahabat membentuk jalur informasi yang disampaikan kepada perawi secara sinambung. Artinya terdiri atas banyak jalur sebanyak jumlah sahabat yang mendengar ucapan dan melihat perbuatan Rasulullah sendiri. Dan setiap jalur terdapat sanad yang sinambung. Hadits yang demikian itulah yang disebut dengan hadits mutawatir(*). Walaupun sanadnya itu sinambung tetapi hanya ada satu jalur saja, hadits yang demikian itu disebut hadits ahad. Hadits shahih yang mutawatir adalah sumber sejarah yang eksak, sedangkan hadits shahih yang ahad tidak dapat dipandang sebagai sumber sejarah yang eksak.
Walhasil, akhir dari pembahasan ini adalah himbauan kepada para muballigh dalam menyampaikan tabligh ataupun dalam mujadalah tentang peristiwa isra-mi'raj, hendaknya tidaklah memakai sumber informasi dari alam, dan juga tidak mengadakan perbandingan isra-mi'raj dengan proses yang alamiyah. Yaitu dengan cara misalnya memberikan ilustrasi lalat naik kapal terbang, sebagai perbandingan dengan Rasulullah naik buraq. Bukankah ini terlalu naif, Rasulullah dibandingkan sebagai lalat, dan buraq dibandingkan sebagai kapal terbang? Apakah ini tidak menurunkan derajat Rasulullah? Atau dengan mengatakan Rasulullah mi'raj ke planet-planet, bukankah ini menurunkan derajat Rasulullah dari seorang Nabi dan Rasul menjadi astronaut? Ingatlah bahwa Nabi Muhammad Rasulullah SAW isra-mi'raj tidaklah menempuh alam yang berdimensi ruang-waktu (space-time continuum) melainkan menempuh alam yang bebas dari segala dimensi nisbi, dimensi yang tak sanggup akal manusia membayangkannya.(**) Inilah makna kalimah SUBHANA pada permulaan S. Isra ayat 1: Subhana-lladzie asraa bi'abdihie laylan min-almasjidi-lHaraami ila-lmasjidi- lAqsaa, alladzie baaraknaa hawlahuu, linuriyahuu min aayaatinaa innahuu huwa-ssamie'u-lBashier, artinya: Maha Suci Yang mengisra'kan hambaNya pada suatu malam dari Masjid-alHaram ke Masjid-alAqsaa, yang Kami telah berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan sebagian dari ayat-ayat Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Maka sekali lagi dihimbau, terutama sekali dalam hal isra-mi'raj ini, pakailah hanya dua sumber informasi: Wahyu dan sejarah yang eksak, yaitu Al Quran dan Hadits Shahih. WaLlahu a'lamu bishshawab.
---------------------------------
(*)
Contoh Hadits mutawatir, contoh ini terdiri 8 jalur:
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya.
Yang menyaksikan hal itu yakni:
[1]. Abu Humaid (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[2]. Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[3]. Anas bin Malik (Riwayat Bukhari)
[4]. Abu Musa Al-Asy'ariy (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
[5]. Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
[6]. Aisyah (Riwayat Muslim).
[7]. Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
[8]. Sa'ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).
(**)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Aku melihat diriku berada di Hijir Ismail, dan seorang Quraisy bertanya kepadaku tentang perjalanan isra'ku. Mereka bertanya berbagai hal mengenai Baitulmakdis yang tidak begitu kuingat. Aku sangat merasakan kesulitan yang belum pernah kualami. Lalu Allah memperlihatkannya kepadaku dari kejauhan, sehingga aku dapat melihatnya. Apapun yang mereka tanyakan kepadaku, pasti aku ceritakan kepada mereka. Aku melihat diriku berada di antara sekelompok nabi. Ada Nabi Musa as. yang sedang mengerjakan salat, ternyata ia itu seorang lelaki tinggi kurus dengan rambut keriting, ia seperti seorang suku Syanu'ah. Ada pula Nabi Isa bin Maryam as. yang sedang mengerjakan salat. Orang yang paling mirip dengannya adalah Urwah bin Masud As-Tsaqafi. Ada juga Nabi Ibrahim as. yang sedang mengerjakan salat. Orang yang paling menyerupainya adalah sahabat kalian (maksudnya, diri beliau sendiri). Ketika datang waktu salat, aku mengimami mereka. Usai salat terdengar suara.:
Hai Muhammad, ini Malik, penjaga neraka. Ucapkanlah salam padanya. Aku berpaling kepadanya dan dialah yang lebih dahulu mengucap salam
*** Makassar, 26 Januari 1992