Perbincangan tentang mufakat dan voting waktu akhir-ahir ini seperti meningkat suhunya. Imbasnyapun sampai-sampai masuk dalam Penataran Pra-Jabatan Calon Pegawai Negeri yang dosen-dosen di tingkat 6 Gedung Rektorat Unhas. Untuk dapat tiba di atas sebenarnya hanya 5 kali memanjat tangga. Memanjat, oleh karena lift belum ada. Pada waktu upacara pembukaan penataran itu, saya berbisik kepada Pembantu Rektor II, Prof. Akil, bahwa sebaiknya tidak usah lift itu diteruskan dibuat. Supaya kita ini olah raga panjat tangga, menghemat sumbrdaya alam, memperkecil polusi CO2. Namun PR II menjawab, mesti diteruskan menyelesaikan lift, sebab nanti ada kesan bahwa Gedung Rektorat tidak selesai-selesai.
Dalam diskusi yang saya pandu, para dosen-dosen muda itu antara lain memperdebatkan tentang mufakat dan voting itu. Adalah menjadi tugas rutin buat saya, setiap tahun menjadi penatar Pra-Jabatan di Unhas. Sebelum Pak Domo berucap yang diliput oleh wartawan tentang pemberian predikat faham liberal bagi yang menghendaki voting, dalam diskusi antar dosen-dosen muda itu ada pendapat yang senada dengan Pak Domo itu. Bahwa voting itu adalah produk faham liberal, jadi bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu: "Bulat air di pembuluh, bulat kata karena mufakat." Tetapi dalam diskusi itu tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa voting tidaklah bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dan kelihatannya kedua pendapat itu tidak dapat bertemu dalam diskusi tersebut.
Maka perlu penatar turun tangan. Saya katakan mengapa pendapat itu tidak bertemu. Karena hanya masing-masing mengemukakan argumentasi tanpa rujukan, tanpa reference. Ini sayang sekali karena diskusi antar dosen itu melupakan satu hal yang esensial dalam dunia akademik, yaitu reference, maraji', rujukan. Dan rujukan itu harus diambil dari kesepakatan Bangsa Indonesia yang formal, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan produk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu Tap MPR. Memang benar bahwa dalam kebudayaan asli kita ada pepatah: "Bulat air di pembuluh, bulat kata karena mufakat." Tetapi ini tidak boleh dijadikan reference untuk memberikan predikat faham liberal pada voting. Karena pepatah itu hanya relevan untuk situasi nenek-nenek kita dahulu di desa-desa, yang jumlah penduduknya sedikit, dan masyarakat yang agraris yang punya banyak waktu.
Sekarang susah, karena kita berpacu dengan waktu. Sebenarnya voting dan mufakat adalah batas bawah dan batas atas. Efek negatif dari voting adalah membuahkan dominasi mayoritas. Kalau harus selalu diselesaikan dengan voting, maka kasihanlah golongan minoritas. Demian pula sebaliknya, efek negatif dari mufakat adalah membuahkan tirani minoritas. Satu orang anggota saja yang tidak setuju maka keputusan belum dapat diambil. Maka kasihanlah yang mayoritas. Maka bulat air di pembuluh diambil sifat air yaitu fleksibel. Sehingga tidak boleh ada dominasi mayoritas, dan tidak boleh pula ada tirani minoritas. Jadi batas bawah yang voting itu seperti perceraian. Suatu hal yang tidak disenangi, namun legal. Batas atas yang mufakat adalah yang paling disenangi, tetapi sulit.
Selanjutnya dalam menengahi diskusi itu saya ambillah rujukan. Bahwa voting itu dibolehkan oleh UUD-1945, pasal 6 dan pasal 37. Dan bahwa mufakat itu merupakan sasaran yang ideal, yang sebaiknya, bukan yang semestinya. Dalam Tap MPR No.II/MPR/1978 disebutkan: Keputusan diusahakan secara mufakat. Maka perhatikanlah ungkapan diusahakan itu. Adapun pemakaian voting dan mufakat itu lebih diperjelas lagi dalam SU MPR 1 Maret 1983, yang menghasilkan Tap MPR tentang Peraturan Tata Tertib MPR. Yaitu dalam Bab XI, Pasal 92, ayat 1: Putusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila putusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin diusahakan karena adanya pendirian dari sebagian peserta musyawarah yang tidak dapat didekatkan lagi atau karena faktor waktu yang mendesak.
