"Pada umumnya gejala fundamentalisme Islam mengambil bentuk intensifikasi penghayatan Islam dalam format yang sangat tekstualis, baik dalam bentuk intensifikasi keislaman yang berorientasi ke dalam (inward oriented) yang lebih bersifat individual (psikologis), maupun yang berorientasi ke luar (outward oriented) yang lebih bersifat social-politik. Kelompok fundamentalis Islam (KFI) secara esensial memperjuangkan Islam sebagai pedoman hidup menyeluruh. Islam yang mencakup seluruh aspek dalam kehidupan manusia: mecakup system nilai dan system hukum. Islam berisi ajaran yang serba lengkap. Karena itu, istilah-istilah ekonomi Islam, politik Islam, keluarga Islam, Negara Islam, bank Islam, Ilmu pengetahuan Islam mendominasi retorika kelompok ini.
Secara sinis SMM memakai ungkapan KFI, padahal kalau disimak lebih jauh dan teliti, bukankah KFI itu bermakna AhlusSunnah? Dalam Bedah Buku Kiamat Segera Tiba, Karya Prof HA Halim Mubin (HM) pada 28 Juli 2010, antara lain saya kemukakan:
-- LKM DYNKM WLY DYN (S. ALKFRWN, 109:6), dibaca: lakum di-nukum waliya di-n, artinya:
-- Untuk kamu agamamu, dan bagiku agamaku.
Pertama, KFI memperjuangkan Islam hanya sebatas retorika dan kedua, alternatif-alternamatif mereka yang sangat terbatas dan konsep-konsep mereka secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman yang semakin meningkat," itu sama sekali tidak benar, lain yang gatal lain yang digaruk.
8 Agustus 2010
935 Refleksi Kritik Siti Musdah Mulia atas Fundamentalisme
Saya mulai dengan mengutip cuplikan tulisan Siti Musdah Mulia (SMM) yang daimbil dari: => http://kalyanamitra.or.id/newsdetail.php?id=0&iddata=94
Berbeda dengan kelompok pembaru (modernis) yang menenkankan pada aspek teologi atau nilai-nilai, KFI justru menekankan pada aspek fiqh dan memandang fiqh sebagai perwujudan dari teologi. Dan keterpaduan teologi dan fiqh ini melahirkan suatu komunitas Islam yang unik. Bagi mereka, Islam adalah identitas dalam kehidupan sosio-politik. Namun, secara sosiologis, pandangan fundamentalisme tidak memiliki masa depan Islam dimanapun, termasuk di Indonesia. Hal itu mengingat tendensi mereka yang menekankan literalisme sehingga pada gilirannya mengalami pemiskinan intelektual. Alternatif-alternmatif mereka yang sangat terbatas dan konsep-konsep mereka secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman yang semakin meningkat."
Refleksi:
Berbeda dengan kebiasaan umum, saya mulai dengan kesimpulan: Karena seperangkat postulat (unproven statements) dari HM diambil dari ayat-ayat Al-Quran, maka ijtihad HM itu tidak merusak Aqidah, sehingga ijtihad HM kalau benar pahalanya dua, bila salah pahalanya satu, seperti juga yang dikemukakan Prof Azhar Arsyad dalam sambutannya.
Ijtihad HM ini sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para penganut "Islam" Liberal yang mereka dalam exegesis kontekual ayat Al-Quran memakai postulat produk benak manusia yaitu sekularisme, liberalisme, pluralisme dan genderisme (kesetaraan gender), yang memposisikan Wahyu di bawahnya akal manusia.
***
Sekularisme, liberalisme dan genderisme tidak perlu dijelaskan lebih jauh, orang sudah faham. Lain halnya dengan prularisme. Beberapa pandangan ttg pluralisme:
Tokoh sufi Ibnu Arabi (560-638H/1165-1240M): Wihdatu al-Adyan (integrasi agama-agama). John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths (1973): the Universe of Faiths. Komunitas Utan Kayu (sarangnya Jaringan Islam Liberal) dalam situs ww.islamlib.com: semua agama itu sama dan paralel, dan kita tidak boleh memandang agama lain dengan kacamata agama kita sendiri, tidak boleh ada truth claim dan salvation claim. Prof Syafii Maarif (SM) dalam acara Kick Andy malam Jum'at (Kamis malam), 29/7-2010: Pluralisme harus mendapatkan perhatian utama, karena bangsa Indonesia lahir dari banyaknya suku-suku yang bersatu. The Random House Dictionary of the English Language, p.1022: Pluralism, a theory that there is more than one basic principle. Beberapa pandangan (termasuk SM) yang mengacaukan makna pluralisme yang menganggap sama dengan istilah pluralitas. Istilah ini diadopsi dari plurality, yang menurut The Random House Dictionary of the English Language, p.1022: "the state or fact of being numerous."
Jadi sesungguhnya ada perbedaan antara pluralisme dengan pluralitas. Pluralisme itu semacam teori sedangkan pluralitas adalah keadaan atau fakta keberagaman. Perbedaan di antara keduanya sebenarnya tidak terlalu musykil difahami jika mengacu pada Firman Allah SWT:
Jadi sekali lagi ditekankan: para penganut "Islam" Liberal (antara lain Siti Musdah Mulia) yang mereka dalam exegesis kontekual ayat Al-Quran memakai postulat produk benak manusia yaitu sekularisme, liberalisme, pluralisme dan genderisme, yang memposisikan Wahyu di bawahnya akal manusia. Inilah yang diharamkan oleh Fatwa MUI no.7: haram hukumnya dalam konteks pemahaman Jaringan Islam Liberal.
Tulisan SMM yang menyatakan:
Pertama, perjuangan AhlusSunnah bukan hanya sekadar retorika, melainkan fakta dan kedua, Al Imam Asy-Syafi'i rahimahullah (150-204 H) menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi'i sebagai kitab pertama dalam Ushul Fiqh. Dalam hal ibadah mahdhah (ritual), memang berlaku qaidah Ushul Fiqh: Hukum asal dalam ruang ibadah mahdhah adalah ikut pada apa yang diperintahkan Nash (Al-Quran dan Sunnah), tidak boleh menambahi, ataupun mengurangi. Namun dalam hal yang menyangkut mu'amalaat (non-ritual, sosiologis) berlaku Qaidah: Semua boleh, asal tidak bertentangan dengan Nash.
Jadi dalam hal mu'amalaat, kita berlomba-lomba untuk terus berkarya, berkreasi seinovatif dan semodern mungkin dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Tuntutan-tuntutan zaman yang semakin meningkat dapat dihadapi dengan qaidah Ushul Fiqh tersebut. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 8 Agustus 2010