***
 
Apakah halalbihalal itu  bahasa Arab? Ya dan tidak. Kalau kata-kata itu tersusun seperti itu, maka itu  bukan bahasa Arab melainkan ungkapan bahasa Indonesia. Kalau kata-kata itu  berdiri sendiri, maka jawabnya: ya. Jarang orang tahu bahwa ungkapan tersebut  adalah hasil kreasi Bung Karno. Sebenarnya kalau menilik pada Hadits Shahih,  maka hasil kreasi Bung Karno itu ada juga landasannya.
  
Dari Abi  Hurairah berkata, bersabda RasuluLlah SAW:  Siapa yang pernah berbuat  kezhaliman terhadap orang baik menyangkut kehormatan atau perkara-perkara  lainnya, maka hendaklah ia meminta kehalalan dari orang tersebut pada hari ini  (di dunia) sebelum (datang suatu hari di mana di sana) tidak ada lagi dinar dan  tidak pula dirham (untuk menebus kesalahan yang dilakukan, yakni pada hari  kiamat). Bila ia memiliki amal shalih diambillah amal tersebut darinya sesuai  kadar kezhalimannya (untuk diberikan kepada orang yang dizhaliminya sebagai  tebusan/pengganti kezhaliman yang pernah dilakukannya). Namun bila ia tidak  memiliki kebaikan maka diambillah kejelekan/dosa orang yang pernah dizhaliminya  lalu dipikulkan kepadanya" (HR Al-Bukhari).
 
Perhatikan untaian kata  dalam Shahih Bukhari yang dikutip di atas itu:  "meminta kehalalan."  Meminta kehalalan, kalau dilakukan timbal balik yaitu saling menghalalkan, halal  dibalas dengan halal, maka itulah halalbihalal, saling memaafkan dengan ikhlas.  Lalu apa akibatnya kalau dosa tak langsung itu tidak terselesaikan di dunia ini?  Maka itu diselesaikan / membayar hutang pada hari kiamat seperti Shahih Bukhari  yang dikuip di atas itu. 
 
Dalam hubungannya membayar hutang pada  hari kiamat ini ada Hadits yang lebih teperinci:
Rasulullah bersabda:  "Tahukah kalian siapakah al-muflis (bangkrut) itu?" Mereka menjawab: "Al-muflis  di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki  harta/barang." Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya al-muflis dari ummatku adalah  orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan  zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kezhaliman. Ia pernah mencerca  (syatama) si ini, menuduh tanpa bukti (qadzafa) terhadap si itu, memakan harta  (akala maala) si anu, menumpahkan darah (safaqa daama) orang ini dan memukul  (dharaba) orang itu. Maka sebagai tebusan atas kezhalimannya tersebut,  diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga  apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang  dizhaliminya sementara belum semua kezhalimannya tertebus, diambillah kejelekan/  kesalahan yang dimiliki oleh orang yang dizhaliminya lalu ditimpakan kepadanya,  kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka (faturihat finnaar)" (HR  Muslim).
 
***
-- WLA  TAaKLWA AMWALKM BYNKM BALBThL WTDLWA BHA ALY ALhKAM LTAaKLWA FRYQA MN AMWAL  ALNAS BALATsM WANTUM T'ALMWN (S. ALBQRt, 2:188), dibaca: wa laa ta'kuluu  amwaalakum bainakum bilbaathili wa tudluu bihaa ilal hukkaami lita'kuluu  fariiqam min amwaalin naasi bilitsmi wa antum ta'lamuun, artinya:
-- Dan  janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu  dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada  hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu  dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
 
Para koruptor  yang akala maala uang rakyat yang di dunia ini lolos dari pranata hukum, akan  menjadi muflis di akhirat kelak. 
 
Para pengembang dengan jeli dan licik melihat lahan-lahan yang  secara hukum masih bebas untuk digarap, dengan mudah mendapatkan serifikat izin  membangun dengan jalan memberikan obat pelicin pada oknum birokrat dan dengan  alasan pajak yang bisa diterima oleh lembaga negara maka izin membangun itupun  jadilah. Para penduduk yang malang itu ibarat berebut pisau dengan pengembang di  hadapan hukkam: Penduduk malang itu memegang mata pisau yang tajam, pengembang  memegang gagang pisaunya, karena punya kekuatan hukum bukti yuridis Surat Izin  Membangun Bangunan (IMB). Maka tergusurlah penduduk yang bermukim di daerah  pinggiran kota itu.
 
*** Makassar, 19  September 2010
19 September 2010
940. 'Iyd al-Fithr, Halalbihalal dan Muflis
Menurut kebiasaan hingga pertengahan bulan Syawwal, dua  pekan setelah Shalat 'Iyd al-Fithr kita masih dalam suasana halalbihalal. Apa  relevansinya antara 'Iyd al-Fithr dengan halalbihalal? 'Iyd al-Fithr kembali ke  fithrah ibarat kertas putih bersih dari dosa, itu kalau dilakukan syaratnya,  yaitu: Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan menghisab diri, maka  diampuni dosanya yang telah liwat (HR Al-Bukhari). Ada dua jenis dosa, yaitu  langsung dan tidak langsung. Kalau minum khamar (mabuk atau tidak mabuk) dosanya  masuk kategori dosa langsung, maka kalau bertobat bisa diampuni Allah. Tetapi  kalau waktu mabuk dia pukul orang maka inilah dosa yang tidak langsung. Allah  tidak akan mengampuni walaupun dia bertobat, jika orang yang teraniaya tadi  tidak memaafkannya secara ikhlas. Itulah relevansinya antara 'Iyd al-Fithr  dengan halalbihalal. 
 Paket ayat-ayat tentang puasa ditutup dengan:
 Rakyat pedalaman berurbanisasi ke kota menempati lahan  yang masih "perawan" di pinggir-pinggir kota. Mereka mengeringkan tanah  berpayau, menimbun lahan-lahan rendah, bermukim turun-temurun. Kasihan mereka  buta hukum menghadapi roda besi pembangunan fisik kota. Karena mereka buta hukum  mereka tidak mengurus surat-surat izin membangun di lahan yang telah  dikeringkan, yang telah ditimbun, yang ditempatinya bermukim turun-temurun.  
 Para polisi yang qadzafa (merekayasa orang menjadi  tersangka), safaqa daama dan dharaba terperiksa akan dibayar pula pada hari  kiamat. 
 Nah, itulah semua: "akala maala" dengan protap: "tudluu  bihaa ilal hukkaami lita'kuluu fariiqam min amwaalin naasi bil itsmi wa antum  ta'lamuun", dan "qadzafa, safaqa daama, dharaba", akan berakibat: "faturihat  finnaar".  WaLlahu a'lamu bisshawab.