Dalam Al Quran nilai utama musyawarah difirmankan Allah dalam S. Asy Syura ayat 38: Wa Amruhum Syuwra- Baynahum, dan urusan mereka dimusyawarakan di antara mereka. Dan lagi Firman Allah: Wa Sya-wirhum fiy lAmri faIdza- 'Azamta faTawakkal 'ala Lla-h, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan, dan apabila engkau telah mengambil ketetapan, maka tawakkallah kepada Allah. Adapun bagaimana cara bermusyawarah itu harus sesuai dengan makna syura yang dberasal dari akar kata yang dibentuk oleh syin, waw, ra, syawwara, artinya mengambil madu dari sarang lebah. Madu berhasil diambil, artinya musyawarah berhasil mengambil keputusan, tanpa disengat lebah, artinya tanpa proses baku lempar kursi, atau hasil musyawarah tidak potensial mengandung konflik di belakang hari. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 22 November 1992
Dalam diskusi yang saya pandu, para dosen-dosen muda itu antara lain memperdebatkan tentang mufakat dan voting itu. Adalah menjadi tugas rutin buat saya, setiap tahun menjadi penatar Pra-Jabatan di Unhas. Sebelum Pak Domo berucap yang diliput oleh wartawan tentang pemberian predikat faham liberal bagi yang menghendaki voting, dalam diskusi antar dosen-dosen muda itu ada pendapat yang senada dengan Pak Domo itu. Bahwa voting itu adalah produk faham liberal, jadi bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu: "Bulat air di pembuluh, bulat kata karena mufakat." Tetapi dalam diskusi itu tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa voting tidaklah bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dan kelihatannya kedua pendapat itu tidak dapat bertemu dalam diskusi tersebut.
Maka perlu penatar turun tangan. Saya katakan mengapa pendapat itu tidak bertemu. Karena hanya masing-masing mengemukakan argumentasi tanpa rujukan, tanpa reference. Ini sayang sekali karena diskusi antar dosen itu melupakan satu hal yang esensial dalam dunia akademik, yaitu reference, maraji', rujukan. Dan rujukan itu harus diambil dari kesepakatan Bangsa Indonesia yang formal, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan produk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu Tap MPR. Memang benar bahwa dalam kebudayaan asli kita ada pepatah: "Bulat air di pembuluh, bulat kata karena mufakat." Tetapi ini tidak boleh dijadikan reference untuk memberikan predikat faham liberal pada voting. Karena pepatah itu hanya relevan untuk situasi nenek-nenek kita dahulu di desa-desa, yang jumlah penduduknya sedikit, dan masyarakat yang agraris yang punya banyak waktu.
Sekarang susah, karena kita berpacu dengan waktu. Sebenarnya voting dan mufakat adalah batas bawah dan batas atas. Efek negatif dari voting adalah membuahkan dominasi mayoritas. Kalau harus selalu diselesaikan dengan voting, maka kasihanlah golongan minoritas. Demian pula sebaliknya, efek negatif dari mufakat adalah membuahkan tirani minoritas. Satu orang anggota saja yang tidak setuju maka keputusan belum dapat diambil. Maka kasihanlah yang mayoritas. Maka bulat air di pembuluh diambil sifat air yaitu fleksibel. Sehingga tidak boleh ada dominasi mayoritas, dan tidak boleh pula ada tirani minoritas. Jadi batas bawah yang voting itu seperti perceraian. Suatu hal yang tidak disenangi, namun legal. Batas atas yang mufakat adalah yang paling disenangi, tetapi sulit.
Selanjutnya dalam menengahi diskusi itu saya ambillah rujukan. Bahwa voting itu dibolehkan oleh UUD-1945, pasal 6 dan pasal 37. Dan bahwa mufakat itu merupakan sasaran yang ideal, yang sebaiknya, bukan yang semestinya. Dalam Tap MPR No.II/MPR/1978 disebutkan: Keputusan diusahakan secara mufakat. Maka perhatikanlah ungkapan diusahakan itu. Adapun pemakaian voting dan mufakat itu lebih diperjelas lagi dalam SU MPR 1 Maret 1983, yang menghasilkan Tap MPR tentang Peraturan Tata Tertib MPR. Yaitu dalam Bab XI, Pasal 92, ayat 1: Putusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila putusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin diusahakan karena adanya pendirian dari sebagian peserta musyawarah yang tidak dapat didekatkan lagi atau karena faktor waktu yang mendesak.
Dalam Al Quran nilai utama musyawarah difirmankan Allah dalam S. Asy Syura ayat 38: Wa Amruhum Syuwra- Baynahum, dan urusan mereka dimusyawarakan di antara mereka. Dan lagi Firman Allah: Wa Sya-wirhum fiy lAmri faIdza- 'Azamta faTawakkal 'ala Lla-h, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan, dan apabila engkau telah mengambil ketetapan, maka tawakkallah kepada Allah. Adapun bagaimana cara bermusyawarah itu harus sesuai dengan makna syura yang dberasal dari akar kata yang dibentuk oleh syin, waw, ra, syawwara, artinya mengambil madu dari sarang lebah. Madu berhasil diambil, artinya musyawarah berhasil mengambil keputusan, tanpa disengat lebah, artinya tanpa proses baku lempar kursi, atau hasil musyawarah tidak potensial mengandung konflik di belakang hari. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 22 November 1992