22 Juli 2007

788. Percaya kepada rasul-rasul Allah

Saya kutip dari Jendela Langit, kolom yang diasuh "anak" saya Qasim Matar, yang berjudul "Percaya kepada rasul-rasul Allah" bertanggal 10 Juli 2007 seperti berikut:
"Sebagai seorang muslim, konsekuensi keimanan saya kepada semua rasul ialah bahwa saya percaya bahwa rasul-rasul Allah itu telah mengajarkan hal-hal yang berbeda kepada masing-masing umat mereka. Perbedaan-perbedaan itu merupakan kebenaran-kebenaran."

Saya juga akan kutip dari Seri 755 yang berjudul "Najasi dari Habasyah vs Rombongan dari Najran" bertanggal 26 November 2006 seperti berikut:
"9 November dalam acara halalbihalal di IMMIM Prof.DR.H.Ahmad M Sewang, MA meminta kepada saya untuk memberi umpan balik nanti dalam hubungannya dengan isi Pidato Pengukuhan beliau sebagai Guru Besar dua hari yang akan datang...... Penganut doctrine Athanasius kemudian dikenal dengan Trinitarian Christian yang mayoritas sampai sekarang, sedangkan penganut doctrine Arius dikenal dengan Unitarian Christian, yang sekarang merupakan golongan minoritas, yaitu ummat Qibthi (Copti) di Mesir. Secara theologis Unitarian Christian ini sangat dekat dengan ajaran Islam, seperti yang didemontrasikan oleh Najasi sebagai garis sambil berkata: "Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini." Ini menunjukkan bahwa Najasi penganut doctrine Arius Alexander, yang menolak unsur ke-Ilahi-an Jesus. Sedangkan para delegasi dari Najran adalah penganut Trinitarian Chistian, sehingga secara theologis tidak bisa ketemu dengan ajaran Islam, yang menjadi asbabun nuzul, latar belakang turunnya ayat tentang mubahalah:
-- FQL T’AALWA ND’A ABNAaNA WABNAaKM WNSAaNA WNSAaKUM WANFSNA WANFSKM TSM NBTHL FNJ’AL L’ANAT ALLH ‘ALY ALKADzBYN (S. AL’AMRAN, 3:61) dibaca:
-- faqul ta’aalaw nad’u abnaana- wa abna-ukum wanisaana- wanisa-akum wa anfusana- wa anfusakum tsumma nabtahil fanaj’al la’nataAlla-hi ‘alal ka-dzibi-n (tanda – memanjangkan membacanya), artinya:
-- Maka katakan: Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; Kemudian marilah kita bermubahalah(*) kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.
---------------------------
(*)
Mubahalah ialah masing-masing pihak diantara orang-orang yang berbeda pendapat berdoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak yang berdusta. Nabi SAW mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani." Sekian kutipan itu.

***

Oleh sebab itu pernyataan Qasim Matar: “Perbedaan-perbedaan itu merupakan kebenaran-kebenaran,” itu perlu dipilah-pilah. Dalam hal theologi Arius Alexander, yang dianut oleh Najasi, yang menyatakan bahwa "Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini," di satu pihak versus theologi Athanasius yang dianut oleh para delegasi dari Najran, maka itu suatu keniscayaan bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Dan yang tidak benar ialah seperti dituliskan di atas, bahwa utusan dari Najran tidak berani bermubahalah dengan RasuluLlah SAW.

Marilah kita lihat ajaran Jesus sebagai utusan Allah:
Dikutip dari Bible publikasi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI)
Yahya 11:42 Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan aku: tetapi oleh karena orang banyak yang berdiri di sini yang mengelilingi, aku mengatakannya, supaya mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus aku.
Yahya 13:20
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa menerima orang yang kuutus, ia menerima aku, dan barangsiapa menerima aku, ia menerima Dia yang mengutus aku.
Yahya 17:3
Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.

Maka dengan tulus ummat Islam meyakini bahwa segala sesuatu yang diajarkan Nabi Isa AS sebagai utusan Allah, berasal dari Allah SWT. Jika ada ajaran yang “dikatakan dari Jesus” tetapi bertentangan dengan Al-Quran seperti ajaran yang dianut oleh para delegasi dari Najran tersebut di atas itu, maka itu bukanlah ajaran dari Jesus. Demikianlah pemilahan atas pernyataan Qasim Matar: “Perbedaan-perbedaan itu merupakan kebenaran-kebenaran,”

***

Berikut ini marilah kita tinjau syari’at yang dibawakan Nabi Musa AS. Memang dari segi hukum perang, ada perbedaannya dengan syari’at yang dibawakan Nabi Muhammad SAW:
-- WMA LKM LA TQATLWN FY SBYL ALLH WLMSTDh'AFYN MN ALRJAL WALNSAa WALWLDAN ALDzYN YQWLWN RBNA AKhRJNA MN HDzH ALQRYt ALZhALMYN AHLHA WAJ'AL LNA MN LDNK WLYA WAJ'AL LNA MN LDNK NShYRA (S. ALNSAa, 4:75), dibaca:
-- wama- lakum tuqa-tilu-na fi- sabi-liLla-hi walmustadh'afi-na minar rija-li wannisa-i walwilda-nil ladzi-na yaqu-lu-na rabbana- akhrijna- min ha-dzihil qaryatizh zha-limi ahluha- waj'allana- mil ladunka waliyyan waj'allana- mil ladunka nshi-ran (tanda – untuk memanjangkan), artinya:
-- Mengapakah kamu tiada mau berperang pada jalan Allah untuk (membebaskan) orang-orang yang lemah di antara laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak, sedang mereka itu berkata: Ya Pemelihara kami, keluarkanlah bagi kami dari negeri yang aniaya penduduknya dan adakanlah untuk kami seorang wali dari sisiMu dan adakanlah untuk kami dari sisiMu seorang penolong.

Dikutip dari Bible publikasi LAI:
Ulangan 20:
Ayat 16 Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kaubiarkan hidup apapun yang bernafas,
Ayat 17 melainkan kautumpas sama sekali, yakni orang Het, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.

Apa yang dinyatakan Qasim Matar bahwa perbedaan-perbedaan itu merupakan kebenaran-kebenaran, maka ini juga perlu dipilah, bahwa syari’at Musa itu tidak boleh lagi dipakai dalam era Nabi Muhammad SAW. Orang Yahudi sama sekali tidak boleh melaksanakan syari’at Musa untuk menumpas bangsa Palestina, sebagaimana dilakukan terhadap orang-orang: Amori, Kanaan, Feris, Hewi, dan Yebus, yang memang Yahweh memerintahkan membasmi bangsa-bangsa tersebut, entah apa sebabnya?, waLlahu a’lamu bishshawab.

*** Makassar, 22 Juli 2007