***
"Terima kasih Oom !" Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.
Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayut langit Jakarta.
"Terima kasih ya mbak ... semuanya dua ribu lima ratus rupiah!" tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.
"Maaf, nggak ada kembaliannya ... ada uang pas nggak mbak ?" mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
"Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan ?" suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah.
"Nggak punya!", tukas saya. Lalu tak lama si wanita berkata
"Ambil saja kembaliannya, dik !" sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.
"Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !"
Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar "Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ketukang ojek !"
"Eeh ... nggak usah ... nggak usah ... biar aja ... nih !" saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya,
"Nanti dulu Om, biar ditukar dulu ... sebentar."
"Nggak apa apa, itu buat kalian" lanjut saya.
"Jangan ... jangan oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga" anak itu bersikeras.
"Sudah ... saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !", saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat.
"Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..". Ia memberi saya delapan pack tissue.
"Buat apa ?", saya terbengong
"Habis teman saya lama sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu". Walau dikembalikan ia tetap menolak.
"Terima kasih Om !"..mereka kembali keujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan,
"Duit mbak tadi gimana ..?" suara kecil yang lain menyahut,
"Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin .......".
Percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan.
Hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta-minta dengan berdagang tissue. Dua anak kecil yang bahkan belum baligh, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia.
-- WASyKRWA LY WLA TKFRWN (S. ALBQRt, 2:152), dibaca: wasykuru- li- wala- takfuru-n, artinya:
-- Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
29 Agustus 2010
938 Test Case dan Manusia Super
Memperpanjang 3 periode masa jabatan SBY, itu test case malu-malu kucing! Mengapa tidak sekalian saja presiden seumur hidup bergelar Pemimpim Besar Revolusi, eh Reformasi? Setelah isu itu mendapat kritikan pedas dari mana-mana, mengapa barulah para petinggi Partai Demokrat (PD) dan PAN kebakaran jenggot? Skenario grand design PD dan PAN, lempar batu sembunyi tangan? Pemain sinetron Ruhut Poltak Sitompul yang melemparkan test case bola panas itu hanya kayu pappallu (kayu bakar)!
Siang ini 6 February 2008, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka mahluk-mahluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan. Dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan:
Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, duapertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.
Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang "Sudah buat kamu saja, nggak apa-apa ambil saja !", namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut.
Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari kearah saya.
Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastic hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.
Tuhan ......
***
Di atas itu adalah kisah pengalaman seseorang yang diposting Elza Peldi Taher di cyber space di milis (mailing list) Surau. Sebuah ilustrasi hasil didikan orang tua super (bukan "super" seperti basa-basi dari Mario Teguh di Metro TV), yang berhasil mendidik anaknya tentang makna syukur. Orang tua super yang tidak larut dalam palu godam tatanan hidup (budaya) tengik nafsi-nafsi metropolitan, yang menghayati ayat:
Kata syukur adalah bentuk mashdar dari akar kata [Syin-Kef-Ra = merasa ridha dan puas sekalipun hanya sedikit]. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 29 Agustus