3 Februari 2008

813. Sekali lagi Gading dan Belang

Dalam Seri 811 yang ditulis sepekan sebelum Pak Harto berpulang ke RamatuLlah telah dinyatakan bahwa: Gajah mati meningglkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Gading adalah simbol dari perbuatan baik bagi seseorang, sedangkan belang adalah sebaliknya, yaitu perlambang perbuatan buruk seseorang. Gading Pak Harto yang tidak boleh dilupakan dan tidak boleh dihapuskan yaitu menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Sedangkan belang Pak Harto yakni KKN, sebagai buah dari kebijakan ekonomi di mana konseptornya adalah para ekonom dalam lembaga Center for Strategic and International Studies (CSIS), yang pada awal-awal berdirinya pernah membuat kesimpulan bahwa, Islam adalah faktor penghambat pembangunan bangsa. Kesimpulan itu dituangkan di dalam buku rencana kerja CSIS yang berjudul Master Plan Pembangunan Bangsa. Strategi pembangunan Orde Baru yang diotaki oleh para ekonom dari madzhab Berkely, menghasilkan pelaku ekonomi berat ke atas (170 konglomerat) yang membuahkan kolusi, korupsi, nepotisme yang bersimbah utang. CSIS sebagai konseptor strategi pembangunan akselerasi modernisasi, yaitu mempercepat (acceleration) petumbuhan ekonomi yang diukur dalam gross national product (GNP). Perbesar kuenya dahulu baru dibagi-bagi. Maka muncullah para taipan, konglomerat yang dekat istana (baca: nepotisme), yang disusul oleh anak cucu Suharto. Para taipan yang konglomerat ini bersama-sama dengan anak cucu Suharto memberikan imbas pada birokrat yang menumbuh suburkan kolusi dan korupsi. Demikianlah madzhab Berkeley ini yang tidak menghiraukan kebijakan yang populis dalam strategi pembangunan, yang bersinergi dengan gerakan "sikap kebulatan tekad" di bidang politik menjelang pemilihan presiden, itulah sesungguhnya yang bertanggung-jawab secara moral dan intelektual tumbuhnya KKN dalam era Suharto.

Pada awal-awal Orde Baru ditandai oleh "permainan stigma" terhadap Islam, baik dalam hal ekonomi (baca: pembangunan) seperti yang dilancarkan oleh CSIS tersebut di atas itu, maupun dari segi Hankam. Dari sekian banyak stigma terhadap Islam, yang paling dominan adalah stigma Islam yang dilancarkan Barat, yaitu dua stigma palsu terhadap Islam: golongan moderat-liberal dan fundamentalis-fanatik. Pembagian ini justru tidak dikenal di kalangan Islam sendiri. Peradaban Barat lahir dengan penyakit bawaan narcisisme dan nafsu mengeksploitasi peradaban lain untuk kepentingan-kepentingannya. Peradaban Barat mendefinisikan dirinya sebagai peradaban yang lebih tinggi ketimbang belahan dunia lain. Superioritas geopolitik Barat membawa mereka untuk mendefinisikan dunia dalam dua bagian: The West and The Rest. Dan ini tidak lahir dengan sekonyong-konyong. Ia dibentuk oleh suatu kebanggaan luar biasa terlahir sebagai bangsa Barat yang berperadaban tinggi, terutama pasca era Renaissance. Max Dimont, seorang sejarawan Yahudi liberal, mengatakan bahwa orang Barat menderita narcisisme: penyakit mengagumi diri sendiri, dan tidak memiliki kesediaan untuk mengakui bahwa peradabannya merupakan sumbangan dari peradaban yang ada sebelumnya. Padahal dalam kenyataannya peradaban Barat berutang luar biasa besar kepada Islam. Penyakit narcisisme ini berbasis legitimasi keagamaan Judeo-Christian. (Judeo memandang Islam sebagai gentile, yang bermakna sebagai orang tak beradab, sedangkan dalam Perang Salib, Christian menyebut tentara Islam dengan sebutan Saracen, yang kurang lebih sama dengan gentile). Peradaban Barat tidak punya itikad baik untuk berdampingan dengan peradaban Islam dalam kesejajaran.

Itulah semua yang menjiwai Samuel Huntington dengan ia punya "Clash of Civilization". Menurut Huntington sesudah komunisme tumbang, maka musuh Barat dewasa ini adalah Islam. Oleh sebab itu barat harus mewaspadai gerakan-gerakan kaum fundamentalis Islam. Termakan oleh doktrin Huntington ini, maka setelah Orde Baru menumpas komunisme sebagai gading Suharto, maka pada awal-awal Orde Baru dilanjutkan dengan menghadapi Islam secara represif yang merupakan belang Suharto. Sejalan dengan itu di Indonesia ini muncullah gerakan-gerakan Islam yang dipelopori kaum intelektual muda pada dasawarsa 80-an pasca Revolusi Iran, yang merupakan bentuk perlawanan ideologis terhadap peradaban Barat. Penyakit sosial yang merajalela, kemerosotan akhlak dan nilai susila, menjadi katalis ampuh yang menumbuh-suburkan semangat kembali kepada kemurnian Islam. Pada dasawarsa pertama munculnya gerakan ini, fokus utamanya adalah berupaya membentuk opini masyarakat untuk kembali kepada nilai-nilai luhur Islam. Dan memang terbukti kemudian kelompok-kelompok ini telah melahirkan generasi baru yang mempersulit gerak leluasa pengaruh Barat di Indonesia. Mereka rata-rata berpendidikan tinggi dan datang dari kalangan mapan, salah satu indikator betapa kuatnya motivasi ideologis di dalam gerakan-gerakan ini. Demikianlah pada awal-awal Orde Baru yang ditandai dengan kebijakan Hankam yang berbau doktrin Huntington tsb., yang berbenturan dengan gerakan perlawanan ideologis tersebut. Ini mencapai puncaknya semasa Beny Moerdani menjadi Pangab dan Try Sutrisno sebagai Kasad, yaitu tragedi Tanjung Priok (1984), Kemudian disusul dengan tragdi Lampung-Talang Sari Berdarah (1989). Belang Pak Harto terhadap sebagian ummat Islam ini telah diperbaiki dengan gading beliau berwujud "mengizinkan" B.J. Habibie menjadi Ketua ICMI menjelang akhir kekuasaan Orde Baru.
Firman Allah:
-- WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD WATQWA ALLH (S. ALHSYR, 59:18), dibaca:
-- waltanzhur nafsum ma- qaddamat lighadin, artinya:
-- dan mestilah orang mengkaji masa lalu untuk masa depan.

Gading Pak Harto menumpas komunisme dan kesadaran beliau atas kekeliruannya telah termakan narkoba Barat berupa stigma terhadap Islam, sungguh elok diteruskan dan sebaliknya belang Pak Harto berupa KKN ditingkatkan membasminya. WaLlahu a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 3 Februari 2008