20 September 1992

047. Semestinya dan Sebaiknya

Dalam kehidupan sehari-hari kedua pengertian di atas itu biasanya tidak jelas atau kabur batasnya. Lazimnya yang sebaiknya itu meningkat menjadi seharusnya. Contoh yang sangat sederhana, beberapa tahun yang lalu para pelamar pekerjaan dimestikan melampirkan misalnya keterangan berkelakuan baik, keterangan dokter dll. Belakangan ini kedua keterangan itu baru dimestikan jika para pelamar itu telah diterima. Jadi sesungguhnya beberapa tahun yang lalu itu keterangan berkelakuan baik dan keterangan dokter itu bagi para pelamar sesungguhnya bukanlah yang semestinya melainkan hanya sebaiknya saja. Artinya apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu itu pengertian sebaiknya ditingkatkan menjadi semestinya.

Demikian pula pada waktu tragedi yang sangat memalukan di kampus Unhas yang baru lalu. Kelihatannya yang sebaiknya itu telah meningkat menjadi semestinya. Penanggung jawab keamanan, yaitu polisi sebaiknya menunggu rektor memberikan green light baru bertindak, itu kalau dilihat dari segi tatakrama, ya seperti berpakaian daulu baru sarapan. Tetapi karena negara kita ini
negara hukum, maka tentu saja peraturan perundang-undangan itu lebih kuat dari hanya sekadar tatakrama saja. Jadi semestinya penanggung jawab keamanan tidak perlu menunggu green light dari rektor. Dengan demikian alat negara dapat cepat bertindak, sehingga perang antara bom molotov dengan lemparan genting tidak sampai terjadi. Menunggu green light dari rektor dari sebaiknya ditingkatkan menjadi semestinya, pada hal waktu dalam hal ini sangat menentukan, tidak boleh terlambat.

Dalam Hukum Islam ada klasifikasi yang berjenjang turun bertangga naik, yang dikaji dalam Ilmu Fiqh. Paling atas adalah semestinya. Setingkat di bawahnya sebaiknya. Setingkat di bawahnya terserah. Setingkat di bawahnya sebaiknya tidak. Dan tingkat paling bawah semestinya tidak. Inilah yang disebut hukumnya wajib, hukumnya sunnat, hukumnya mubah, hukumnya makruh dan hukumnya haram. Yang wajib hukumnya, berpahala kalau dikerjakan, berdosa kalau ditinggalkan. Yang sunnat hukumnya, berpahala kalau dikerjakan tidak berdosa kalau ditinggalkan. Yang mubah hukumnya, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak berpahala dan tidak berdosa. Yang makruh hukumnya, tidak berdosa kalau dikerjakan berpahala kalau ditinggalkan. Yang haram hukumnya, berpahala kalau ditinggalkan berdosa kalau dikerjakan. Maka pola pikir dalam Ilmu Fiqh bukanlah pola yang black and white thinking, melainkan pola pikir yang berjenjang turun bertangga naik dengan 5 anak tangga. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 20 September 1992