9 Desember 2007

805. Seribu Balon Kondom, dan Meningkatnya Penderita AIDS Karena Kondom

Tingkat pengidap HIV/AIDS di Sulsel yang terus meningkat dan mencapai 1600 orang membuat seluruh pihak prihatin. Pada halaman satu Harian Fajar edisi Minggu, 2 Desember 2007 terpampang gambar sepasang muda-mudi (?), yang mudi PD, sedangkan yang muda kurang PD karena pakai kaca mata hitam, dengan ceria berada di antara "gumpalan" seribu balon kondom dalam acara pelepasan kondom, dalam rangka Pekan Kondom Nasonal yang pertama kalinya diselenggarkan di Indonesia, menyaingi pelepasan burung merpati yang biasa dilepaskan. Ayak ayak wae, kotek (kita pinjam ungkapan yang disenangi Wapres Republik BBM, kecuali kata kotek), dari bahasa daerah Sunda, yang artinya ada-ada saja, sedangkan kata kotek dari bahasa Manado, yang artinya kurang lebih sama dengan bela di daerah ini, cenah dalam bahasa Sunda, atau onde-mande bahasa Minang, yang bahasa Indonesianya, amboi.

Saya teringat diskusi bulanan di IMMIM, (maaf saya lupa tanggalnya), tatkala membicarakan kegunaan kondom, seorang aktivis kampanya kondom untuk menangkis "serangan" terhadap kondom, ia mengatakan itu kodom telah dites ditiup menjadi balon dan tidak kempes. Serangan terhadap kondom itu berupa perbandingan antara virus HI (tanpa V, karena sudah ada kata virus di depannya), dengan pori-pori kondom, ibarat pintu gerbang dengan tikus. Sedangkan serangan balik terhadap kondom balon yang dikatakan tidak kempes, yakni itu ban mobil juga tidak kempes setelah diisi udara kempa, bahkan pori-pori ban mobil itu jauh lebih besar dari pori-pori kondom. Dipakai ungkapan kondom balon, ialah untuk membedakan dengan balon kondom seperti termaktub dalam judul di atas: balon kondom. Yang pertama berarti betul-betul kondom, sedangkan yang kedua ialah betul-betul balon, hanya kondom-kondoman. Yah, memakai hukum DM.

Baiklah saya kutip dari situs msn :
Updated: 4:57 p.m. ET Aug. 16, 2005
NEW YORK - Many visitors to a sexual health clinic report the usage of condoms, which appears to lead to a statistically significant increase risk of gonorrhea among men, according to the results of a new study.

Nah, ternyata kondom tidak menjamin, karena si "mas bakteri" bisa menembus kondom, apatah pula si "Bloody HIV" pun bisa mendahului "mas bakteri" inviltrasi ke organ reproduksi kaum "female".

Ini juga saya kutip (minta izin bos) dari tulisan Achmad Harun Muchsin berjudul: Kondom Bukan Solusi Cegah Penyebaran HIV/AIDS, Refleksi Peringatan Hari Aids Sedunia pada rubrik OPINI, Harian FAJAR, edisi Hari Sabtu 1 Desember 2007, seperti berikut:
Pori-pori kondom ternyata lebih besar dari pada ukuran HIV/AIDS itu sendiri. Dalam konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) dilaporkan bahwa penggunaan kondom aman tidaklah benar. Disebutkan bahwa pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang lebarnya pori-pori tersebut mencapai 10 kali (=1/6 mikron-HMNA-). Sementara kecilnya virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian jelas bahwa HIV dapat dengan leluasa menembus pori-pori kondom.

Ini juga kutipan dari http://waii-hmna.blogspot.com/1996/04/224-kampanye-penggunaan-kondom-dalam.html:
Nilai-nilai Al Furqan (aqidah, akhlaq dan hukum syari'at) adalah kebenaran mutlak, karena bersumberkan wahyu dari Yang Maha Mutlak:
-- ALHQ MN RBK (S. ALBQRt, 2:147), dibaca:
-- al haqqu mirrabbika, artinya:
-- Kebenaran itu dari Maha Pemeliharamu

Di negara-negara barat kebebasan seks sudah menirbudaya bahkan sudah menjadi nilai nirbudaya, oleh karena kebebasan seks itu sudah disepakati oleh komunitas. Hubungan seks tidak lain adalah masalah perdata. Kekuasaan hakim berdasar atas pola-pikir bahwa rentang kekuasaan hakim hanya menjangkau hingga pintu kamar tidur. Barulah menjadi urusan sistem peradilan jika suami dari isteri, ataupun isteri dari suami yang berhubungan seks itu berkeberatan. Sayangnya pola-pikir ini masih dianut oleh sistem peradilan di Indonesia, karena masih tertera dalam fasal 284 dalam KUHP.

Kondomisasi menyangkut nilai operasional kinerja, khususnya efektivitas. Kondomisasi tidak dapat dilepaskan dari sistem nilai komunitas di barat, yaitu kebebasan seks. Bagi komunitas yang menerima nilai bebas seks sebagai suatu kesepakatan (nilai nirbudaya), kondomisasi bukan masalah. Dalam kondisi yang demikian itu, kondomisasi yang bertumpukan nirbudaya bebas seks hanyalah menjadi urusan pribadi, sehingga dalam kalangan lembaga (dan para anggota lembaga itu) yang aktif dalam penanggulangan penyebaran HIV itu, kondomisasi bukanlah masalah yang harus ditentang, bahkan sangat dianjurkan oleh karena menyangkut nilai operasional kinerja khususnya efektivitas. Kondomisasi yang bertumpu di atas nilai nirbudaya bebas seks tidak sesuai dengan nilai agama terkhusus nilai akhlaq. Itu berarti bahwa atas dasar amar ma'ruf nahi mungkar, kondomisasi itu harus ditolak. Maka harus ditempuh upaya penaggulangan penyakit AIDS yang bersifat strategis tanpa kondomisasi. Hal ini telah dibahas dalam Seri 206, 10 Desember 1995 dengan judul: Upaya Strategis Menangkal Penyakit AIDS. Sekian kutipan itu.
Menurut alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945, bahwa negara harus melindungi rakyatnya, yang dalam hal ini tunas-tunas bangsa, yaitu Anak Baru Gede (ABG). Berdasar atas struktur piramida penduduk tanpa penelitian kita yakin bahwa ABG yang masih labil jiwanya jauh lebih banyak, karena berada pada posisi yang dekat ke dasar piramida. ABG bisa lebih tergiur berseks bebas akibat kampanye kondom merasa aman berseks, padahal mereka tertipu bahwa itu adalah keamanan semu berhubung kondom tidak menjamin memproteksi dari terobosan HIV.

Alhasil, berseks bebas meningkat, samada intensitas mapun kuantitas. HIV tambah meraja lela merambat bebas, karena "anggota" kelompok pemakai kondom bertambah jumlahnya, yang berarti bertambah pula orang terinveksi HIV, berhubung berkondom tidak menjamin kemanan terhadap HIV, tikus (1/250 mikron) dengan leluasa masuk ke pintu gerbang (1/6 mikron). Itulah penjelasan dari judul di atas: Meningkatnya Penderita AIDS Karena Kondom. WaLlahu a'lamu bisshawab.

***
Makassar, 9 Desember 2007