27 September 1992

048. Musyawarah Cendekiawan Antar Agama

Insya Allah mulai besok, Senin 28 September 1992 sampai dengan hari Kamis 1 Oktober 1992 di Kota Makassar ini akan berlangsung musyawarah cendekiawan antar agama yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Sulawesi Selatan bertempat di Wisma Nur, Jalan Onta Baru. Suatu musyawarah agar efektif, perlu sekali kejelasan dasar dan ruanglingkup musyawarah itu. Ini untuk menghindarkan silang pendapat yang bertele-tele, apa lagi ini menyangkut yang berpredikat antar agama, walaupun para pesertanya dikalangan kaum cendekiawan.

Yang pertama, harus disadari bahwa setiap agama mempunyai identitas yang merupakan ciri khas yang membedakan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Jadi pada dasarnya setiap penganut agama yang dalam hal ini setiap peserta musyawarah perlu bertitik tolak dari kesepakatan tentang ketidak-samaan. Suatu kesepakatan tentang lakum dienukum wa liya dien. Bagimu agama kamu dan bagi kami agama kami.

Pertama, masing-masing agama punya identitas. Identitas Islam adalah tawhied, seperti dalam S.Al Ikhlash. Qul huwa Llahu ahad. Allahu ssamaad.Lam yalid wa lam yuwlad. Wa lam yakun lahu qufuwan ahad. Katakanlah, Allah Maha Esa. Allah tempat bergantung. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tak suatu juapun yang setara denganNya. Identitas Nasrani apakah itu Katholik ataupun Kristen Protestan, adalah trinitas, Tuhan itu Esa, namun terdiri atas tiga oknum: Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Suci. Identitas Hindu adalah trimurti, Tuhan itu Esa, namun terdiri atas tiga wujud: Brahma, Wisynu dan Syiwa. Inilah keragaman, pluralitas ummat beragama di Indonesia yang sebaiknya disadari sebagai suatu kenyataan.

Yang kedua, walaupun pokok-pokok kepercayaan yang berbeda, yang merupakan identitas agama itu masing-masing, sebaiknya pula disadari suatu kenyataan bahwa dalam aspek etika, moral, ada kesamaan di antara agama yang berbeda identitasnya itu. Tidak ada satu agamapun di Indonesia ini yang membenarkan perbuatan-perbuatan mencuri, merampok, memperkosa, berhubungan sex secara liar, membunuh, menipu, berdusta, berkhianat, menzalimi sesama manusia, berjudi, mabuk-mabukan dll. yang sejenisnya. Semua agama yang ada di Indonesia mengatakan bahwa semua perbuatan itu adalah tercela, harus dijauhi. Dalam hal yang sama inilah ummat beragama di Indonesia dapat bekerja sama sehingga terjadi kerukunan hidup.

Yang ketiga, dalam soal menjalankan ibadah yang ritual. Inilah yang peka. Karena pekanya itu perlu sekali kesadaran tentang saling menghormati, saling tidak mengganggu dalam pelaksanaan ibadah yang ritual masing-masing. Saling menghormati, artinya tidak demonstratif. Di komplex yang hanya dihitung jari jumlah Islam di situ didirikan mesjid di tengah-tengah ummat Nasrani,
dan setiap Jum'at ummat Islam dari tempat lain diangkut ke sana untuk shalat Jum'at. Yang ini tidak pernah terjadi di Indonesia. Ataupun sebaliknya ditengah-tengah pemukiman ummat Islam yang hanya dihitung jari jumlah ummat Nasrani di situ didirikan gereja dan setiap hari Ahad ummat Nasrani dikerahkan ketempat itu. Yang ini biasa terjadi. Nah inilah yang dimaksud dengan demontratif, inilah yang peka. Inilah yang perlu dihindarkan, untuk kerukunan hidup. Saling tidak menganggu pelaksanaan ibadah yang ritual, artinya ummat yang beragama lain tidak boleh datang bercampur ke tengah-tengah ummat yang sedang melaksanakan ibadah ritual. Dalam melaksanakan ibadah Natalan misalnya, ummat Islam sebaiknya tidak datang bercampur yang sudah jelas dapat mengganggu pelaksanaan ibadah Natalan itu. Atau sebaliknya, seorang pejabat beragama Islam disuruh bakar lilin, yang merupakan rangkaian ibadah yang ritual. Itu artinya pejabat yang beragama Islam itu dilibatkan dalam ibadah ritual Natalan, yang biasanya dianggap sebagai suatu kehormatan dalam membakar lilin. Kasihanlah pejabat itu, karena dilihat dari segi agama sang pejabat yang Islam itu, adalah suatu perbuatan yang terlarang untuk ikut serta dalam sistem peribadatan yang ritual di luar Islam. Dan ini juga termasuk peka. Supaya kita saling menghindarkan diri dari perbuatan yang peka ini, demi kerukunan hidup antar ummat beragama.

Yang keempat, tidak boleh ummat beragama lain disuruh meninggalkan agamanya secara paksa. Laa ikraaha fie ddien. Tidak boleh memaksa artinya tidak boleh agresif. Baik dalam hal informasi yang dikomunikasikan, berupa publikasi yang disebarkan. Ataupun dalam hal bentuk pemberian uang, berupa materi, kepada orang-orang miskin dalam bentuk kemasan sumbangan kemanusiaan dengan iming-iming konversi agama. Inilah yang disebut agresif.

Maka demikianlah adanya. Inilah aturan berlalu-lintas dalam kehidupan beragama di Indonesia. Supaya tidak terjadi tabrakan di antara dinamika ummat beragama yang pluralistis itu. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 27 September 1992