15 November 1992

055. Kriteria dan Gaya Kepemimpinan serta Output yang didambakan

Sesudah shalat Jum'at Drs H.Abdurrahman, yang dosen IAIN bertanya kepada saya, apa saya telah dapat undangan sarasehan tentang kriteria kepemimpinan daerah. Setelah saya menjawab tidak, ia berkata nama saya ada di antara yang akan diundang, artinya undangan belum sempat disampaikan. Sampai hari petang undangan belum samapai juga. Saya putuskan untuk tidak hadir, lebih-lebih saya belum menulis untuk FAJAR. Saya pikir lebih baik kalau saya tulis saja untuk FAJAR, dan saya tambahkan gaya di samping kriteria, karena kepribadian dan watak seseorang akan mewarnai gaya kepemimpinannya. Lagi pula yang penting adalah output yang diinginkan dari kepemimpinan itu bagi rakyat yang dipimpin.

Lebih baik saya bercerita tentang Khalifah 'Umar ibn al Khattab radhiyaLlaahu 'anhu. Dan yang akan diceritakan tentu saja fragmen-fragmen yang relevan. Yang dari fragmen itu akan dapat disauk keluar tentang kriteria dan gaya kepemimpinan yang masih aktual, yang masih cocok sampai sekarang ini, dan tentang output yang dihasilkan oleh kepemimpinan itu.

Kita mulai dari fragmen waktu 'Umar akan hijrah. Jadi tentu saja cerita ini jauh sebelum 'Umar menjadi khalifah. Sebelum meninggalkan Mekah, 'Umar lebih dahulu mendatangi orang-orang Quraisy yang sedang hadir di Ka'bah, yang waktu itu Ka'bah masih dikotori dengan patung-patung berhala. Dengan lantang 'Umar berpidato singkat di hadapan orang-orang Quraisy itu. Pidato singkat itu dibuka Umar dengan memuliakan Allah dan menghinakan berhala-berhala itu. Dan pidatonya ditutup dengan tantangan. "Barang siapa yang ingin isterinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim, maka tunggulah 'Umar di luar Makkah, karena 'Umar akan hijrah sekarang ini."

***

Pada waktu 'Umar terpilih menjadi khalifah yang kedua, maka isi pidato "pengukuhannya" antara lain seperti berikut. "Sekiranya saya ketahui ada yang lebih cakap dan lebih baik dari saya, maka demi Allah saya tidak akan memangku jabatan ini." Namun pidato pengukuhannya itu diinterupsi, disanggah oleh seorang asysyabab, pemuda dengan hunusan pedang. Yaitu pada waktu 'Umar berucap: "Apabila tindakan saya benar, ikutlah saya dan apabila saya menyimpang luruskalah saya." Asysyabab itu menghunus pedangnya dan dengan suara lantang ia berkata: "Hai 'Umar, apabila engkau menyimpang, akan saya luruskan engkau dengan pedang saya ini." Lalu bagaimana reaksi 'Umar? Dengan senyum 'Umar berkata: "AlhamduliLlah, puji bagi Allah yang telah memberikan keberanian kepada seorang hambaNya, seorang asysyabab, yang bersedia meluruskan 'Umar dengan pedangnya."

***

'Umar tidak begitu senang dengan laporan bawahannya. Ia lebih senang mendapatkan data primer ketimbang data sekunder. Lalu apakah 'Umar punya cukup waktu, punya cukup kesempatan untuk meliput semua itu secara langsung? Kalau zaman sekarang ada ilmu statistik, tidak perlu populasi itu diliput secara keseluruhan, cukup dengan mengambil sample saja, biasanya dengan acakan, kalau perlu didahului dengan stratifikasi. Di zamannya 'Umar ilmu itu tentu belum ada. Lalu 'Umar pakai apa? 'Umar tidak pakai ilmu zhahir, melainkan ilmu kejernihan bathin dan intuisi yang tajam. Dia akan mendapatkan sample yang tepat-tepat. Di bawah ini ada dua fragmen tentang hasil liputan Umar secara langsung, data primer.

***

Suatu malam di daerah pinggiran Umar mendapatkan dialog yang menarik. Suatu data primer tentang akhlaq rakyatnya, rakyat kalangan kecil, kalangan daerah pinggiran. "Yah, ibu mengapa engkau akan mencampur susu dagangan kita ini dengan air, keluh anak gadis sang ibu. Supaya jumlahnya banyak, kita akan dapatkan pula hasil dengan harga yang banyak." "Akan tetapi bukankah hai ibu itu suatu perbuatan yang melanggar hukum," menyanggah sang anak yang gadis itu. "Ah, mana Umar akan tahu pelanggaran ini." "Ibu, jangan lupa, 'Umar barangkali tidak akan tahu, akan tetapi Pencipta 'Umar niscaya tahu pelanggaran ini." Dialog terputus dan Umar kembali, mencari anaknya Abdullah, yang kebetulan sedang nyenyak tidur. 'Umar membangunkan Abdullah lalu berucap. "Hai Abdullah saya sudah dapatkan jodoh yang baik buat kamu, seorang gadis miskin yang mulia akhlaqnya." Abdullah menuruti pilihan ayahnya. Ia tentu tidak berpikir seperti pemuda kontemporer yang bersikap yang dinyatakan dengan untaian kata mengejek: Bayangkan, seorang anak kepala negara bersedia menikah dengan "gadis pinggiran". Dari perkawinan Abdullah ini dengan gadis itu menurunkan seorang anak yang terkenal pula dalam sejarah, Khalifah 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz.

***

Suatu hari 'Umar menemukan seorang anak yang sedang menggembalakan sekelompok biri-biri. 'Umar ingin menguji kejujuran anak itu. "Hai anak, saya ingin membeli biri-biri seekor. Sang gembala menjawab: "Saya ini hanya seorang budak penggembala. Biri-biri ini bukan milik saya, tetapi tanggung jawab saya. Kalau tuan ingin membeli barang seekor, temuilah tuan saya yang rumahnya di balik buit itu." "Ya, anak, 'Umar berujar pula, teralu jauh ke sana. Saya berikan saja uang, sebutkan harganya, lalu laporkan kepada tuanmu." "Hai tuan sudah kukatakan tadi, saya ini bukan pemilik, jadi saya tidak berhak mengambil keputusn untuk menjualnya. "Yah, katakan saja, kepada tuanmu itu bahwa biri-biri yang saya beli itu diterkam binatang buas, dan uangnya engkau ambil." "Tuan, saya ini bukan saudaranya Nabi Yusuf AS." Dan dengan mata yang membelalak budak gembala itu membentak 'Umar: "Fa ayna Llah? Maka di manakah Allah?"

***

Dari fragmen-fragmen di atas kita dapat menimba sendiri kriteria dan gaya kepemimpinan, serta hasil pembangunan manusia sebagai output kepemimpinan itu. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 15 November 1992