16 Desember 2007

806. 'Iyd al-Qurbaan Terkait pada Waktu dan Tempat: Wuquf di 'Arafah

Tulisan ini saya ambil dari penggalan yang saya sajikan dalam Mujadalah (diskusi) bulanan di hadapan Majelis Para Muballigh IMMIM yang diselenggarakan oleh DPP IMMIM

Sebermula mengenai peristilahan, yaitu ada perbedaan antara qurban dgn kurban dgn korban. Kurban dan korban diadopsi dari qurban.

Korban, hanya terkhusus atas manusia dan itu terdiri atas dua jenis. Pertama adalah mereka yang ditimpa musibah, oleh bencana alam. Yang kedua adalah mereka yang menjadi sasaran perbuatan jahat. Mati atau tidak mati, cedera atau tidak cedera, adalah mereka yang menjadi sasaran perbuatan jahat yang rumahnya hancur di Palestina, Afghanistan dan Iraq kena rudal para imperialis yang bengis, yaitu Israel, Amerika dan Inggris. Termasuk dalam hal sasaran jahat ini adalah Korban 40 000 di Sulawesi Selatan, yang baru-baru ini diperingati pada 11 Desember 2007 . Korban menurut arti yang kedua ini mempunyai arti spesifik yang sama artinya dengan mangsa.

Kurban, yaitu upacara khurafat ritual "accera'" (mengucurkan darah), seperti contohnya kepala kerbau, atau bahkan dalam agama primitif bisa berupa manusia juga, untuk dipersembahkan kepada hantu-hantu penguasa di tempat upacara khurafat itu, ataupun untuk persembahan kepada dewa-dewa. Persembahan itu dimaksudkan agar daging dan darahnya disantap dan diminum oleh para hantu dan dewa penguasa itu. Alhasil kata kurban berarti suguhan (offering) dan sesajen yang sakral (sacrifice), dan itu dapat saja terdiri dari manusia, binatang dan makanan.

Qurban adalah bahasa Al-Quran yang dibentuk oleh akar kata 3 huruf: Qaf-Ra-Ba [QRB], dengan wazan (pola) Fa-'Ain-Lam-Alif-Nun [F'ALAN], fu'laan, menjadi [QRBAN] qurbaan, artinya "dekat". Jika ditasrifkan menjadi taqarrub berarti mendekatkan diri. Seperti telah disebutkan di atas qurban ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk korban dan kurban. Akan tetapi kata-kata korban dan kurban dalam cita-rasa bahasa Indonesia sudah menyimpang dari makna "dekat" seperti dijelaskan di atas. Namun dalam pada itu apabila [QRB] dalam bentuk qarib, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam ungkapan sahabat karib, serta bentuk tafdhil (superlatif) yaitu aqrab dalam ungkapan pergaulan yang akrab, masih terasa maknanya yang asli. Kedua kata karib dan akrab tersebut masih kental cita-rasa makna bahasa asalnya, "dekat".

Qurban sama sekali tidak bermakna suguhan (offering) juga tidak bermakna sesajen yang sakral (sacifice). Firman Allah:
-- FADZA WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'AMWA ALQAN'A WALM'ATR , LN YNAL ALLH LHWHMA WLA DMA^WHA WLKN YNALH ALTQWY MNKM (S. ALHJ, 22:36-37), dibaca:
-- Faidza- wajabat junu-buha- fakulu- minha- wa ath'imul qa-ni'a walmu'tar , Lay yana-lal la-ha luhu-muha wala- dima-uha- wala-kiy yana-lut taqwa- mingkum, artinya:
-- Apabila rebah tubuhnya (binatang qurban) itu, maka makanlah daripadanya dan beri makanlah orang-orang miskin yang tidak mau meminta dan orang miskin yang meminta. Tidak sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak darah-darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya ketaqwaan kamu.

Alhasil, binatang-qurban disembelih, dagingnya untuk dimakan sendiri dan untuk diberikan kepada orang miskin sebagai fungsi sosial, sedangkan darahnya dibuang, karena haram hukumnya untuk dimakan, sama sekali tidak sakral. Secara tekstual binatang-qurban itu betul-betul disembelih, dan secara kontekstual, yaitu dalam konteks 'Ilm al Nafs (psikologi), bermakna metaforis, yakni menyembelih nafsun ammarah, binatang dalam Nafs (diri) manusia, sehingga dapat taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT.

***

Dalam hal permulaan puasa dan Idulfitri ada perintah spb:
-- 'An Abiy Hurayrata yaquwlu qaala nNabiyyu Sh M shuwmuw liru'yatihi wafthuruw liru'yatihi fain ghubbiya 'alaykum fakmiluw 'iddata sya'baana tsalaatsiyn, artinya:
-- Dari Abu Hurayrah (ia) berkata: Nabi SAW (telah) bersabda puasalah kamu apabila melihatnya (al Hilal) dan berbukalah apabila kamu melihatnya dan jika (al Hilal) tertutup atasmu maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban tiga puluh (HR Bukhari).
-- FMN SyHD MNKM ALsYHR FLYSMH (s. aLBQRt, 2:185), dibaca:
-- Faman syahida minkumusy syahra falyasumhu, artinya:
-- maka siapa menyaksikan syahr (month) wajiblah ia puasa.

Jadi dalam konteks puasa dan Idul Fithri ada perintah umum kepada semua ummat Islam untuk melihat bulan sabit (HR Bukhari) atau menghitung syahr (ayat 2:185), sehingga saat mulai puasa (shuwmuw) dan 'Iyd al-Fithri (wafthuruw) tergantung dari mathla', di tempat mana pada permukaan bumi ini kita berpijak, maka tidak perlu kita di Indonesia ini ataupun di mana saja harus sama dengan Makkah dalam hal waktu pelaksanaan mulai puasa ataupun shalat 'Iyd al-Fithrii.

Dalam hal Iyd al-Qurbaan tidak ada perintah melihat dan menghitung bulan kepada seluruh ummat Islam. Iyd al-Qurbaan adalah bagian dari ibadah haji, yang sentralnya ialah wuquf di 'Arafah, dengan demikian 'Iyd al-Qurbaan terkait di samping pada waktu, juga terkait pada tempat. Sedangkan dalam hal 'Iyd al-Fitjri hanya terkait pada waktu saja. Alhasil ummat Islam di seluruh dunia wajib mengikuti Makkah dalam hal shalat 'Iyd al-Qurbaan, pada 19 Desember 2007 termasuk puasa sunnat Hari 'Arafah sehari sebelumnya, yaitu 18 Desember 2007. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 16 Desember 2007