11 September 2011

991 Tanggapan, Ulasan dan Himbauan

Lembaga Penerbangan dan Antasariksa Nasional mengusulkan agar pemerintah menaikkan standar imkan rukyat 4 derajat. "Ini agar tidak ada lagi dikotomi hisab dan rukyat. Jadi, dua-duanya sudah bisa bersatu karena kriteria imkan rukyat bisa digunakan dalam hisab dan rukyat," kata astronom riset Lapan Thomas Djamaluddin di Jakarta kemarin.
http://www.fajar.co.id/read-20110902010515-lapan-usulkan-empat-derajat
 
Tanggapan:
 
Sidang itsbat penentuan Iyd al-Fihtri 1418/1998 menolak kesaksian di Cakung dan Bawean, karena hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyah 2°. Namun PWNU Jawa Timur tidak tunduk pada PBNU dan hasil sidang itsbat, karena menerima kesaksian di Cakung dan Bawean tersebut.
 
Tim rukyat Kementerian Agama di Jepara melihat hilal pada Senin sore. Tim Rukyat di Cakung, Jakarta Timur juga telah melihat hilal antara jam 17.57 sampai 18.02 WIB oleh tiga orang saksi: H Maulana Latif SPdI, Nabil Ss dan Rian Apriano. Mereka diambil sumpahnya oleh Rais Suriah Wilayah NU DI Jakarta KH Maulana Yusuf, didampingi Ketua Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab, dan Pimpinan Pondok Pesantrean Al-Itqon, KH Mahfud Assirun. Bahkan KH Maulana Kamal Yusuf meminta ummat Islam yang terlanjur berpuasa pada hari Selasa supaya membatalkan puasanya. Juga ribuan warga Nahdliyin Jawa Timur berlebaran hari Selasa, berdasarkan rukyah yang dilakukan oleh KH Ilyas Jauhari. Tim rukyat ormas yang melihat hilal Senin sore, di antaranya: Jama'ah Anshorut Tauhid, Majelis Mujahidin Indonesia, Jum'iyat An-Najat, dan Hizbut Tahrir Indonesia.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/08/30/15969/hilal-sudah-terlihat-senin-sore-tapi-pemerintah-tetapkan-1-syawal-hari-rabu/
 
Jadi fakta menunjukkan, sedangkan imkanur rukyat 2° saja secara internal NU pecah, baik pada tahun 1418/1998 maupun sekarang ini. Betapa pula jika akan dinaikkan menjadi 4° derajat. Akan bertambah banyaklah jumlahnya kesaksian yang akan ditolak sidang itsbat. Wahai tuan Thomas Djamaluddin yang pakar. berhentilah berangan-angan.
 
***
 
Ulasan:
 
Garis lengkung tempat kedudukan titik-titik di mana tinggi hilal 0°itu merupakan garis batas wujudul hilal [GBWH]. GBWH ini bergerak dari wulan (syahr, month) ke wulan berikutnya. Jika GBWH berada dekat Indonesia maka akan terjadilah seperti yang kita alami di Indonesia sekarang. Keadaan ini akan tetap terjadi secara perodik sebab secara periodik GBWH datang berkunjung dekat bahkan memotong Indonesia.
 
Jika GBWH memotong Indonesia, maka dalam hal ini Muhammadiyah memberlakukan konsep mathla' (bukan lagi Wilayatul Hukmi) sebagaimana yang tertuang dalam putusan Munas Ke-27 Tarjih pada 3-8 Juli 2010 di Makassar. Apa artinya itu? Jika GBWH membelah Indonesia, maka di antara warga Muhammadiyahpun akan berbeda dalam mulai berpuasa ataupun ber-'Iyd al-Fithri, karena di sebelah barat GBWH telah terjadi wujudul hilal, sedangkan di sebelah timur GBWH hilal belum wujud.
 
Sebagai perbandingan, penduduk yang bermukim seperti di Republik Kepulauan Kiribati di Pasifik yang dipotong oleh garis batas International Date Line (IDL) ataupun di pulau-pulau dekat-dekat sebelah timur dan barat IDL, setiap tahun terlihat dua kali orang Natalan ataupun bertahun baru. Yaitu pemukim di sebelah barat IDL yang Natalan menyusul tetangganya di seberang yang bermukim di sebelah timur IDL yang telah Natalan kemarin.
 
***
 
Imkanur rukyah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ijtima' terjadi sebelum matahari terbenam.
2. Umur bulan baru pada saat matahari terbenam telah lebih dari 8 jam sejak ijtima'.
3 Ketinggian hilal di atas ufuk saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan qamariyah tidak kurang dari 2° dan sudut bulan-matahari tidak kurang dari 6,8°.
 
Syarat untuk wujudul hilal adalah sebagai berikut:
1. Ijtima' terjadi sebelum matahari terbenam.
2. Posisi hilal pada saat matahari terbenam sudah di atas ufuk.
 
Himbauan:
 
Syarat 2 dan 3 dari imkanur rukyah itu adalah syarat bahwa mata tidak silau lagi oleh sinar matahari. Inilah makna "lirukyatihi" dalam Hadits:
-- Dari Abu Hurayrah (ia) berkata: Nabi SAW (telah) bersabda puasalah kamu karena melihatnya (liru'yatihi) dan berbukalah kamu karena melihatnya (liru'yatihi) dan jika tertutup atasmu maka sempurnakanlah bilangannya tiga puluh (HR Bukhari).
 
Patut menjadi perhatian, bahwa kepekaan mata manusia tidak sama, sehingga ada saja beberapa orang yang matanya sanggup mendeteksi hilal walaupun di bawah 2°, di mana majlis dalam sidang itsbat dengan prinsip pada pokoknya secara mutlak sangat gampangan menolak hasil rukyah mereka.
 
Sepatutnya ketiga orang saksi yang melihat hilal di Pondok Pesantren Al-Husainiyah di Jakarta Timuur itu diundang oleh Menteri Agama menghadiri sidang itsbat. Dan di samping itu setelah laporan yang merukyah itu masuk, sebelum sidang Menteri Agama memerintahkan stafnya untuk menghitung berapa % deviasi di bawah 2°. Sehingga jangan serta-merta asal di bawah 2° lalu pada pokoknya wajib ditolak.
 
Kalau ketiga orang saksi yang telah diambil sumpahnya tersebut pengetahuan mereka tentang seluk-beluk melihat hilal itu sudah terjamin oleh hasil "ujian" oleh pakar dalam siding itsbat tsb, maka dikoreksilah patokan di atas 2° itu menjadi di atas 2°- 1,86% (#)
 
Dihimbau pula agar syarat untuk wujudul hilal ditambah lagi satu butir, sehingga menjadi:
1. Ijtima' terjadi sebelum matahari terbenam.
2. Posisi hilal pada saat matahari terbenam sudah di atas ufuk
3. Sinar pantulan matahari oleh bulan sudah mengatasi sinar langsung dari matahari, artinya mata tidak silau lagi sehingga mampu mendeteksi hilal.
 
Butir tambahan (3) sesuai dengan Keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah 1932, yang menegaskan bahwa datangnya awal bulan dengan rukyah dan hisab.
-----------------
(#)
Tinggi hilal 1° 57' 45,08". Deviasi 2° - 1° 57' 45,08" = 2' 14,12" = 2' + 14,12/60' = 2' + 0,235' = 2,235' = [100 x 2,235/(2 x 60)] % = 1,86%
 
WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
*** Makassar, 11 September 2011